Homili 1 Maret 2024 – Jumat Pertama

Hari Jumat Pekan II Prapaskah
Kej. 37:3-4,12-13a,17b-28
Mzm. 105:16-17,18-19,20-21
Mat. 21:33-43,45-46

Batu Penjuru itu masih ada!

Selama dua puluhan tahun menjadi seorang imam, sudah banyak kali saya diundang untuk mendoakan dan memberkati ‘peletakan batu pertama’. Biasanya ada sebuah batu besar yang diletakkan disudut bangunan rumah. Inilah yang disebut batu penjuru, sebuah batu besar yang ditempatkan pada fondasi di sudut utama dari suatu bangunan baru. Batu ini nantinya menghubungkan bagian ujung tembok dengan tembok sebelahnya, sehingga keduanya menyatu. Sebab itu, batu penjuru adalah batu pertama yang diletakkan dalam pembangunan fondasi bangunan. Batu Penjuru adalah lambang Kristus yang mempersatukan gereja, seperti batu penjuru sebuah bangunan yang menopang bagian-bagian bangunan tersebut (Mzm 118:22; Yes 28:16; Ef 2:20; 1 Ptr 2:6). Yesuslah batu Penjuru yang menguatkan dan menyelamatkan kita semua.

Kita mendengar kisah Injil yang sangat menarik perhatian dan patut kita renungkan. Tuhan Yesus bercerita di depan para imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi tentang seorang tuan tanah yang membuka kebun anggur, membuat pagar, menyiapkan lubang tempat memeras anggur, dan mendirikan menara jaga. Setelah semuanya siap, ia lalu menyerahkannya kepada para penggarap, sementara dia pergi ke negeri yang lain. Tentu saja mereka memiliki persetujuan untuk kerja sama sebagai penggarap dan pemilik usaha. Salah satunya adalah membagi hasil pada saat musim petik. Berbagai utusan dikirim oleh sang tuan kebun namun sia-sia saja, bahkan anaknya yang tunggal diutusnya namun ia juga dibunuh dengan keji oleh mereka. Para imam kepala dan tua-tua menggambarkan reaksi tuan kebun kepada Yesus. Ada dua reaksi tuan kebun anggur yang disampaikan mereka kepada Yesus: pertama, dia akan membinasakan orang-orang jahat. Kedua, Kebun anggur itu disewakan kepada penggarap lain yang akan menyerahkan hasilnya tepat pada waktunya.

Setelah mendengar kedua reaksi ini, Tuhan Yesus lalu mengubah mindset mereka tentang sosok diri-Nya di hadapan mereka. Yesus adalah gambaran anak tunggal kebun anggur: “mereka menangkap, melemparkannya ke luar kebun anggur itu dan membunuhnya”. Yesus sendiri akan diperlakukan dengan cara yang sama dalam peristiwa paskah-Nya. Dengan demikian Ia berkata: “Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru: hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita.” (Mat 21:42). Yesus adalah batu penjuru setelah mengalami penolakan dan penderitaan. Dia menjadi batu penjuru bagi Gereja sepanjang masa.

Pengalaman Yesus sebagai Batu Penjuru, pernah dialami juga oleh Yusuf anak kesayangan Israel (Yakub). Yusuf adalah anak kesayangan Yakub yang menimbulkan rasa iri dan cemburu saudara-saudaranya. Pada kesempatan yang tepat ia berbuat baik dengan mengantar makanan kepada mereka. Namun balasan mereka adalah membuangnya ke dalam sumur kering, mengangkat dan menjualnya ke Mesir. Saudara menjual saudaranya sendiri dan membohongi orang tua. Pada akhirnya Yusuf adalah penyelamat bagi saudara-saudaranya yang kelaparan dan memanggil mereka untuk datang ke Mesir. Yusuf menjadi batu sendi yang ‘dijual’ untuk menyelamatkan saudara-saudaranya dari bahaya kelaparan.

Dalam hidup kita, pengorbanan diri demi kebaikan sesama itu perlu dan harus. Pengurbanan diri di pihak Yusuf yang tidak menghitung-hitung kesalahan saudara-saudaranya, tetapi menolong dan menyelamatkan mereka. Pengorbanan Yesus yang menderita, sengsara, wafat dan bangkit untuk keselamatan kita semua. Pengorbanan Bapa yang mengasihi manusia dengan mengorbankan Anak-Nya yang Tunggal yaitu Yesus Kristus Tuhan kita. Kita belajar untuk berkorban dan menjadi batu penjuru bagi sesame di sekitar kita.

P. John Laba, SDB