Homili 3 Juni 2014

Hari Selasa, Pekan Paskah VII
Kis 20:17-27
Mzm 68: 10-11.20-21
Yoh 17: 1-11a

Melayani Tuhan dengan rendah hati

Fr. JohnKisah perjalanan Misioner Paulus yang ketiga di daerah Efesus dan sekitarnya sangat menakjubkan. Setelah melayani jemaat di sana, ia berniat untuk kembali ke Yerusalem dan sebagai tawanan Roh dan mau merayakan Pentekosta di Yerusalem. Untuk itu ia berniat untuk membagi pengalaman pelayanannya dengan para penatua Efesus di Miletus. Para penatua pun berdatangan ke Miletus untuk mendengarnya. Tentu saja suasana saat itu sangat mengharukan. Seorang asing yang datang dari jauh untuk melayani, berbuat baik bagi mereka dan sekarang harus meninggalkan mereka karena alasan pelayanan.

Inilah kata-kata perpisahan yang diucapkan Paulus di hadapan para penatua. Mula-mula ia mengingatkan mereka bahwa sejak awal melayani jemaat di Efesus, ia malakukannya dengan terang-terangan dan sukacita dalam dukacita. Apa yang dilakukan Paulus dengan terang-terangan  dan sukacita itu?

Pertama, Ia mengakui telah melayani Tuhan dengan rendah hati. Semua orang melihat Paulus seorang asing yang melayani dalam kata dan karya yang nyata. Ia mencucurkan air mata, mengalami banyak cobaan dari pihak orang Yahudi yang mau membunuhnya. Ia bertahan dalam derita karena mencintai Tuhan dan jemaatNya. Ia tetap teguh melayani mereka dalam pemberitaan dan pengajaran Sabda kepada kaum Yahudi dan Yunani supaya mereka bertobat kepada Allah dan percaya kepada Yesus Kristus. Ia mengelaborasi semua pemberitaan dan pengajaran dengan perbuatan nyata. Memang, perbuatan nyata itu lebih banyak berbicara dari pada kata-kata yang diungkapkan dalam pemberitaan dan pengajaran. Semua orang mengenal karya dan rencana Allah dalam diri Paulus.

Kedua, Kesetiaan Paulus dalam pelayanannya. Ia sudah mengalami banyak penderitaan di Efesus dan sekarang Roh Tuhan mengingatkannya bahwa dari kota ke kota, penjara dan sengsara menantikannya. Paulus menjalani semua pelayanan yang dihiasi dengan penderitaan dengan baik. Oleh karena itu ia berkata: “Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.” (Kis 20:24). Ia tetap berbangga karena meskipun orang-orang Efesus tidak akan melihat mukanya lagi tetapi satu hal yang tetap mereka ingat dari Paulus adalah ia tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepada mereka.

Sebagian kisah pelayanan Paulus ini sangat menguatkanku. Pada hari ini saya mengenang kembali hari yang indah, saat ditahbiskan sebagai imam di Yerusalem pada tanggal 3 Juni 2001. Hari itu adalah hari Pentekosta. Saya bersama beberapa konfrater ditahbiskan dengan pengurapan suci dari Mgr. Carlos Felippe Ximenes Belo, SDB. Apa yang saya ingat di hari tahbisanku? Saya naik mikrolet ke tempat tahbisan di Basilika Perisitirahatan Bunda Maria, bukit Sion dan membayar sendiri. Saya mengenakkan kasula lama berwarna merah yang sudah ditambal karena pas hari raya Pentekosta, setelah tahbisan kembali naik mikrolet ke komunitas. Ketika tiba di Komunitas, semuanya biasa-biasa saja, hanya berbeda pada makan malam karena menunya berubah. Makanannya jauh lebih enak dari hari-hari yang lain. Empat tahun menjadi warga Yerusalem penuh dengan perjuangan dalam studi dan bertahan hidup di tengah gejolak tanah suci.

