Hari Biasa Pekan II Paskah
Kis 5:34-42
Mzm 27:1,4,13-14
Yoh 6:1-15
Merenung tentang Kuasa Yesus
Kita berjumpa dengan sosok seorang Farisi bernama Gamaliel. Gamaliel (gəmā’lēəl) dalam bahasa Ibrani רבן גמליאל הזקן atau dalam bahasa Yunani: Γαμαλιήλ. Beliau adalah seorang Guru atau Rabi Yahudi yang terkemuka. Namanya menunjukkan jati dirinya. Nama Gamaliel berarti “Hadiah dari Tuhan” dan “Pahala”. Beliau sangat terkemuka di antara tiga aliran Yahudi yakni kaum Farisi, Saduki, dan Eseni. Gamaliel menjadi viral karena memiliki nasihat yang mujarab sekaligus pembelaan kepada para murid Yesus dan berusaha untuk membiarkan para murid untuk terus mewartakan Kristus.
Apa yang dilaklukan Gamaliel? Ia banyak memberi pertimbangan yang matang tentang semangat misioner Petrus dan teman-temannya. Ketika para rasul sedang mengalam kesulitan, Tuhan menggerakan hati Gamaliel dengan belajar dari pengalaman dua orang yang lebih mengandalkan kuasa manusiawi yatu Teudas dan Yudas. Kedua orang ini gugur dengan sendirinya karena lebih mengandalkan diri mereka sendiri. Selanjutnya Gamaliel berpesan: “Karena itu aku berkata kepadamu, janganlah bertindak terhadap orang-orang ini. Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Allah.” Nasihat itu diterima.” (Kis. 5: 38-39). Santo Paulus sendiri berbicara dari pengalamannya bersama Gamaliel. Ia mengaku telah dilatih dan dididik oleh Gamaliel. Paulus bersaksi: “Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia, tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang kita, sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja bagi Allah sama seperti kamu semua pada waktu ini.” (Kis 22:3).
Dalam pengalaman misioner kita maka kita membutuhkan Gamaliel-Gamaliel masa kini. Tuhan bisa saja bekerja melalui orang-orang yang tidak seiman dengan kita, untuk menolong sesama kita yang sangat membutuhkan. Misalya melalui kehadiran pemulung, orang sakit, pekerja di SPBU, sopir dan lainnya yang dengan caranya sendiri bekerja, melayani dan mengedukasin kita dari hidupnya yang nyata untui terlibat aktif dalam pelayanan misioner. Kita bisa saja diedukasi seperti para murid di dalam Injil yang peduli dan berbagi dengan lima roti dan dua ikan keadaan sesama yang lain. Inilah prinsip solidaritas dan subsidiaritas kita.
Kita mendengar kisah Injil yang sangat menarik perhatiann kita. Tuhan Yesus selalu berkeliling dan berbuat baik kepada manusia. Orang banyak pun berbondong-bondong mengikuti Yesus dari dekat. Keinginan mereka ini lebih di dasari pada keinginan manusiawi mereka terutama ketika berhadapan dengan mukjizat penyembuhan yang mereka alami bersama. Tuhan Yesus memiliki kepekaan sosial kepada begitu banyak orang yang mengikuti-Nya dari dekat. Tentu saja hal yang mereka rasakan sangat manusiawi: lapar dan haus. Kebutuhan dasar ini yang menjadi perhatian besar Tuhan kepada manusia. Sayang sekali karena manusia memiliki pikiran yang lebih sempit, hanya mengandalkan pengalaman manusiawi semata saja. Misalnya kemampuan mereka hanya memiliki lima roti dan dua ikan saja dan selesai. Tuhan malah memiliki pikiran bahwa dari yang sedikit ini akan membantu mereka untuk solidaritas dan subsidiaritas. Ini yang lebih penting dari semuanya.
Apa yang dilakukan Tuhan Yesus? Ia berekaristi bersama mereka. Ia mengajak mereka duduk bersama, bersyukur bersama, mengangkat roti dan ikan, memberkati dan membagkan semuanya kepada para murid dan dilanjutkan kepada para orang kebanyakan. Sema orang puas, kenyang dan berkelimpahan. Dari sedikit yang mereka miliki dapat menguatkan begitu banyak orang. Semangat berbagi dan saling peduli adalah kuncinya.
Apa yang harus kita lakukan?
Kita semua haruslah mawas diri untuk bijak seperti Gamaliel dan Tuhan Yesus sendiri di hadapan sesama kita. Sikap terbuka, berani menolong dan tidak menghitung-hitung apa yang sudah kita berikan kepada Tuhan dan sesama. Mohonlah semangat untuk menjadi murah hati.
P. John Laba, SDB