Homili 28 Juni 2023 – Santo Ireneus

Hari Rabu Pekan Biasa ke-XII
PW. St. Ireneus
Kej. 15:1-12,17-18
Mzm. 105:1-2,3-4,6-7,8-9
Mat. 7:15-20

Tuhan selalu hadir di saat krisis

Pada hari ini kita mengenang santo Ireneus. Santo Ireneus berkebangsaan Yunani dan dilahirkansekitar tahun 120-140. Beliau dikenal sebagai murid Santo Polikarpus, dan Polikarpus sendiri adalah murid dari Rasul Yohanes. Ada sebuah kesaksian menarik dari Santo Ireneus tentang rekasinya dengan Polikarpus: “Aku mendengarkan pengajaran St.Polikarpus dengan amat seksama. Aku menuliskan setiap tindakan maupun perkataannya, bukan di atas kertas, melainkan dalam hatiku.” Santo Ireneus bukan hanya sebagai seorang Uskup, teolog besar tetapi juga dikenal sebagai apologet. Ia membela Gereja dari ajaran sesat Bernama Gnostisisme. Gnostisisme sendiri merupakan ajaran sesam karena mengajarkan bahwa dunia fana ini jahat, dunia ini diciptakan dan diperintah oleh kuasa malaikat bukan oleh Tuhan. Tuhan juga berada jauh dan tidak ada hubungannya dengan dunia ini. Keselamatan menurut para Gnostik dapat diraih dengan mempelajari ajaran-ajaran rahasia dan kaum Gnostik. Kaum ini mengklaim diri sebagai orang-orang yang kehidupan rohaninya jauh lebih unggul daripada orang-orang Kristen biasa. Para Gnostik mendukung pendapat ini dengan Injil-Injil Gnostik yang biasanya mencatut nama para rasul.

Berkaitan dengan ajaran Gnositisime ini, Ireneus menulis: “Segera setelah seseorang terpikat oleh Gnostik, orang tersebut akan menjadi sombong dan merasa dirinya begitu penting, ia akan berjalan mengangkat dada dengan gaya seekor ayam jantan. Tetapi orang-orang Kristen seharusnya menerima anugerah Allah dengan rendah hati, dan tidak mengandalkan kegiatan-kegiatan intelektualnya yang akan membuat ia sombong.”

Saya mengutip dua perkataan Santo Ireneus yang dapat menginspirasi kita pada hari pestanya ini. Pertama, “Yesus Kristus, dalam kasih-Nya yang tak terbatas, telah menjadi serupa dengan kita sebagai manusia, agar Dia dapat menjadikan kita sepenuhnya seperti Dia”. Cara Tuhan menyelamatkan kita adalah Dia menjadi menjadi seperti kita supaya kita memiliki martabat yang baru yakni sebagai anak-anak Allah. Peristiwa inkarnasi membuka jalan kepada keselamatan karena kasih Allah yang tiada batasnya bagi kita semua. Kedua, “Ketika kita berdiri di dalam terang, bukan kita yang menerangi terang itu dan membuatnya bersinar, tetapi kita diterangi dan dibuat bersinar oleh terang itu… Allah memberikan berkat-Nya kepada mereka yang melayani-Nya karena mereka melayani-Nya dan kepada mereka yang mengikuti-Nya karena mereka mengikuti-Nya, tetapi Dia tidak menerima berkat dari mereka karena Dia sempurna dan tidak membutuhkannya.” Bagi saya kedua kutipan ini membuka wawasan kita pada Pribadi Allah sebagai kasih. Allah adalah kasih!

Pengalaman bahwa Allah adalah kasih sudah dialami oleh Abram di saat-saat ia mengalami krisis identitas karena hingga memasuki usia senja, ia belum memiliki keturunan. Abram berpikir bahwa Tuhan melupakannya dan dengan demikian ketika ia meninggal dunia tanpa keturunan maka semua harta warisannya akan dikuasai oleh Eliezer orang Damsyik yang bekerja padanya. Dalam situasi krisis ini, Tuhan hadir dan memberikan peneguhan kepadanya: “Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar.” (Kej. 15: 1). Terhadap ketakutan Abram bahwa harta warisnya akan dikuasai Eliezer orang Damsyik, Tuhan berkata: “Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu.” (Kej. 15:4).

Tuhan Allah selalu hadir di saat kita mengalami krisis identitas seperti Abram. Hal yang sangat dibutuhkan adalah iman kepada Tuhan Allah sendiri. Tuhan melihat iman Abram sehingga Ia memberikan peneguhan kepada Abram: “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.” Maka firman-Nya kepadanya: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” (Kej. 15:5). Pikiran Abram terbuka, rasa kuatir mulai menyusut. Ia menerima semua perkataan Tuhan ini dengan iman. Tuhan Allah pun memperhitungkan semua ini sebagai kebenaran bagi Abram. Tuhan Allah bahkan mengadakan perjanjian dengan Abram dan Ia tidak pernah mengingkari janji-Nya kepada Abram.

Pengalaman Abram ini mengingatkan kita akan perkataan Santo Ireneus di atas: “Ketika kita berdiri di dalam terang, bukan kita yang menerangi terang itu dan membuatnya bersinar, tetapi kita diterangi dan dibuat bersinar oleh terang itu.” Ketika mengalami krisis iman, Tuhanlah yang menunjukkan kepeduliaan-Nya kepada kita. Dialah yang mau menyelamatkan kita karena kehendak kasih-Nya. Tuhan tidak pernah ingkar janji. Di masa depan lahirlah Ishak sebagai wujud nyata janji Tuhan bagi Abram. Pengalaman pribadi Abram membuka wawasan kita untuk melihat dan percaya bahwa Allah sungguh baik bagi kita semua. Dalam krisis pun atau ketika kita nyaris kehilangan harapan, Tuhan selalu hadir dan mengatakan kepada kita supaya jangan takut.

Lalu apa yang harus kita lakukan?

Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil membuka pikiran kita untuk menentukan pilihan hidup yang tepat. Kita mengandalkan-Nya supaya memilih dan memutuskan yang terbaik bagi kita. Kita pertama-tama diingatkan bahwa krisis iman pasti ada maka perlu selalu waspada terhadap orang-orang di sekitar kita yang kelihatan baik tetapi ternyata licik. Atau mereka yang serupa nabi palsu karena menyerupai serigala berbulu domba. Mawas diri dan waspada haruslah kita miliki untuk bertahan dalam iman. Sikap mawas diri dan waspada akan mengubah hidup kita menjadi pribadi yang baik dan menghasilkan buah yang baik. Pilihan untuk hidup sebagai orang baik dan menghasilkan buah yang baik adalah harapan Tuhan bagi kita dan kita wujudnyatakan dalam panggilan hidup kita. Jadilah diri kita yang terbaik karena Tuhan kita sungguh baik bagi kita semua. Santo Ireneus, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB