Renungan 8 Mei 2012

Selasa Pekan Paskah V

Kis 14:19-28
Mzm 145:10-11.12-13b.21;
Yoh 14:27-31


“Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai”


Selama bertahun-tahun menjadi imam dan merayakan ekaristi bersama umat, salah satu bagian yang selalu menarik perhatian saya dalam Ekaristi adalah pada saat doa damai. Dalam ritus St. Ambrosius di Keuskupan Milano, Italia, doa damai didoakan dan saling memberi damai dilakukan sebelum mengantar persembahan ke altar. Hal ini kiranya cocok dengan apa yang dikatakan Yesus bahwa sebelum mempersembahkan persembahan sebaiknya berdamailah terlebih dahulu (Mt 5:24). Dalam ritus Latin, doa damai dan saling memberi damai dilakukan sebelum menerima persembahan diri Tuhan dalam Komuni kudus. Setiap orang memulainya dengan doa, “Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman GerejaMu dan restuilah kami supaya hidup bersatu dengan rukun sesuai kehendakMu, sebab Engkaulah pengantara kami, kini dan sepanjang masa. Amen”. Setelah itu masing-masing orang saling menyampaikan salam damai dengan sesama disekitarnya.

Apa artinya damai? Kata “Damai” dalam bahasa Yahudi “shalom” dan dalam bahasa Yunani “eirene”. Kata ini berarti sempurna, tanpa cacat dan cela. Dalam hidup sehari-hari kata damai digunakan untuk menyapa pribadi dengan pribadi lain: “Shalom… Selamat”. Jadi, kata damai dipakai untuk mengungkapkan hasrat atau keinginan tertentu terhadap orang lain. Secara teologis, damai dilihat sebagai anugerah Allah: ketika seseorang memiliki damai, orang tersebut yakin bahwa dirinya bersatu dengan Tuhan.

Dalam amanat perpisahanNya, Yesus berkata kepada para MuridNya, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahteraKu Kuberikan kepadamu dan apa yang Kuberikan itu tidak seperti yang dunia berikan kepadamu.” Ya, Tuhan Yesus memberi damaiNya. Dia membiarkan damaiNya tinggal bersama kita dan damai yang Ia tinggalkan pada kita tidak sama dengan yang dunia tawarkan kepada kita. Apa yang harus kita lakukan terhadap damai yang dititip Tuhan Yesus ini? Kita membawa damaiNya kepada semua orang. Yesus berkata, “Berbahagialah mereka yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”. (Mt 5:9). Bagi St. Paulus, damai adalah persekutuan dengan Allah dan Yesus sendiri adalah damai kita (Ef 2:14-17).




Barnabas dan Paulus kiranya memahami makna damai Tuhan ketika mereka melakukan karya penginjilan di daerah Ikonium. Orang-orang Ikonium melempari Paulus dan barnabas dengan batu dan menyeret mereka ke luar kota. Namun yang ada dalam diri Paulus dan Barnabas adalah inner peace. Damai yang merupakan buah Roh Kudus yang bersemayam di dalam hidup mereka diwujudkan di tengah konflik “penginjilan” yang sedang mereka lakukan. Hasilnya tentu sangat positif. Paulus dan Barnabas tetap bertahan. Mereka bahkan menasihati jemaat di Antiokhia untuk bertekun dalam iman dan bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, mereka harus mengalami penderitaan. Untuk memperteguh iman jemaat, Paulus dan Barnabas juga menentukan para penatua sebagai pendamping. Para penatua ini mendampingi jemaat untuk bertumbuh dalam iman dan mengalami damai Tuhan.

Hari ini permenungan kita berfokus pada kata Shalom atau damai Sejahtera. Apa maknanya bagi kita? Berapa nilai dan harganya bagi kita? Kita seharusnya menyadari bahwa hidup dalam damai bukan berarti kita mau bebas dari konflik-konflik kehidupan. Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa “dunia membenci Dia dan para pengikutNya” (Yoh 17:14; 1Yoh 3:13). Nah, damai itu berasal dari jati diri setiap pribadi “inner peace” di tengah konflik dunia, dan damai ini merupakan buah Roh Kudus yang bersemayam di dalam diri setiap pribadi. Mengikuti St. Fransiskus dari Asisi kita juga boleh berdoa supaya di dalam konflik-konflik kepentingan dunia biarlah Tuhan menjadikan kita pembawa damai yang benar.

Doa: Tuhan, Jadikanlah aku pembawa damai. Amen


PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply