Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXI
1Tes. 1:2b-5,8b-10;
Mzm. 149:1-2,3-4,5-6a,9b;
Mat. 23:13-22
Keteladanan itu nomor Satu
Saya selalu mengingat perkataan sekaligus nasihat dari seorang umat dalam sebuah perbincangan santai di rumahnya. Ini adalah kunjungan keluarga yang saya lakukan untuk kedua kalinya. Kami membicarakan banyak hal tentang suasana berpastoral yang kontekstual di paroki. Dan ia mengatakan kepada saya: “Saya memiliki satu harapan yang penting bagi para leader, entah dalam masyarakat biasa atau di dalam Gereja sekalipun supaya mereka itu lebih baik berbicara sedikit dan lebih banyak menunjukkan keteladanan. Pokoknya keteladanan itu nomor satu, sedangkan kata-kata itu hanya hiasannya saja.” Saya mengangguk dan mengamini perkataan umat sederhana ini. Memang, kelihatan bahwa perkataannya ini juga sederhana tetapi memiliki makna yang mendalam, memiliki kekuatan untuk mengoreksi cara pandang para pemimpin yang berpikir bahwa berbicara banyak itu lebih efektif. Kadang semakin banyak berbicara semakin tidak berpengaruh apa-apa.
Kita sudah mengakhiri bacaan pertama yang cukup panjang dalam Kitab Perjanjian Lama. Kita mengakhirinya dengan kisah kasih Rut seorang wanita asing dari Moab dengan kerabat Elimelekh yakni Boas di Bethlehem. Rut dan Boas ini masuk dalam silsilah Yesus karena mereka menjadi nenek moyang Yesus. Boas memperanakan Obed, Obed nantinya memperanakan Isai, sang ayahanda raja Daud. Kita membaca Silsilah Yesus di dalam Injil Matius di mana dikatakan: “Boas memperanakkan Obed dari Rut, Obed memperanakkan Isai, Isai memperanakkan raja Daud.” (Mat 1:5-6). Kita lalu mengenal Yesus memiliki sapaan: “Anak Daud” karena Yusuf bapa pengasuh-Nya adalah keturunan dari raja Daud.
Pada pekan ini kita membaca bacaan dari tulisan santo Paulus yang pertama kepada jemaat di Tesalonika. Surat ini ditulis untuk memberi dorongan dan meneguhkan jemaat-jemaat yang ada di Tesalonika setelah menerima penginjilan. Tentu saja ini menarik perhatian kita semua. Ada kemungkinan Paulus menulis surat peneguhan ini di kota Athena setelah Timotius kembali dari Makedonia dengan membawa berita mengenai keadaan gereja di Tesalonika (Kis 18:1-5; 1 Tes 3:6). Pada hari ini kita mendengar bagian pendahuluan yang sangat meneguhkan dari St. Paulus bagi mereka. Surat ini menjadi menarik karena sosok Paulus yang tetapi merasa memiliki tanggung jawab moral untuk pertumbuhan iman dan juga injil di kota Tesalonika. Paulus hadir dalam tulisan dan keteladanan yang baik bagi jemaat di Tesalonika.
Paulus memulai surat ini dengan mengingatkan jemaat bahwa ‘kami’ dalam hal ini Paulus dan rekan-rekannya selalu mengingat jemaat dalam doa-doa. Seorang pemimpin sejati itu hadir secara rohani dengan mendoakan tanpa perlu yang didoakan mengetahuinya. Paulus dan rekan-rekannya mendoakan jemaat sebab mereka sendiri mengingat amal iman, usaha kasih dan ketekunan harapan di hadapan Allah Bapa. Tiga kata kunci yang menunjukkan karakter jemaat di Tesalonika sebagaimana dikatakan Paulus di sini yakni amal iman, usaha kasih dan ketekunan harapan atau kebajikan-kebajikan ilahi yang dimiliki umat yakni iman, harapan dan kasih.
Selain itu Paulus mengingatkan mereka akan keterpilihan dari pihak Allah bagi mereka untuk menerima Injil. Injil yang adalah kabar sukacita itu disampaikan oleh Paulus dan rekan-rekannya bukan hanya dengan kata-kata melainkan dalam kekuatan, dalam Roh Kudus, dan kepastian yang kokoh. Nah, di sini muncul tiga hal lagi yakni kekuatan, Roh Kudus dan kepastian. Injil memiliki kekuatan karena Roh Kudus yang mengilhami dan ini tentu merupakan sebuah kepastian yang diwartakan dan diterima umat. Paulus tetap meyakinkan mereka tentang keteladanan yang dia tunjukkan kepada mereka dalam pekerjaan yang nyata. Dampak dari keteladanan baik Paulus bagi jemaat adalah Injil yang mereka terima berkembang dan mengubah hidup mereka. Sikap hidup mereka dalam berelasi satu sama lain dan dalam relasi dengan Tuhan juga menjadi lebih baik. Paulus mengatakan tentang transformasi radikal dari hidup mereka karena pewartaan Injil: “Kamu berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar, dan untuk menantikan kedatangan Anak-Nya dari sorga, yang telah dibangkitkan-Nya dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang menyelamatkan kita dari murka yang akan datang.” (1Tes 1:9-10).
Keteladanan Paulus dan rekan-rekannya yang mengubah hidup jemaat di Tesalonika sangat berbeda dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Mereka dikecam dengan keras oleh Yesus karena sikap hidup mereka yang munafik. Sikap munafik mereka di hadirat Tuhan ditandai dengan menutup pintu Kerajaan Surga bagi orang lain sehingga mereka terhalang masuk, sedangkan mereka sendiri tidak masuk. Sikap munafik juga mereka tunjukan dengan menindas kaum kecil seperti para janda padahal mereka kelihatan mengelabui dengan doa yang panjang. Sikap munafik mereka tunjukan dengan mempertobatkan orang lain kemudian menjadikan mereka lebih jahat lagi. Ini adalah kecaman-kecaman terhadap para ahli Taurat dan kaum Farisi yang munafik. Ini tidak ada keteladanan yang baik! Tuhan Yesus mengecam para pemimpin buta yang suka bersumpah palsu. Para pemimpin ini menunjukkan kebodohan dan kebutaan mereka karena hanya melihat barang-barang duniawi yang menarik hati mereka dan lupa akan hal-hal ilahi yang menguduskan.
Hidup ini adalah pilihan. Kita berhadapan dengan sosok Paulus, seorang pemimpin yang hadir, mengenal dan mendampingi jemaat untuk menerima Injil dan menjadi kudus. Kita berhadapan dengan para ahli Taurat dan kaum Farisi yang juga menjadi pemimpin tetapi minim teladan hidup yang baik. Mari kita memilih yang terbaik tentu saja dan menghayatinya dalam hidup pribadi dan mengubah atau mentransformasi kehidupan pribadi dan sesama kita untuk lebih layak di hadirat Tuhan.
P.John Laba, SDB