Homili 12 Oktober 2021

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XXVIII
Rm. 1:16-25;
Mzm. 19:2-3,4-5;
Luk. 11:37-41

Jangan hanya sekedar bermurah hati

Saya selalu mengingat perkataan ajaib dari seorang guru di sekolahku tempo doeloe ketika kami para siswa diminta mengumpulkan sumbangan untuk menolong teman-teman yang terkena musibah bencana alam di daerah lain. Beliau mengatakan kepada kami: “Jangan sekedar bermurah hati tetapi harus benar-benar bermurah hati supaya diberkati Tuhan yang murah hati.” Perkataannya ini bagi saya ajaib karena memiliki kekuatan untuk mengubah hidup kami saat itu. Meskipun kami berasal dari keluarga sederhana tetapi tetapi bahagia untuk menolong sesama yang sangat membutuhkan karena musibah bencana alam. Hidup berdampingan bermakna ketika kita bermurah hati dengan tulus bukan hanya sekedar bermurah hati saja.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Yesus di dalam Injil Lukas. Ketika itu Yesus menunjukkan kuasa-Nya dalam kata dan karya. Banyak orang merasakan kuasa dari perkataan Yesus. Di antara mereka yang merasakannya adalah seorang Farisi. Dia lalu mengundang Yesus untuk makan bersama di rumahnya. Tentu saja ini suatu hal yang baik karena orang-orang Farisi yang selalu dilabel berseberangan dengan Yesus, namun ada satu orang Farisi yang mengundang-Nya untuk makan bersama di rumahnya. Yesus setuju untuk makan bersama di rumahnya. Ternyata ada ‘hiden agenda’ yang dimiliki oleh orang Farisi ini. Ia mau mengamati apa yang salah dari Yesus saat makan bersama. Dalam hal ini, Yesus duduk dan makan tanpa mencuci tangan-Nya sebelum makan. Orang Farisi tanpa nama ini merasa heran karena Yesus sebagai seorang Rabbi, yang tahu tentang adat istiadat Yahudi tetapi melanggarnya dengan tidak mencuci tangan sebelum makan.

Tuhan Yesus menggunakan kesempatan ini untuk mengubah mindset orang Farisi yang mengundang-Nya makan dan rekan-rekannya. Apa yang dilakukan Yesus? Pertama, Ia mengoreksi mereka yang hanya memperjuangkan legalitas sebuah aturan namun lalai dalam melakukan kasih sejati. Ia berkata: “Kamu orang-orang Farisi, kamu membersihkan bagian luar dari cawan dan pinggan, tetapi bagian dalammu penuh rampasan dan kejahatan. Hai orang-orang bodoh, bukankah Dia yang menjadikan bagian luar, Dia juga yang menjadikan bagian dalam?” (Luk 11:39-40). Kedua, Tuhan Yesus mengingatkan orang-orang Farisi untuk memiliki hati yang murni. Orang yang murni hatinya dapat melihat Allah. Kenyataan yang ada, orang-orang Farisi memiliki hati yang kotor, penuh rampasan dan kejahatan. Ketiga, Tuhan mengasihi manusia dengan tulus bukan sekedar mengasihi. Tuhan bermurah hati dengan manusia bukan sekedar bermurah hati. Orang Farisi dalam Injil merasa baik karena mau mengundang Yesus untuk makan bersama di rumahnya, tetapi kelemahannya adalah hatinya kotor karena bersifat legalis terhadap Yesus. Ia mencari-cari kesalahan Yesus di dalam hatinya dan mengadili Yesus di dalam hatinya.

Pada hari ini kita belajar sesuatu yang berharga. Di masa pandemi ini kita dipanggil untuk bermurah hati. Kita melakukan sharing is caring. Hendaknya sikap murah hati itu penuh ketulusan, janganlah sekedar bermurah hati, atau mudah menceritakan apa yang sudah kita sumbangkan kepada orang lain. Tuhan lebih murah hati dan tidak menghitung-hitung berapa yang sudah diberikan-Nya kepada kita. Sebab itu marilah kita belajar dari Tuhan untuk bermurah hati.

P. John Laba, SDB