Hari Rabu, Pekan Biasa XXXIII
2Mak. 7:1,20-31
Mzm. 17:1,5-6,8b,15
Luk. 19:11-28
Merenungkan “kemuliaan” sebuah pekerjaan
Pada pagi hari ini saya menerima sebuah kutipan, yang merupakan ucapan dari Beata Theresia dari Kalkuta, bunyinya: “Hanya sedikit di antara kita yang melakukan hal-hal besar, tetapi semua orang di antara kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Ucapan yang keluar dari mulut orang kudus modern ini menginsipirasikan kita untuk memahami makna sebuah spiritualitas kerja. Kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan, mengapa kita sebagai manusia mau bekerja? Ada dua alasan rohani yakni, pertama, kita bekerja karena Tuhan menghendaki supaya kita ikut berpartisipasi dalam diri-Nya sebagai pencipta. Kita semua percaya bahwa Tuhan adalah Pencipta semesta alam. Yesus sendiri berkata: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.” (Yoh 5:17). Kedua, kita bekerja untuk mewujudkan jati diri kita sebagai manusia. Mengapa demikian? Karena hanya manusia yang bisa bekerja dengan menggunakan akal budi, hati nurani dan kebebasannya.
Saya mengingat beberapa tokoh yang bisa membuka wawasan kita tentang kemuliaan sebuah pekerjaan dan membuat diri kita sebagai manusia menjadi Homo Faber atau Ein Bericht. Napoleon Hill pernah berkata, “Setiap orang menikmati jenis pekerjaan yang paling cocok untuknya”. Bagiku, pandangan Napoleon Hill ini memang ada benarnya. Kalau orang tidak cocok dengan pekerjaannya maka ia juga tidak akan menikmatinya dengan baik. Joan Chittister berkata: “Kita bekerja karena dunia belum sempurna dan tugas kita adalah mengembangkan dunia ini”. Kita bertindak sebagai agen Tuhan untuk meyempurnakan sebagala ciptaan-Nya dengan bekerja. Martin Luther King Jr berkata: “Jika orang dipanggil menjadi penyapu jalan, ia harus menyapu jalan tidak ubahnya dengan Michelangelo melukis atau Bethoven yang menggubah music, atau Shakespeare menulis puisi. Ia harus menyapu jalan dengan demikian baiknya sehingga segenap penghuni surga dan bumi akan berhenti sejenak dan berkata, “Hiduplah seorang penyapu jalan yang besar yang melaksanakan pekerjaannya dengan baik”.
Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk memandang kemuliaan sebuah pekerjaan dalam hubungannya dengan keselamatan. Tuhan Yesus sedang bergerak menuju ke Yerusalem. Di sana Ia menyempurnakan segala pekerjaan Bapa dengan menderita, wafat dan bangkit dari kematian-Nya. Ia mengetahuinya namun Ia tetap berjalan menuju ke Yerusalem dengan penuh kesadaran. Dalam perjalanan ini, Ia coba membuka hati para murid-Nya untuk selalu berjaga-jaga dalam menanti kedatangan Tuhan, berusaha untuk mengembangkan segala sesuatu yang Tuhan berikan kepadanya dan nantinya bisa mempertanggungjawabkannya kepda Tuhan pada saatnya yang tepat.
Ia memberi sebuah perumpamaan. Ada seorang bangsawan yang berangkat ke negeri yang jauh untuk dinobatkan sebagai raja, dan akan kembali untuk memerintah. Bangssawan ini sendiri sebenarnya tidak disukai orang setempat. Keunikannya adalah ia masih mau memanggil sepuluh orang hambanya dan memberikan mereka masing-masing satu mina dengan pesan: “Pakailah mina ini untuk berdagang sampai aku kembali”. (Luk 19:13). Ini berarti sejahat apa pun pribadinya, ia masih percaya kepada hamba-hambanya. Tentu saja setiap hamba diharapkan untuk bertanggung jawab terhadap mina yang diberikan kepada mereka.
