Homili hari Minggu Biasa ke-XXIB – 2021

Hari Minggu Biasa XXI/B
Yos. 24:1-2a,15-17,18b;
Mzm. 34:2-3,16-17,18-19,20-21,22-23;
Ef. 5:21-32;
Yoh. 6:60-69

Menata kembali Relasi dan Kesetiaan hidup

Apakah anda seorang pribadi yang setia dalam hidupmu? Ini adalah sebuah pertanyaan yang selalu kita hadapi setiap hari dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Saya sebagai seorang imam memiliki doa pada saat menjelang akhir hari yang disebut Completas atau Night Prayer. Mengawali ibadat ini selalu ada kesempatan untuk memeriksa batin dan dilanjutkan dengan doa mohon pengampunan dari Tuhan. Pemeriksaan batin merupakan kesempatan untuk mengevaluasi diri di hadapan Tuhan dan sesama, sejak bangun pagi hingga istirahat malam. Pertanyaan yang penting dalam pemeriksaan batin adalah tentang relasi pribadi dengan Tuhan dan sesama termasuk pekerjaan atau pelayanan, dan kesetiaan untuk menumbuhkan relasi dimaksud. Banyak kali saya menemukan diri saya sebagai orang yang memiliki kelemahan dalam membangun relasi dengan Tuhan dan sesama. Saya juga menemukan diri saya sebagai pribadi yang tidak setia dalam berelasi dengan Tuhan dan sesama. Benar-benar sebuah kerapuhan dalam hidup pribadi saya. Dengan mengetahui sisi-sisi gelap dan sisi-sisi terang dalam hidup pribadiku maka saya berusaha untuk menata kembalai relasi dan kesetiaan hidupku dengan Tuhan dan sesama.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada Hari Minggu Biasa ke-XXI ini mengarahkan kita untuk menata kembali relasi dan kesetiaan kepada Tuhan. Dalam bacaan pertama dari Kitab Yosua, kita mendapat gambaran tentang relasi bangsa Israel dan kesetiaan mereka kepada Tuhan Allah yang benar. Yosua mengatakan kepada meraka di Sikhem: “Beginilah firman Tuhan, Allah Israel: Dahulu kala di seberang sungai Efrat, di situlah diam nenek moyangmu, yakni Terah, ayah Abraham dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada allah lain. Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada Tuhan, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan!” (Yos 24:14-15).

Orang-orang Israel sepakat untuk tetap mengikat relasi yang baik dengan Tuhan bersama dengan Yosua dan keluarganya. “Jauhlah dari pada kami meninggalkan Tuhan untuk beribadah kepada allah lain! Sebab Tuhan, Allah kita, Dialah yang telah menuntun kita dan nenek moyang kita dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang telah melakukan tanda-tanda mujizat yang besar ini di depan mata kita sendiri, dan yang telah melindungi kita sepanjang jalan yang kita tempuh, dan di antara semua bangsa yang kita lalui, Tuhan menghalau semua bangsa dan orang Amori, penduduk negeri ini, dari depan kita. Kamipun akan beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah kita.” (Yos 24:16-18). Bangsa Israel sedang diingatkan oleh Yosua untuk memilih dan memutuskan relasi mereka dengan Tuhan Allah. Yosua sedang tidak berkata-kata saja tetapi dia juga sedang menunjukkan teladannya dalam berelasi dan setia kepada Tuhan. Keteladanan hidup Yosua menginspirasi banyak orang, anda dan saya untuk berusaha membangun relasi yang baik dengan baik dan setia kepada Tuhan.

Relasi dan kesetiaan manusia diperjelas oleh St. Paulus di dalam bacaan kedua. Dalam amanatnya kepada jemaat di Efesus, Paulus mula-mula mengingatkan relasi antara suami dan istri sebagai pasangangan hidup. Relasi yang digambarkan Paulus sebagai relasi kasih, kepatuhan kepada suami dan hormat kepada sang istri dan bahwa yang dipersatukan dengan Allah tidak boleh dipisahkan manusia. Relasi suami dan istri yang sangat harmonis ini menjadi model relasi antara Tuhan Yesus dan Gereja-Nya. Paulus menulis: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef. 5:31-32). Hidup berkeluarga membutuhkan sebuah relasi yang sempurna dalam Tuhan dan berjalan dalam kesetiaan.

Dalam bacaan Injil, kita mendengar bagian terakhir dari diskursus Yesus tentang tentang Roti Hidup. Tuhan Yesus sudah menegaskan bahwa Dialah Roti hidup yang turun dari Surga. Konsekuensinya adalah “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.” (Yoh 6:54). Perkataan Yesus ini dirasa oleh para murid sebagai hal yang keras sehingga membuat banyak di antara mereka yang tidak bertahan dan memilih untuk mundur. Penginjil Yohanes menulis: “Sebab Yesus tahu dari semula, siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia.” (Yoh 6: 64). Selanjutnya, Yesus menguji relasi dan kesetiaan mereka kepada-Nya. Ia bertanya: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh 6: 67). Simon Petrus mengakui imannya dengan berkata: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” (Yoh 6:68-69). Relasi pribadi dan kesetiaan iman menjadi kekuatan tersendiri bagi para rasul untuk tetap tinggal bersama Yesus.

Lalu bagaimana kita dapat menata relasi dan kesetiaan kita kepada Tuhan dalam hidup setiap hari?

Pertama, kita harus merasa membutuhkan Tuhan dalam setiap situasi hidup kita. Tuhan Yesus berkata: “Terlepas dari pada-Ku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Ini berarti kita harus sadar diri untuk tetap beriman kepada Tuhan, menaruh seluruh harapan kita kepada-Nya. Tanpa perasaan membutuhkan Tuhan, tidak aka nada relasi dan kesetiaan kepada-Nya.

Kedua, Sakramen Ekaristi mempersatukan kita sebagai pribadi dengan Tuhan dan persekutuan antar pribadi-pribadi. Di dalam Ekaristi kita bersyukur karena dapat melihat Tuhan dengan mata kita sendiri. Kita memang Allah yang tersamar dalam Roti Ekaristi yang dikuduskan oleh imam. Sebab itu relasi dan kesetiaan kita harus bertumbuh dan berkembang.

Ketiga, Pertanyaan Petrus: “Tuhan, kepada siapa kami akan pergi?” Pertanyaan ini membuka wawasan kita bahwa kita sudah sedang mengikuti dan berjalan bersama Tuhan Yesus Kristus. Kita tidak berjalan sendiri, tidak berjalan dengan sesuatu tetapi berjalan dengan seorang yang bernama Yesus. Dia bahkan memberi diri-Nya sebagai Roti hidup untuk menguatkan kita semua.

Keempat, kita dipanggil untuk menjadi Roti hidup bagi sesama. Sama seperti Yesus yang merelakan tubuh-Nya dipecah-pecah dan dibagikan, demikian juga kita berani kehilangan diri kita untuk membahagiakan dan menyelamatkan sesama kita.

Semoga sapaan Tuhan pada hari Minggu ini sungguh-sungguh membaharui hidup kita. Mari sekali lagi kita menata relasi dan kesetiaan kita kepada Tuhan dan sesama.

P. John Laba, SDB