Renungan 27 Maret 2013

Hari Rabu Pekan Suci

Yes 50:4-9a

Mzm 69: 8-10.21bcd-22.31.33-34

Mat 26:14-25

Yudas Iskariot: “Bukan aku, ya Rabi?”

Saudara dan saudari yang dikasihi Tuhan. Ada seorang pemuda ditangkap oleh polisi karena kedapatan merampok sebuah toko perhiasan. Banyak orang melihatnya ketika digiring di jalan raya menuju kantor polisi. Ada di antara mereka yang melihatnya mirip salah seorang petugas kebersihan di dalam gereja paroki. Ada yang melihatnya mirip seorang yang sering membantu para lansia menyeberang jalan raya menuju ke gereja. Ada yang melihatnya mirip dengan seorang pelukis rohani. Ada yang mengenalnya mirip seorang donatur bagi anak-anak miskin di salah satu sekolah katolik. Orang-orang itu berusaha mendekati dia dan mengenalnya dari dekat. Mereka mengatakan kepada polisi untuk menginterogasinya jangan-jangan benar orang yang mereka kenal.

Polisi bertanya kepadanya: “Apakah anda salah seorang petugas kebersihan di dalam Gereja?” Dia menjawab, “Ya betul”. Polisi bertanya, “Apakah anda yang suka membantu para lansia menyebarngi jalan raya ke Gereja?” Dia menjawab, “Ya betul”. Polisi bertanya lagi, “Apakah anda yang sering menggambar Tuhan Yesus dan para kudus dan di pajang di gereja?” Dia menjawab, “Ya betul”. Polisi bertanya, “Apakah anda yang selalu menyisihkan uang untuk anak-anak miskin di sekolah?” Dia menjawab, “Ya betul”. Polisi akhirnya bertanya, “Apakah anda  sadar bahwa merampok tokoh perhiasan itu dosa?” Dia menjawab, “Ya betul”. Polisi merasa bahwa orang ini tidak waras karena berkepribadian ganda. Tetapi kisah ini juga menggambarkan diri kita di hadapan Tuhan dan sesama bahwa ada saat-saat tertentu kita menjadi malaikat, tetapi ada saat lain di mana kita menjadi Yudas Iskariot yang jahat.

Sejak kemarin dan hari ini kita mendengar dari bacaan Injil figur Yudas Iskariot. Yudas Iskariot adalah satu-satunya murid Yesus dari daerah Yudea. Mungkin karena dia sendirian di dalam kelompok orang-orang Galilea maka ia dipilih untuk menjadi bendahara komunitas. Sayang sekali dia digambarkan sebagai orang yang tidak jujur karena selalu menggunakan uang untuk keperluan pribadinya dan kadang beralasan “demi orang miskin”. Karena terlalu terikat pada uang dan materi maka Yesus, sang gurunya saja dijual dengan harga tiga puluh perak. Ia bertanya kepada para imam kepala: “Apa yang hendak kalian berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?” Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya. Sejak saat itu ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus.
Yesus mengetahui gelagat Yudas Iskariot maka dalam perjamuan malam terakhir, Ia menyatakan kesedihanNya di hadapan para murid: “Sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku”. Para muridNya merasa bahwa mereka adalah bagian dari “menyerahkan Dia” maka mereka bertanya: “Bukan aku, ya Tuhan?” Hanya Yudaslah yang bertanya, sekaligus mengkonfirmasi dirinya: “Bukan aku, ya Rabi?”

Para murid lain bertanya dengan wajah yang polos kepada Yesus sebagai murid: “Bukan aku, ya Tuhan?”  Yudas bertanya dengan wajah munafik: “Bukan aku, ya Rabi” karena uang tiga puluh perak suda ada di tangannya. Ciuman kemunafikannya pun akan diberikan kepada Yesus. Kata guru atau rabi lebih banyak dipakai oleh para ahli taurat, imam kepala dan kaum Farisi. Bagaimana reaksi Yesus? Yesus mengerti bahwa kehendak Bapa adalah hal yang tertinggi maka Dia tidak menaruh dendam terhadap mereka. Ia justru berlutut di depan mereka sambil membasuh kaki sebagai tanda kasih hingga tuntas.

Yesus senantiasa berbeda dengan kita. Ia dikhianati tetapi tidak pernah membalas pengkhianatan dengan hukuman. Ia hanya menyatakan kekesalanNya: “Celakalah orang yang olehnya Anak Manusia akan diserahkan! Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan!” Berbeda dengan kita sebagai manusia yang selalu menyimpan dendam dalam waktu yang lama. Kita sulit untuk mengampuni dan memaafkan orang yang bersalah kepada kita.

Yesaya dalam bacaan pertama menampilkan himne ketiga Hamba Tuhan yang menderita. Hamba Tuhan itu mengakui dirinya sebagai murid di mana Tuhan Allah memberika kepadanya perkataan-perkataan yang diletakkan di atas lidanya. Perkataan-perkataan itu bermanfaat untuk memberi semangat kepada orang yang letih lesu. Ia juga mempertajam telinga untuk mendengar semua perkataanNya. Jadi sebagai murid hamba Tuhan itu memiliki kemampuan untuk berbicara dan mendengar dengan baik. Di samping itu konsekuensi pemuridan adalah siap untuk menderita dengan aneka pukulan. Tetapi murid selalu sadar bahwa Tuhanlah yang akan menjadi satu-satunya penolong, meneguhkan hati.

Figur hamba Tuhan yang menderita juga menggambarkan Yesus sebagai hamba yang menderita. Ia membiarkan diriNya dipukuli, dipaku di kayu salib hingga wafat. Semua ini adalah kehendak Bapa di Surga dan Ia mentaatiNya. Sikap Yesus ini kiranya cocok dengan hamba Tuhan yang menderita yakni bahwa Ia telah berbicara dalam nama Bapa, dan selalu mendengar Bapa. Dia juga berserah kepada Bapa: “Ke dalam tanganMu ya Bapa, Aku menyerahkan nyawaKu”. 

Sabda Tuhan hari ini memanggil kita untuk berubah. Kita mengakui diri sebagai orang yang dibaptis tetapi hidup keseharian kita penuh dengan pengkhianatan kepada Tuhan dan sesama. Kita juga mengkhianati Tuhan dengan meninggalkanNya, menjadi murtad demi harta, kedudukan dan popularitas. Kita juga mengkhianati sesama dengan memeras, menginjak dan tertawa di atas penderitaan mereka. Sungguh suatu sikap yang tidak manusiawi. Mari kita berubah menjadi murid yang baik, yang selalu mendengar Tuhan dan melakukan FirmanNya di dalam hidup setiap hari.
Doa: Tuhan bantulah kami untuk setia mendengar dan melakukan SabdaMu. Amen
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply