Homili 2 Maret 2024

Hari Sabtu Pekan II Prapaskah
Hari Sabtu Imam
Mi. 7:14-15,18-20
Mzm. 103:1-2,3-4,9-10,11-12
Luk.15:1-3.11-32

Allah Bapa penuh kerahiman

Hari ini adalah Hari Sabtu pertama, kita mendedikasikannya untuk mendoakan para imam. Paus Benediktus ke-XVI pernah menulis tentang santo Yohanes Maria Vianey, sebagai berikut: “Ajaran yang terus diwariskan dari St Yohanes Maria Vianney kepada kita adalah bahwa, sebagai dasar dari komitmen pastoralnya, seorang imam harus memiliki persatuan pribadi yang intim dengan Kristus, yang harus ia kembangkan dan biarkan bertumbuh dari hari ke hari. Hanya jika ia mencintai Kristus, imam dapat mengajar orang lain tentang persatuan ini, persahabatan yang intim dengan Guru Ilahi, sehingga ia dapat menyentuh hati orang-orang dan membuka hati mereka kepada cinta Tuhan yang penuh belas kasih. Hanya dengan cara inilah ia dapat memberikan semangat dan vitalitas spiritual kepada komunitas yang dipercayakan Tuhan kepadanya.” Perkataan Paus Benediktus ini sangat meneguhkan hidup sebagai imam yang perlu bersekutu dengan Tuhan Yesus. Seorang imam tidak bisa melakukan segala sesuatu tanpa mengandalkan Tuhan sendiri di dalam hidupnya. Paus Fransiskus mengatakan bahwa seorang imam harus berbau domba.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini menggambarkan sosok seorang Bapa yang hebat. Tentu saja Bapa hebat yang pertama dan terutama adalah Tuhan Allah sendiri. Nabi Mikha menggambarkan Tuhan Allah sebagai Allah yang berhati gembala yang baik. Dia memperhatikan umat kesayagan-Nya. Dan Mikha mengatakan: “Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut.” (Mi 7:18-19). Allah kita Maharahim karena Ia mengampuni dosa, memaafkan pelanggaran, tidak bertahan dalam murka dan melemparkan segala dosa ke tubir-tubir laut. Allah semacam ini luar biasa.

Di dalam bacaan injil kita berjumpa dengan sosok seorang Bapa yang murah hati. Ia menghormati kebebasan anak-anaknya. Sebab itu ketika anak bungsungnya meminta jatah warisan yang merupakan bagiannya, ia langsung membagikannya dengan adil: satu untuk kakak, adik dan dirinya sebagai ayah. Anak bungsu menghilang dari rumah dan menyalahgunakan kebebasan yang ada di dalam dirinya. Dia memboroskan semua yang diberikan bapanya hingga jatuh melarat, sampai ekstrim selevel babi. Betapa kotornya si bungsu dan betapa tidak sempurnanya! Dia tidak hanya hilang, dia selevel dengan ‘orang yang sudah mati’. Di saat seperti itu dia merindukan sosok ayahnya yang baik. Ia ingin kembali bahkan rela kalau statusnya bukan sebagai anak tetapi sebagai pekerja saja. Dia ingin kembali dan meminta maaf karena telah berdosa kepada Surga dan kepada bapanya sendiri.

Sosok yang kedua adalah sosok anak sulung. Kita memiliki kesan bahwa anak sulung itu baik-baik saja, patuh dan tinggal di rumah bersama ayahnya. Kita keliru menilai anak sulung ini. Dia tinggal bersama ayahnya, memiliki hartanya sendiri namun masih menjadi parasit dari semua harta kekayaan yang merupakan bagian dari ayahnya. Dia malah masih menuntut lebih dari ayahnya yakni kambing untuk berpesta pora dengan teman-temannya. Kesalahan anak sulung yang paling besar adalah tidak mau mengampuni dan menerima kehadiran adiknya dan tidak mau mengakui kasih dan kebaikan bapaknya. Dia mau semuanya berpusat pada dirinya sendiri. Dia lalu menolak untuk masuk ke dalam rumah ayahnya. Anak sulung bukanlah sosok yang terbaik sebagaimana kita memikirkannya selayang pandang.

Sosok bapa adalah pemenang dari kisah Injil ini. Kisah ini memang berbicara tentang sosok Bapa yang murah hati kepada anak-anaknya. Ketika anak bungsu meminta warian yang menjadi haknya, dia setuju dan membagikannya dengan adil. Ketika anak bungsungya pulang ke rumah, dialah yang pertama keluar dari rumah, membuka tangan dan merangkul serta menciumnya. Dialah yang berinisiatif untuk mengampuni dan menerima anak bungsu kembali tanpa mengingat-ingat dosa dan masa lalu anaknya ini. Dia berinisiatif juga untuk meminta para pelayan supaya menyiapkan jubah terbaik, sepatu, cincin dan juga ternak yang tambun tanpa cacat untuk pesta bersama. Dia yang keluar dari rumah untuk menjemput anak sulung, mengajarkan pengampunan, mengajarakan penerimaan kepada adiknya dan sabar penuh kebaikan ketika anak sulungnya protes dan memilih untuk tidak masuk ke dalam rumah ayahnya.

Ketiga sosok, anak bungsu, anak sulung dan sosok bapa dari kedua anak ini adalah gambaran diri kita yang sungguh nyata di hadirat Tuhan dan juga di dalam masyarakat kita. Kita bisa menjadi anak bungsu yang menuntut hak kepada orang tua dan menyalahgunakan kasih dan kebaikan orang tua kita. Kita bisa menjadi pendosa yang ekstrim sehingga memalukan sesama manusia. Terlepas dari kelemahan-kelemahan manusiawi, kita perlu belajar karena anak bungsu ini sadar diri sebagai orang berdosa dan memohon ampun dari Tuhan. Dia mau kembali kepada bapanya untuk meminta maaf dan memohon untuk diterma kembali bukan sebagai anak tetapi sebagai pekerja. Semangat pertobatan peribai merupakan kekuatannya. Sosok anak sulung juga menguasai diri kita ketika kita merasa paling benar, paling kudus dan banyak menuntut orang untuk mengikuti kehendak kita. Pikirkanlah saat-saat kita merasa tidak memiliki dosa, dan tidak berniat kembali kepada Bapa di surga. Pikirkanlah saat-saat kita menolak untuk menerima saudara kita, sulitnya mengampuni dan hanya mengingat-ngat masa lalu. Sosok Bapa yang murah hati. Bapa yang tidak membuat perhitungan untung dan rugi, Bapa yang mencintai kebebasan anak-anaknya. Bapa yang murah hati dan mudah mengampuni. Bapa yang bisa berdialog, membuka kesadaran baru tentang kasih dan kerahiman kepada kedua anak-Nya. Hal terpenting adalah menerima anak-anak apa adanya dan membantu mereka bertumbuh.

Mari kita memandang sosok Allah sebagai Bapa penuh kerahiman. Saya mengingat Latorria Pier. Dalam karyanya ‘Turn My Life Around Discovering Your Purpose’, beliau menulis: “Bersukacitalah dan bersyukurlah kepada Tuhan di tengah-tengah badai. Bagi orang-orang yang telah melalui neraka dan kembali lagi ke neraka namun tetap memiliki senyum di wajah mereka, mereka adalah contoh kasih karunia dan belas kasihan Tuhan”

P. John Laba, SDB