Ketika bangsawan itu kembali sebagai raja, ia meminta pertanggungjawaban dari setiap hamba. Tiga hamba ditampilkan untuk mewakil kesepuluh hamba tanpa nama ini. Hamba pertama datang dan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya. Dari satu mina yang diterimanya, ia bisa menghasilkan sepuluh mina. Perlu kita ketahui bahwa mina adalah mata uang yang berharga 100 dinar, setingkat dengan upah pekerja seharian dalam 100 hari. (Luk 19:13). Hamba kedua datang membawa lima mina. Ini merupakan komitmen dan kesungguhannya sehingga menghasilkan sejumlah mina dan menyenangkan hati tuannya. Hamba ketiga datang dan mengembalikan mina yang diberikan oleh tuannya.
Mari kita memperhatikan sikap hidup dari bangsawan ini. Dia memiliki uang dan harta maka dia juga boleh melakukan apa yang dikehendakinya. Hamba ketiga menggambarkannya sebagai manusia yang keras; tuan mengambil apa yang tidak pernah tuan taruh dan tuan menuai apa yang tidak tuan tabur (Luk 19:21). Apalagi perjalanannya kali ini adalah untuk dinobatkan sebagai raja. Jadwal keberangkatannya memang jelas tetapi kembalinya tidak jelas. Maka para hamba tentu harus berjaga-jaga sambil mengembangkan uang mina yang dipercayakan kepadanya. Para hamba sendiri diberi kepercayaan oleh tuannya karena tuan itu percaya bahwa mereka bisa melakukan kehendaknya. Mereka tidak harus menghasilkan jumlah yang banyak, tetapi ketulusan hati untuk mengembangkan, untuk bekerja dan menghasilkan mina yang baru. Karena itu, kedua hamba yang pertama dipuji sebagai hamba yang setia dalam hal yang kecil (uang mina) dan mereka dianggap layak dalam perkara yang besar. Tugas dan tanggung jawab baru diberikan kepada mereka. Hamba yang ketiga dinilai malas, tidak bertanggung jawab dan patut mendapat hukuman setimpal.
Perumpamaan ini jelas berbicara tentang anda dan saya. Tuhan memberikan tugas dan tanggung jawab kepada kita untuk bekerja, mengembangkan dunia ini menjadi lebih baik. Namun kenyataannya, kepercayaan Tuhan itu tidak bisa dilakukan dengan baik. Ada di antara kita yang kreatif dan bisa mengembangkan segala pemberian Tuhan demi kebaikan bersama, ada yang malas dan hidup selayaknya orang mati, tidak berkembang. Ada orang yang tidak setia dalam perkara yang kecil, keluarganya sendiri tidak bisa mengurusnya dengan baik sehingga berdampak buruk bagi anak-anaknya tetapi ia mau melakukan hal-hal yang besar. Ini tidak lebih dari sebuah lelucon. Orang harus berkomiten untuk menjadi lebih baik. Sikap rohani yang harus kita miliki adalah selalu berjaga-jaga menanti kedatangan Tuhan. Apakah anda selalu berjaga-jaga menanti kedatangan Tuhan?
Selama beberapa hari terakhir ini, negeri kita dilanda sebuah emosi. Banyak orang sinis memandang wajah para legislatif kita yang ceroboh, mencatut nama presiden Joko Widodo dan Yusuf Kala, dalam kaitan dengan perijinan PT. Freeport Indonesia. Ada masalah politik dan hukum yang menggemparkan seluruh negeri ini. Bisa jadi ada yang menjadi hamba yang baik dan setia, ada juga yang menjadi hamba yang jahat karena bisa mementingkan dirinya sendiri, dan kloni-kloninya.
Mari kita belajar dari figur seorang ibu yang bertanggung jawab, sebagaimana dikisahkan dalam bacaan pertama. Ia melahirkan tujuh orang anak, dan dalam waktu sehari ia menyaksikan kemartiran mereka. Ia menunjukkan tanggung jawabnya sebagai ibu yang menghibur anak dalam situasi derita, mencekam dan mengarahkan mereka untuk menjadi hamba yang setia kepada Tuhan. Ia pasti percaya bahwa Tuhan adalah pencipta dan asal segala sesuatu. Hanya kepada-Nya, hidup kita terarah kepada-Nya. Apakah kita bisa bekerja, setia mewujudkan diri kita sebagai manusia?
PJSDB