Kepala Batu
Pada waktu masih kecil saya selalu mendengar orang tua di rumah dan guru di sekolah mengucapkan kata-kata ini kepada anak-anak mereka: ‘kepala batu’ atau ‘keras kepala’ ‘tukang melawan’ dan ekspresi lainnya yang menandakan bahwa pribadi anak tersebut memang tidak taat atau patuh. Anak memiliki hati yang keras. Anak-anak yang keras kepala ini biasanya menjadi korban kekerasan fisik dan verbal. Mereka mudah sekali dikucilkan dalam hidup bersama. Tentu saja diksi ‘kepala batu’ atau ‘keras kepala’ ini dapat menjadi satu model pembunuhan karakter bagi anak-anak. Sejak kecil mereka sudah dilabel dengan perkataan-perkataan yang tidak cocok dengan usia mereka. Adalah hal yang wajar saja kalau anak-anak usia dini memiliki sikap tidak patuh. Mereka tidak harus dibunuh karakternya atau dengan melabel kepribadian mereka yang tidak sesuai. Kalau demikian maka kita hanya akan memiliki generasi yang hidupnya serba sakit hati.
Bagaimana menyikapi anak-anak yang ‘kepala batu’ atau ‘keras kepala’. Bagi saya, para orang tua dan pendidik di sekolah perlu merenung dan memilih kata-kata yang tepat, yang dapat mengubah hidup pribadi anak-anak usia dini. Diksi yang tepat, memberi dukungan kepada anak-anak usia dini misalnya menyapa anak dengan namanya sendiri, berbicara empat mata dengan anak, orang tua dan para pendidik bekerja sama untuk mengubah hati anak yang keras menjadi hati yang lembut. Hati keras seperti batu menjadi hati lembut, hati manusia.
Mari kita menyadari diri sebagai orang berdosa. Di hadapan manusia, kita memiliki zona privacy yang tidak boleh diobok-obok oleh siapapun. Zona ini membuat orang lupa bahwa dirinya memang orang berdosa. Hatinya keras seperti batu. Hanya air saja yang dapat menghancurkan batu itu.
Siapa yang salah?
Tentu saja kita tidak mempersalahkan anak-anak saja. Mereka membutuhkan pendampingan yang baik adanya. Para orang tua dan pendidik butuh suara untuk menasihati anak-anak yang sulit diatur. Faktor keteladanan dan disiplin itu lebih banyak berbicara dari pada kata-kata saja yang keluar dari dalam mulut. Maka sedikit bicara dan banyaklah mendengar. Mohon ampun Tuhanku!
Saya mengakhiri FFT ini dengan mengutip perkataan Paus Fransiskus, “Jika kita tidak mendengarkan suara Tuhan, hati kita menjadi seperti tanah tanpa air. Itulah sebabnya Tuhan berkata: “Jangan keraskan hatimu”. (Jika kita tidak mendengarkan suara Tuhan, hati kita menjadi seperti tanah tanpa air. Itulah sebabnya Tuhan berkata: “Jangan keraskan hatimu”. Orang yang keras hati akan menutup rahmat Tuhan. Perkataan Paus Fransiskus ini menandakan bahwa banyak di antara kita yang belum mau mendengar suara Tuhan. Orang yang tidak mau mendengar, dengan sendirinya tidak akan mampu menjadi pribadi yang taat. Orang yang taat akan berjalan dalam jalan kebenaran. Orang yang tidak taat tidak maka kita tidak lebih dari tanah tanpa air. Mohon ampun Tuhan!
PJ-SDB