Saya memilih moto tahbisan: “Tenanglah, Aku ini, jangan takut!” (Yoh 6:20). Moto tahbisan ini menggambarkan sikap optimisme yang saya miliki selama proses pembinaan sampai menjadi imam dan menjadi pedoman dalam pelayanan sebagai imam dari Kongregasi Salesian Don Bosco di dalam gereja Katolik selanjutnya. Selama menjadi imam banyak pengalaman yang bagus dan juga pengalaman yang keras di Fuiloro Timor Leste, Weetebula Sumba Barat Daya, Paroki St. Yohanes Bosco Sunter dan Don Bosco Tigaraksa, Tangerang. Di tempat-tempat itu pengalaman Paulus juga melekat dalam pelayanan-pelayananku. Saya bersyukur karena Tuhan mendampingiku sehingga tetap melayaniNya dengan rendah hati dan penuh sukacita.

Kunci optimisme dalam melayani dengan rendah hati adalah dengan Berdoa. Saya selalu berusaha supaya untuk mengarahkan hati dan pikiran kepada Tuhan. Saya selalu berniat untuk berdoa secara pribadi, berdoa dalam komunitas, menyiapkan diri dengan baik untuk melayani sakramen-sakramen di dalam gereja. Dengan berdoa saya merasa bisa melayani gereja, khususnya kaum muda di sekolah-sekolah umum maupun para frater dan bruder dengan baik. Tentu saja kesulitan dan tantangan juga datang silih berganti tetapi saya percaya bahwa Tuhan selalu memiliki rencana yang indah bagiku.

Bacaan Injil pada hari ini menggambarkan Yesus sebagai Imam Agung mendoakan umatNya. Ia mengangkat mataNya ke langit dan memohon supaya Bapa memuliakanNya, dengan demikian Ia juga dapat memuliakan Bapa. Melalui penderitaanNya Ia memuliakan Bapa yang memiliki rencana dan kehendak untuk menyelamatkan seluruh umat manusia. Pekerjaan sebagai Juruselamat juga menjadi bagian yang penting dalam memuliakan Bapa di surga. Yesus menunjukkan diriNya sebagai pelayan Bapa yang rendah hati hingga wafat di kayu salib yang hina. Dengan pelayananNya ini maka orang-orang yang beriman akan memiliki hidup kekal. Hidup kekal berarti mengenal Bapa sebagai satu-satunya Allah yang benar dan Yesus Kristus adalah satu-satunya utusan Bapa yang datang untuk melayani bukan untuk dilayani.

Yesus berdoa: “Peliharalah mereka dalam namaMu” (Yoh 17:11). Peliharalah mereka dalam terang kekudusan. Di sini yesus mendoakan Gereja yang kepadanya Ia akan mempercayakan tugas perutusanNya sendiri. Tugas Gereja dalam doa Yesus ini adalah supaya Gereja dapat mengenal Allah. Jadi apapun situasinya, Gereja harus terus menerus memelihaa dan mewartakan pengetahuan  benar akan Allah dan perintah-perintahNya.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip Kardinal Nguyen Van Thuanyang sangat menginspirasikanku: “Ketika engkau diselimuti oleh penderitaan, pandanglah ke salib dan kemudian engkau berdiri dengan tenang dan tabah seperti Bunda Maria. Hal-hal yang perlu diingat dan dihindari adalah janganlah bertanya salah siapa yang menyebabkan penderitaan itu, sebaliknya berterima kasihlah kepada Allah atas sarana yang digunakanNya untuk menyucikan engkau. Janganlah semata-mata mencari penghiburan manusia tetapi terutama serahkanlah segala masalahmu kepada Tuhan Yesus dalam Sakramen Mahakudus dan kepada St. Perawan Maria. Ketika sesuatu telah berlalu, janganlah menyebutnya lagi, hentikanlah semua tuduh-menuduh dan dendam, lupakanlah itu dan janganlah pernah berbicara tentang itu lagi, tetapi katakanlah Aleluia.”

Doa: Tuhan, aku bersyukur kepadaMu untuk anugerah imamat yang kuterima dariMu. Jadikanlah aku imammu yang kudus. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply