Wanita Pemberani

Maria Magdalena Dan Raden Adjeng Kartini

P. John SDBDi dalam Kitab Suci kita menemukan banyak tokoh wanita pemberani. Maria Magdalena adalah salah satu contoh wanita pemberani. Ia berjalan kemana-mana bersama para murid Yesus Kristus. Perempuan lain yang ikut bersamanya adalah Maria ibu Yesus, Maria ibu Yakobus Muda dan Salome. Maria Magdalena dan teman-temannya ini dikatakan sebagai wanita pemberani karena mereka mau keluar dari lingkungan mereka untuk menyapa kaum pria yang mengikuti Yesus dari Nazareth dan melayani mereka dengan harta kekayaan pribadi. Padahal berdasarkan adat kebiasaan pada zaman itu, seorang wanita tidak perlu menjadi akrab dengan pria apalagi kalau pria itu orang asing. Ada jarak yang jauh antara pria dan wanita.

Penginjil Matius mengisahkan tentang para saksi kebangkitan Kristus. Di antara para saksi itu, saksi wanita adalah orang pertama yang dipanggil Tuhan untuk menyaksikan kebangkitan Yesus Kristus PuteraNya. Mereka adalah Maria Magdalena dan Maria yang lain yang datang ke kubur Yesus pada pagi-pagi buta. Mereka berdua datang dalam suasana gelap, penuh dengan ketakutan, apalagi saat itu ada gempa bumi. Mereka semakin takut ketika berjumpa dengan malaikat Tuhan yang berpakaian putih duduk di atas batu penutup pintu kubur Yesus. Ia berkata kepada mereka, “Janganlah kalian takut, sebab sebab kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada disini sebab Ia telah bangkit sama seperti yang dikatakanNya” (Mat 28:5-6). Ketakutan sebagai ketakutan tidak menghasilkan apa-apa. Itu sebabnya Yesus berkata, “Jangan Takut”.

Maria Magdalena dan Maria yang lain (ibu Yakobus) adalah figur-figur wanita yang memiliki perjuangan yang mirip. Sebagai kaum wanita, mereka berjuang supaya situasi social bisa berubah dan orang bersatu di dalam keluarganya. Keluarga-keluarga bisa berubah lebih baik. Sosok Maria Magdalena menginspirasikan kita untuk terus menerus berjuang mencari dan menemukan Tuhan dalam segala situasi. Tentu ada pengalaman kegelapan, ada halangan-halangan lain yang muncul dari fenomena alam seperti bencana alam. Maria Magdalena dan Maria yang lain tetap berani berusaha sampai menemukan Yesus sang Rabuni.

Pada hari ini 21 April, bangsa Indonesia memperingati hari Kartini. Orang kebanyakan mengatakan hari ini sebagai hari emansipasi kaum wanita. Apabila menyebut kata emansipasi wanita, pikiran semua orang tertuju pada sosok seorang wanita pemberani dari tanah Jawa, tepatnya di kota Jepara Jawa tengah bernama Raden Adjeng Kartini. Ia dilahirkan di Jepara 21 April 1879 dan meninggal di Rembang Jawa Tengah pada tanggal 17 September 1904 dalam usia 25 tahun. Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang saat itu menjabat sebagai bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah.

Dari segi latar belakang keluarganya, nenek moyangnya, khusus dari ibunya adalah guru agama islam maka sejak kecil nilai-nilai agama islam itu sudah ditanam di dalam hidupnya. Ketika masih kecil ia bisa bersekolah hingga usia 12 tahun. Ia juga bisa mengerti bahasa Belanda sehingga bisa surat menyurat dengan sahabat-sahabat di negeri Belanda, misalnya dengan Rosa Abendanon. Dari surat menyurat dan surat khabar berbahasa Belanda, Kartini bisa melihat bahwa wanita di Eropa memiliki kebebasan dan bermartabat yang lebih baik dibandingkan dengan para wanita pribumi di negeri ini. Inilah yang mendorong dia untuk berpikir bagaimana memperjuangkan emansipasi kaum wanita di nusantara dan masalah-masalah social lain yang dihadapi kaum wanita umumnya. Dia gemar membaca buku-buku seperti Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli dan buku-buku lainnya dalam bahasa Belanda.

Raden Adjeng Kartini adalah seorang wanita pemberani pada zamannya karena ia mempelopori kebangkitan perempuan pribumi. Hasil pemikirannya tertuang dalam surat-suratnya yang di kemudian hari dibukukan dengan judul: “Door Duisternis tot Licht” yang berarti “Dari kegelapan menuju cahaya”.

Apa saja yang menjadi keprihatinan Kartini bagi kaum wanita di negeri ini? Di dalam surat-suratnya, Kartini menunjukkan keprihatinannya terhadap kondisi social yang berhubungan dengan kaum wanita saat itu. Ia mengungkapkan bahwa budaya jawa turut menghambat perkembangan kaum wanita. Baginya kaum wanita memiliki hak untuk hidup sebagai manusia biasa dan merdeka. Itu sebabnya ia juga memohon bantuan dari luar supaya kaum wanita di negeri ini bisa terpacu untuk setara dengan mereka di Eropa.

Kartini juga membuat kritik sosial terhadap agama. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa perlu memahaminya. Baginya, dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. Ia berkata: “Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu.” Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Maria Magdalena dan Kartini adalah dua sosok wanita yang memotivasi banyak wanita di negeri ini untuk berjuang memerdekakan kaum wanita yang lainnya. Kadang-kadang usaha memerdekakan atau mengemansipasi kaum wanita jauh di luar pikiran kita. Saya teringat dalam sebuah pertemuan Pastores Regio Nusa Tenggara di Weetebula Sumba tahun 2005, terdapat satu agenda supaya Gereja Katolik di sana juga memperjuangkan persamaan hak kaum pria dan wanita. Ada penceramah wanita yang konon adalah seorang anggota legislatif memberi kritikan yang tajam tentang kurang pedulinya Gereja dalam menghargai martabat kaum wanita. Para wanita masih dianggap kelas dua, kaum lemah dan mudah dilecehkan. Para Uskup dan Pastor serta tokoh awam laki-laki terbuka matanya sesaat tetapi langsung berubah cara pandangnya ketika sang pencerama itu berkata: “Jumlah anggota legislatif yang berjenis kelamin perempuan di Propinsi NTT hanya beberapa ekor”. Aneh tapi nyata karena tadinya ia memberi kritikan pedas bahwa para pria adalah dalang pelecehan terhadap kaum wanita, ternyata kaum wanita juga saling melecehkan. Di dalam keluarga-keluarga, nyonya rumah juga melecehkan para pembantu wanita bahkan kadang dengan kata-kata yang lebih tajam.

Pada siang ini saya melihat foto profil BB seorang sahabat di mana ada gambar Kartini dan seorang wanita modern. Ada perbedaan cara berpakaian dan make up. Di bawah gambar Kartini ditulis: Kartini 1902: “Habis gelap terbitlah terang” kemudian di gambar seorang wanita modern ditulis: Kartini 2014: “Pergi gelap pulang terang”. Ini adalah tanda-tanda zaman! Kita butuh wanita yang memiliki daya juang seperti Maria Magdalena dan Maria yang lain. Kita membutuhkan wanita yang berani melawan arus seperti Raden Adjeng Kartini. Di negeri ini banyak wanita yang punya potensi untuk turut bekerja, berjuang untuk mencapai persamaan gender. Biarkanlah mereka bertumbuh dan sukses.

Selamat hari Kartini.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply