Homili 13 Oktober 2021

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXVIII
Rm. 2:1-11;
Mzm. 62:2-3.6-7.9;
Luk. 11:42-46

Tersinggung dan Mudah Menghakimi

Adalah Berthold Auerbach. Sastrawan Jerman keturunan Yahudi ini pernah berkata: “To harbor hatred and animosity in the soul makes one irritable, gloomy, and prematurely old.” (Menyimpan kebencian dan permusuhan di dalam jiwa membuat seseorang mudah tersinggung, murung, dan terlalu tua). Saya sepakat dengan perkataan Auerbach ini. Coba kita pikirkan atau ingat kembali pengalaman pribadi kita masing-masing atau mendengar sharing pengalaman orang-orang tertentu yang masih memiliki rasa benci dan memiliki musuh tertentu dalam hidupnya. Tentu saja yang ada padanya adalah dia mudah tersinggung atau sensitif ‘banget’, mudah baperan, murung dan kelihatan ‘boros’ atau keburu tua dari usianya yang sebenarnya. Kalau kita pikirkan baik-baik, apa sih untungnya anda mudah tersinggung? Tidak ada untungnya! Ketika orang tertentu memberi koreksi kepada kita maka kita harus berbesar hati, membuka diri dan siap untuk bertransformasi dalam hidup bukan tetap tinggal dalam dunia ‘tersinggung’ kita.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Yesus di dalam Injil yang dengan perkataan-perkataan-Nya membuat seorang ahli Taurat merasa tersinggung. Ketika itu Tuhan Yesus mengecam kaum Farisi yang menunjukkan sifat legaslisnya berlebihan tetapi tidak memperjuangkan atau mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Bagi Yesus, semua aturan yang bersifat legalis itu harus dilakukan namun keadilan dan kasih Allah jangan diabaikan. Semua aturan yang ada di dalam adat istiadat atau tradisi itu berguna untuk kebaikan bukan untuk menindas atau berlaku tidak adil kepada manusia. Tuhan saja berlaku adil kepada manusia, hanya manusia tertentu yang tidak mengutamakan kasih dan keadilan dalam hidup bersama. Bagi mereka kekuasaan, popularitas itu adalah hal yang utama dalam hidup mereka. Hati mereka juga kotor ibarat kubur yang di luarnya kelihatan bagus tetapi di dalamnya penuh dengan kotoran dan amis. Semua ini dikecam oleh Yesus dengan sebuah kata kunci: “Celakalah!”

Semua perkataan Yesus kepada kaum Farisi ini membuat seorang ahli Taurat kebakaran jenggot. Ia tersinggung dan berkata: “Guru, dengan berkata demikian, Engkau menghina kami juga.” (Luk 11:45). Yesus mengecamnya juga dengan berkata: “Celakalah kamu juga, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu meletakkan beban-beban yang tak terpikul pada orang, tetapi kamu sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jaripun.” (Luk 11:46). Kasihan sekali dengan ahli Taurat ini. Dia lupa bahwa sebagai orang pintar dia juga memiliki titik kelemahan yakni suka meletakkan beban yang tak terpikul kepada orang lain tetapi dia sendiri tidak mau memikulnya. Ahli Taurat terkurung dalam ruang ketersinggungan dan terpukul oleh perkataan Yesus karena sikap hidupnya sebagai ahli Taurat atau orang pintar di tengah sesama manusia.

Siapakah kaum Farisi dan para ahli Taurat itu? Kita boleh jujur dengan mengatakan bahwa dalam banyak hal kaum Farisi dan para ahli Taurat adalah kita. Banyak kali ada diantara kita yang kelihatan suci secara lahiria tetapi nyatanya ‘berada di luar jangkauan’. Banyak kali ada di antara kita yang mudah tersinggung sehingga tidak dapat berelasi dengan sesama dan Tuhan. Banyak kali ada di antara kita yang hanya meletakkan beban kepada sesama, hanya bisa berdiri jauh-jauh dan memberi kritikan pedas, nyinyir tetapi tidak membuat apa-apa untuk berubah. Anda mau mengubah dunia? Silakan ubalah dirimu sendiri!

Dalam bacaan pertama, St. Paulus mengingatkan jemaat di Roma untuk tidak saling menghakimi tetapi hidup sebagai orang benar di hadapan Tuhan. Orang yang mudah menghakimi adalah orang yang mudah tersinggung dengan keadaan hidupnya. Paulus berkata: “Hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.” (Rm 2:1). Sikap Farisi menempel dalam hidup kita. Betapa mudahnya kita menghakimi sesama yang lain dan kita lupa bahwa ketika menghakimi, kita mencerminkan diri kita sendiri sebagai orang yang penuh kelemahan. Orang yang mudah menghakimi dan mudah tersinggung juga memiliki hati yang keras. Berkaitan dengan ini Paulus berkata: “Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat, engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan.” (Rm 2:5).

Apa yang akan Tuhan lakukan? Paulus berkata: “Tuhan akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman.” (Rm 2:6-8). Orang yang berbuat baik akan mendapat berkat karena perbuatan baiknya, orang yang berbuat jahat dan tidak mau bertobat akan mendapat balasan dari Allah sesuai dengan perbuatannya yang jahat.

Sesungguhnya kita berada dalam dua pilihan hidup: atau berbuat baik atau berbuat jahat. Kalau kita berada di pihak Tuhan maka kita harus berbuat baik. St. Paulus juga mengatakan: “Penderitaan dan kesesakan akan menimpa setiap orang yang hidup yang berbuat jahat, pertama-tama orang Yahudi dan juga orang Yunani, tetapi kemuliaan, kehormatan dan damai sejahtera akan diperoleh semua orang yang berbuat baik, pertama-tama orang Yahudi, dan juga orang Yunani. Sebab Allah tidak memandang bulu.” (Rm 2:9-11). Nasihat-nasihat Paulus ini membantu kita untuk berbenah dalam hidup kita. Pilihalah kebaikan dan abaikanlah kejahatan.

Kita berterima kasih kepada Tuhan karena sabda-Nya pada hari ini sungguh menjadi pelita bagi kaki kita. Jangan mudah tersinggung dan mengahkimi sesama manusia! Kita semua memiliki kelebihan dan kekurangan. Percayakanlah diri kita kepada Tuhan. Tuhan memberkati kita semua.

P. John Laba, SDB