Kemerdekaan bukan tujuan akhir!
Pada hari ini hampir semua orang termasuk anda dan saya saling berucap dan bersalaman sambil berkata: “Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-76”. Ada yang mengucapkannya dengan tulisan bergambar, ada yang mengucapkannya secara langsung dalam pembicaraan, ada juga yang menggunakan lirik lagu ‘rumah kita’ dari God Bless: “Lebih baik di sini, rumah kita sendiri. Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa. Semuanya ada di sini. Rumah kita…” Ya Indonesia adalah rumah kita. Ucapan selamat seperti ini memiliki makna tersendiri, lebih lagi saat ini kita semua masih mengalami dampak berkepanjangan dari pandemik C-19. Ada banyak saudari dan sudara yang mendapat grasi dari presiden dan merasakan kemerdekaan dari lapas yang selama ini mereka huni karena mereka benar-benar merasa bersalah dan memohonkan kepada Bapak Presiden, tetapi masih banyak yang masih seakan terpenjara karena mengalami dampak langsung C-19. Mereka kehilangan pekerjaan, beban ekonomi. Pokoknya mengalami kesulitan mencari makan di negeri sendiri yang sudah merdeka 76 tahun silam.
Kemerdekaan memang bukan tujuan akhir dari segalanya. Orang-orang generasi pertama mungkin lebih banyak berpikir tentang perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Harapan mereka sudah tercapai, tetapi selanjutnya apa yang harus dilakukan pasca generasi pertama kemerdekaan untuk mengisi kemerdekaan ini. Saya mengingat Bung Hatta sendiri mengatakan: “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat.” Perkataan ini sangatlah mirip dengan pemikiran Bung Karno yang mengatakan: “Merdeka hanyalah sebuah jembatan, walaupun jembatan emas, di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis!” Merdeka bukan berarti semuanya sudah tuntas. Kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan yang adil dan merata sehingga prinsip keadilan dalam dunia sama rata sama rasa bisa dicapai. Kalau tidak maka yang ada hanyalah dunia sama ratap sama tangis. Ini yang masih dialami oleh banyak orang.
Perkataan kedua Bapak Proklamator ini tetaplah menjadi tantangan besar bagi setiap generasi. Bahwa ada prinsip sama rata dan sama rasa sudah sedang dialami oleh banyak orang di negeri ini. Hanya saja kesadaran akan prinsip ini belum masuk sampai di dalam hati mereka sehingga kebiasaan nyinyir dan bersungut-sungut masih menguasai mereka. Bahwa masih ada dunia sama ratap dan sama tangis tidak boleh kita abaikan. Masih ada ketidakadilan dalam masyarakat, kebebasan beragama kadang dirasa masih sebatas slogan karena susahnya kaum minoritas mendapat ijin membangun rumah ibadat atau beribadat di tempat-tempat tertentu. Masih ada tindakan diskriminatif dalam hal minoritas dan mayoritas dalam pemerintahan kita baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal-hal ini masih terang benderang di depan mata kita. Artinya kemerdekaan memang sudah dicapai tetapi kemerdekaan hati, dunia sama rata sama rasa, kebahagiaan dan kemakmuran masih tetap dalam ‘alam’ perjuangan, entah sampai kapan.
Bung Karno memang seorang nasionalis tulen. Dia pernah berkata: “Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!” Kalau dia masih hidup di tengah bangs aini maka yang ada padanya adalah kesedihan karena harapannya masih belum tercapai. Menyedihkan!
Saya mengingat nasihat Santo Petrus dalam suratnya yang berlaku umum bagi kita semua: “Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.” (1Ptr 2:16). Orang merdeka adalah orang yang hidup sebagai hamba Allah. Di mata para hamba Allah, semangat untuk melayani dan membantu orang untuk menjadi manusia itu jauh lebih berkenan daripada menyalahgunakan wewenangnya seolah sebagai orang merdeka padahal terselubung oleh berbagai kejahatannya. Kemerdekaan bukan tujuan akhir. Kemerdekaan yang benar adalah kemerdekaan hati di mana orang sungguh merasa bahagia dan menikmati kemakmuran dalam hidupnya. Merdeka! Merdeka! Merdeka!
P. John Laba, SDB