Homili Hari Minggu Biasa ke-XXVIB – 2021

Hari Minggu Biasa XXVI
Bil. 11:25-29;
Mzm. 19:8,10,12-13,14;
Yak. 5:1-6;
Mrk. 9:38-43,45,47-48

Jangan terlalu fanatik dalam beragama!

Beberapa Minggu yang lalu muncul sebuah berita viral di negeri ini tentang pernyataan Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal Dudung Abdurachman bahwa semua agama benar di mata Tuhan. Tentu saja banyak orang termasuk pihak MUI tanpa berefleksi langsung terpancing secara emosional dan membabi buta menghakimi Pak Dudung. Pak Dudung dengan tenang mengatakan: “Saya ini Panglima Kostrad, bukan ulama. Jika ulama mengatakan bahwa semua agama itu benar, berarti ia ulama yang SALAH. Berbeda dengan saya sebagai Panglima Kostrad. Mempunyai anggota dari berbagai pemeluk agama yang berbeda. Saya ingin anak buah saya jangan sampai terpengaruh dengan pihak luar di dalam beribadah. Hal ini agar tidak menimbulkan fanatisme yang berlebihan. Kemudian menganggap agama tertentu paling benar. Sementara agama lainnya, salah.” Saya memaknai pernyataan pak Dudung dengan sebuah kalimat: “Bijaksana dan super sekali!” Banyak orang berbicara dulu baru berpikir namun lebih mulia orang berpikir dulu baru berbicara.

Pada Hari Minggu Biasa ke-XXVI tahun B ini pikiran kita juga diarahkan supaya jangan bersikap fanatik yang berlebihan terhadap sesama manusia. Dalam bacaan pertama dari Kitab Bilangan, kita mendengar kisah tentang Tuhan Allah yang turun dalam awan dan berbicara dengan Musa. Selanjutnya Tuhan mengambil sebagian Roh yang ada pada Musa dan memberikan kepada ketujuh puluh tua-tua. Dalam waktu singkat mereka menjadi seperti nabi-nabi tetapi kemudian hilang dengan sendirinya. Namun ada dua orang yakni Eldad dan Medad yang tercatat tetapi tidak ikut di kemah ketika menerima Roh dari Tuhan, namun mereka juga berlaku seperti nabi-nabi. Seorang muda langsung menyampaikan kepada Musa tentang situasi ini bahwa Eldad dan Medad kepenuhan seperti nabi di tempat perkemahan. Reaksi spontan datang dari Yosua bin Nun, yang sejak masa mudanya menjadi abdi Musa. Ia berkata: “Tuanku Musa, cegahlah mereka!” Namun Musa dengan bijak berkata: “Apakah engkau begitu giat mendukung diriku? Ah, kalau seluruh umat Tuhan menjadi nabi, oleh karena Tuhan memberi Roh-Nya hinggap kepada mereka!” (Bil 11:29).

Kisah ini paralel dengan pengalaman komunitas Yesus. Di dalam bacaan Injil kita mendengar kisah tentang Yohanes, murid yang dikasihi Yesus, datang sendiri kepada Yesus dan melapor begini: “Guru, kami lihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” (Mrk 9:38). Yesus sang Musa baru bereaksi terhadap sikap Yohanes dan para murid-Nya: “Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorangpun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.” (Mrk 9:39-40). Sikap yang ditunjukkan Yosua dalam Kitab Bilangan dan Yohanes di dalam Injil boleh dikatakan sebagai sikap fanatik yang berlebihan dalam berelasi dengan Tuhan. Ada perasaan status quo dalam beriman, merasa seperti memonopoli kepemilikan Tuhan. Pada masa kini, ada perasaan orang tertentu bahwa agamanya paling benar dan menghina atau merendahkan orang yang beragama lain. Semua ini bukanlah hal yang baru tetapi sudah ada dalam kisah-kisah sebagaimana kita mendengarnya di dalam bacaan pertama dan bacaan Injil.

Sikap yang paling tepat untuk menghancurkan fanatisme dalam beragama adalah sebagaimana dianjurkan Musa, Yakobus dan Yesus sebagai Musa baru. Pertama, Tuhan memiliki kuasa untuk menjadikan manusia sebagaimana dikehendaki-Nya. Dia memberi rahmat dan anugerah, kasih karunia sesuai kehendak-Nya dan manusia mematuhi dan melakukannya dengan setia. Kedua, hal yang terpenting dalam hidup bersama adalah melakukan perbuatan kasih. Kasih itu universal, semua orang dipanggil untuk mengasihi. Tuhan Yesus berakata: “Sesungguhnya barangsiapa memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya.” (Mrk 9:41). Ketiga, semangat untuk bertobat. Orang dapat keluar dari ‘penjara’ fanatisme kalau ia mau bertobat dengan mengontrol tangan untuk berbuat, kaki untuk berjalan dan mata untuk melihat. Banyak orang menjadi fanatik karena tidak menggunakan tangan, kaki dan mata pada tempatnya. Keempat, harta dan kuasa bukanlah segalanya dalam hidup manusia. Santo Yakobus dalam bacaan kedua mengingatkan kita: “Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan ngengat!” (Yak 5:2). Pada akhirnya kita sama seperti saat pertama kita lahir ke dunia, kita tidak membawa apa-apa dan saatnya nanti dijemput saudara maut, kita juga tidak membawa apa-apa. Harta dan kuasa mestinya membantu manusia untuk semakin menjadi manusia di hadapan Tuhan dan sesama manusia. Nah, kalau demikian, apa untungnya kita menjadi fanatik dalam beragama di dalam hidup kita? Agama itu lahir supaya manusia semakin menjadi ciptaan yang mulia di hadirat Tuhan dan bahwa kekudusan adalah harapan yang harus diraih untuk bersatu dengan Tuhan.

P. John Laba, SDB