Butuh Komitmen dalam Pernikahan
Pada tahun yang lalu saya sempat membaca buku berjudul ‘The Storm-Tossed Family’ karangan Russel Moore. Buku ini menjelaskan tentang persoalan-persoalan keluarga masa kini, laksana keluarga yang berda di tengah badai dunia. Ada salib-salib yang harus dipikul oleh setiap pribadi di dalam keluarga. Ada satu bagian yang membahas tentang jalan menuju dan keluar dari perceraian. Setelah menguraikan panjang lebar terutama refleksi biblis dan contoh-contoh praktis, Russel Moore menegaskan tentang perlunya komitmen yang jelas dalam mengarungi bahtera pernikahan. Dia bertanya: “Apa yang harus dilakukan oleh pasangan suami dan istri untuk melawan budaya perceraian terkait pernikahan mereka sendiri? Bagi Russel Moore, para pasangan suami dan istri harus memiliki rencana yang jelas dari awal pernikahan. Pertanyaan acuannya adalah: “Untuk apa anda menikah?” Selain itu, para pasangan suami dan istri perlu meyakini janji perkawinannya di hadirat Tuhan. Janji perkawinan bukan sekedar ‘kontrak cinta’ melainkan persatuan permanen dan tidak dapat dipisahkan. Maka menurutnya, perceraian itu tidak bisa diam-diam menjadi jalan keluar terakhir. Dia juga mengatakan bahwa setiap pernikahan yang tidak memiliki komitmen pada kesetiaan seumur hidup tidak akan bertahan.
Saya sudah lupa sudah berapa pasangan suami dan istri yang saya berkati pernikahan mereka selama ini. Di antara mereka, banyak yang masih berkontak dengan saya. Ada yang anak-anaknya dibabtis, rumah dan kendaraannya diberkati. Tentu saya sebagai imam merasa bahagia ketika mendengar sapaan-sapaan dan cerita dari pasangan suami dan istri yang saya berkati pernikahannya. Namun saya juga merasa sedih ketika mendengar pasangan suami dan istri yang saya berkati berpisah karena alasan-alasan tertentu. Ketika mendengar pasangan-pasangan suami dan istri yang bercerai, saya merasa sedih. Mereka sudah saling mengenal saat berpacaran, sudah merasa cocok satu sama lain, tetapi ketika ada badai datang menghantam bahtera keluarganya maka mereka cepat-cepat menyerah dan berpisah. Keluarga, para saksi dan orang-orang yang mengenal pasangan ini saat diberkati di gereja hanya terdiam dan tak mau berkata-kata.
Setiap panggilan itu memang butuh komitmen yang kuat. Saya sebagai seorang imam dan biarawan juga memiliki komitmen untuk setia dalam panggilan hidup saya. Saya mencintai Dia yang tidak kelihatan namun tetap berusaha untuk mencintai-Nya hari demi hari. Belum ada kata pisah yang terlewat dalam pikiran saya. Kalau para suami dan istri berpegang pada komitmen yang mereka ikrarkan dalam janji perkawinannya maka mereka akan setia. Kesaksian hidup pernikahan mereka yang penuh kesetiaan, keceriaan akan menjadi kekuatan bagi kami yang tidak menikah untuk setia dan kuat dalam panggilan hidup kami. Mengapa? Karena kami sadar bahwa panggilan menjadi imam, biarawan dan biarawati itu muncul pertama dari dalam keluarga. Kami memiliki orang tua yang menikah, yang miskin dan sederhana, yang penuh dengan kelemahan, tetapi mereka menunjukkan keindahan sebuah panggilan hidup.
Saya selalu mengingatkan pasangan suami dan istri yang saya berkati: “Apa yang dipersatukan Allah, jangalah diceraikan manusia”. Ketika ada badai dalam keluarga, ingatlah saat-saat anda pertama kali begitu tergila-gila dengan dia sampai anda jatuh cinta dengannya. Ingatlah ketika suasana terharu di depan altar anda mengucapkan untuk pertama kali janji pernikahanmu di hadirat Tuhan dan sesama. Ingatlah hal-hal yang terbaik yang anda alami bersamanya dan cobalah melupakan hal-hal yang tidak baik. Ketika kita belajar untuk lupa, kita bisa bahagia dan setia. Tuhan saja lupa dengan dosa kita dan Dia tetap bahagia memelihara hidup kita sampai saat ini. Maka berkomitmenlah dalam hidup perkawinanmu.
Doa dan berkat bagimu keluarga-keluarga terkasih.
P. John Laba, SDB