Homili 6 September 2014

Hari Sabtu, Pekan Biasa XXII
1Kor 4: 6b-15
Mzm 145:17-18.19-20.21
Luk 6:1-5

Menjadi Rasul Itu Sesuatu Banget!

Fr. JohnPada suatu hari ada seorang muda yang mengatakan kepada saya bahwa menjadi pastor itu berarti bebas dari segala beban hidup. Saya bertanya kepadanya maksud pernyataannya ini. Baginya, kalau sudah menjadi pastor berarti menjadi miliki gereja sehingga tidak punya tanggungan apa-apa dalam keluarga. Saya mengatakan kepadanya bahwa ukuran kebahagiaan seorang pastor bukan berdasar pada ada tidaknya tanggungan secara ekonomis tetapi pada pelayanannya sampai tuntas bagi Tuhan dan GerejaNya. Seorang menjadi pastor karena mau melayani Tuhan dan sesama di atas segalanya. Oleh karena itu dalam situasi apa pun seorang pastor akan tetap siap melayani. Perlulah diakui bahwa di dalam masyarakat khususnya di kalangan umat ada yang salah kapra dan keliru menilai kehidupan para pastornya.

Pada hari ini kita mendengar St. Paulus curhat tentang suka dukanya sebagai rasul. Menurut Paulus, kalau ada orang yang merasa bahwa menjadi rasul itu enak, menyenangkan di mata manusia sebenarnya keliru. Menjadi rasul itu kita harus mengorbankan diri supaya orang lain yang dilayani merasa bahagia dan diberkati. Tepat sekali apa yang Yesus sendiri sudah katakan bahwa barangsiapa mau mengikutiNya harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikutiNya (Mat 16:24). Paulus sendiri sudah mengatakan bahwa di dalam jemaat di Korintus tidak baiklah kalau ada pengkotakan-kotakan. Dalam hubungannya dengan Apolos, Paulus mengatakan bahwa dia menanam, Apolos menyiram dan Allah menumbuhkan benih iman itu (1Kor 3:6). Artinya Paulus adalah sahabat Apolos yang bermitra dengan Allah.

Pada hari ini Paulus membandingkan dirinya dengan Apolos lagi. Tujuannya adalah supaya jemaat di Korintus jangan menjadi sombong sehingga menganggap enteng sesama yang lain. Orang harus rendah hati supaya tetap membahagiakan sesamanya. Wejangan Paulus ini tentu berhubungan dengan perilaku orang-orang Korintus yang merasa diri sebagai orang kaya dalam iman, dalam pengetahuan dan dalam pengalaman Kristen. Dengan demikian rasanya mereka tidak membutuhkan kehadiran Paulus lagi. Banyak kalangan di Korintus berpandangan sinis terhadap Paulus bahwa dia adalah pewarta Yahudi yang miskin, lebih rendah dari orang-orang Yunani.

Lebih jelas Paulus berkata: “Kamu telah kenyang, kamu telah menjadi kaya, tanpa kami kamu telah menjadi raja. Ah, alangkah baiknya kalau benar demikian, bahwa kamu telah menjadi raja, sehingga kamipun turut menjadi raja dengan kamu.” (1Kor 4:8). Ukuran-ukuran kenyang, kaya dan raja adalah ukuran kesuksesan manusiawi. Orang-orang Korintus berpikir bahwa hal seperti ini sudah cukup padahal ini sangat manusiawi yang tentu sangat berbeda dengan Tuhan.

Menjadi pertanyaan kita bersama adalah apakah identitas seorang rasul menurut St. Paulus? Paulus meringkas beberapa hal penting tentang jati diri seorang rasul Yesus Kristus: Seorang rasul itu ditempatkan oleh Tuhan pada urutan terakhir, seakan dihukum mati dan menjadi tontonan untuk seluruh dunia, baik untuk malaikat-malaikat maupun manusia. Seorang rasul itu bodoh demi Kristus supaya jemaat bisa bijaksana dalam Kristus. Seorang rasul itu lemah supaya jemaat menjadi kuat. Seorang rasul itu siap dihina supaya jemaat bisa dimuliakan. Seorang rasul rela menderita, lapar dan haus, kekurangan pakaian, disiksa dan mengembara. Seorang rasul itu bersusah paya bekerja dan menghidupi dirinya sendiri dari pekerjaan tangannya. Seorang rasul itu siap dihina dan membalasnya dengan memberkati. Seorang rasul itu siap mendapat penganiayaan dan membalasnya dengan sikap sabar. Seorang rasul itu siap difitnah dan membalasnya dengan kasih. Seorang rasul itu sampah masyarakat. (1Kor 4:9-13).

Nah lihatlah bahwa sang rasul itu tahu bahwa kebudayaan dan kepribadiannya yang kuat dapat memberi kepadanya suatu masa depan yang cerah, sedangkan para lawannya begitu sempit pikirannya. Ia membiarkan orang-orang yang berada di sekitarnya menertawakannya. Mereka menganggap Paulus sebagai orang bodoh tetapi sebagai orang bodoh, ia dapat membawa banyak orang kepada Kristus. Jati diri seorang rasul yang terungkap di atas menunjukkan bahwa seorang rasul memang harus menyerupai Kristus. Ia sendiri meneguhkan dalam perkataannya: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Mat 5:11-12).

Di dalam bacaan Injil kita mendengar kisah tentang para murid Yesus yang memetik bulir gandum pada hari sabat. Kata sabat berarti istirahat. Allah meminta agar suatu hari menjadi hari suci setiap minggu supaya kita juga bisa beristirahat (Kel 20:10). Allah dipermuliakan kalau orang-orang tidak diperbudak demi memperoleh rezeki mereka setiap hari lewat kerja. Tuhan Yesus tidak bersoal jawab dengan orang Farisi tentang para rasulNya yang memetik bulir gandum. Ini bukanlah sebuah pekerjaan berat. Orang Farisi dan para ahli Taurat mau memurnikan hukum Taurat tetapi mereka lupa sejarah. Daud sendiri mengabaikan hari Sabat. Ia bersama para prajuritnya makan roti yang hanya boleh dimakan oleh para imam. (1Sam 21:6). Yesus akhirnya menegaskan bahwa Dia adalah Tuhan atas hari sabat.

Banyak kali orang hanya berhenti pada peraturan dan hukum dan lupa bahwa tujuan peraturan dan hukum adalah mempersatukan pribadi-pribadi untuk merasakan kebaikan Allah. Hukum dan peraturan itu membantu manusia untuk semakin kuat dan utuh dalam mengabdi Tuhan dan sesama, dan mampu membangun keadilan dan kasih sayang. Seorang rasul akan terus memperjuangkan kebenaran dan keadilan di dalam hidupnya meskipun akan mengalami banyak celaan. Hal terpenting adalah Tuhan selalu menyertai rasulNya hingga keabadian.

Doa: Tuhan, bantulah para rasulMu untuk bertumbuh dalam semangat pelayananMu. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply