Uomo di Dio: Ubi vita incipit et amor numquam finit

Ubi vita incipit et amor numquam finit

P. John SDBSemalam saya menemukan sebuah pembatas buku. Di satu sisinya terdapat foto sepasang suami istri yang masih muda, energik dan kelihatan sangat kompak. Di sisi yang lainnya terdapat tulisan ini: “Ubi vita incipit et amor numquam finit” artinya di mana kehidupan dimulai dan cinta tidak pernah berakhir. Kalimat sederhana ini membuat saya merenung lebih lanjut tentang cinta kasih di dalam sebuah keluarga. Ketika membuka Kitab suci, dari awal Kitab Suci, kita sudah menemukan rencana Allah yang luhur bagi setiap pribadi. Ketika menciptakan dan menyatukan manusia pertama terdapat ekspresi kasih yang luar biasa. Manusia pertama (Adam) berkata: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej 2:23-24). Hanya orang beriman yang bisa memahami perkataan Tuhan di dalam Kitab Suci. Ada dua pribadi yang berbeda, dalam hal ini seorang wanita dan seorang pria bersatu menjadi satu daging.

Ubi vita incipit artinya di mana kehidupan itu dimulai. Pikiran kita pertama-tama tertuju pada Tuhan Allah yang mahabaik yang memiliki rencana dan kuasa untuk menciptakan semuanya baik adanya. Maka kehidupan dalam rencana Tuhan berasal dari kehendakNya supaya semuanya baik adanya. Dalam hidup sosial, kita mengenal adanya keluarga sebagai awal kehidupan. Di dalam keluarga, kita mendapatkan segalanya. Orang tua adalah pilihan Tuhan yang diberikan kepada kita. Anda dan saya tidak pernah memilih seorang wanita dan pria menjadi ibu dan ayah. Di dalam keluarga lahirlah kehidupan yang menjadi awal bertumbuhnya kasih.

Et amor numquam finit. Dan cinta kasih itu tidak berkesudahan atau tidak berakhir. Kita percaya bahwa Allah adalah kasih (1Yoh 4:8.16). Karena jati diriNya adalah kasih maka kita semua juga dipanggil untuk saling mengasihi. Ini adalah perintah baru dari Tuhan Yesus supaya kita saling mengasihi (Yoh 15:12). Kita juga mengingat perintah utama yakni mengasihi Tuhan dengan seluruh totalitas hidup, mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Santo Paulus menulis: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.” (1Kor 13:4-8).

Bagaimana saya memahami Ubi vita incipit et amor numquam finit? Saya memiliki sebuah pengalaman yang indah. Pada tanggal 18 November 2014 yang lalu saya merayakan misa HUT pernikahan ke-52 pasutri Catharina dan Yohanes. Rusly adalah salah seorang putranya yang meminta saya untuk merayakan misa syukur ini. Namun pada malam sebelum perayaan, Pak Yohanes jatuh sakit dan harus di opname di Rumah sakit Siloam. Ketika mendengar berita bahwa beliau jatuh sakit, saya kira perayaannya ditunda. Namun dari pihak rumah sakit meminjamkan sebuah ruangan bagi kami untuk merayakan misa syukur. Hadir dalam misa ini ibu Catharina, para putra-putri dan pasangannya serta para cucu.

Suasana malam itu sangat mengharukan. Ketika lagu pembuka mengawali misa, pa Yohanes memasuki ruangan doa dalam keadaan berbaring lemah di atas ranjang. Ia meminta supaya ranjangnya dekat dengan meja altar supaya bisa mendengar Sabda Tuhan. Di sampingnya duduk Ibu Catharina sambil memegang tangannya. Ia mengikuti misa dengan tenang dan penuh perhatian. Setelah homili, dilanjutkan dengan pengulangan janji perkawinan. Ini merupakan saat yang mengharukan. Ibu Catharina mengucapkan pembaharuan janji perkawinannya di depan suaminya yang sedang sakit, pa Yohanes juga mengucapkan janji perkawinannya dengan terputus-putus namun penuh kepastian. Setelah sesesai mengucapkan janji perkawinan, ia masih menambahkan sambil menatap ibu Catharina: “Dan aku akan tetap setia kepadamu sampai tuntas.”

Menyaksikan pembaharuan janji perkawinan di usia perkawinan yang ke-52, anak-anak juga mau membaharui janji perkawinan mereka di hadapan orang tua. Bisa dibayangkan ruangan doa itu benar-benar merasakan kehadiran Tuhan. Mereka menyatakan kesetiaan sebagai suami dan istri di hadapan orang tua. Suasana malam itu luar biasa. Keluarga diteguhkan, dan seluruh keluarga terutama anak-anak menyaksikan sebuah pengalaman kekudusan dalam membangun keluarga katolik yang baik. Pa Yohanes hingga saat ini masih opname di rumah sakit Siloam. Kita patut mendoakannya karena ia telah mewariskan kepada anak-anaknya makna dari Ubi vita incipit et amor numquam finit.

Apa yang harus kita lakukan sebagai pria katolik?

Pertama, jadilah pribadi yang setia. Pada saat ini sangat sulit untuk mendapatkan pasangan yang seratus persen setia, atau yang benar-benar menjadi satu daging. Semuanya masih dalam taraf perjuangan.

Kedua, jadilah pribadi yang mengasihi dengan tulus. Cinta kasih memang tidak berkesudahan. Di dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit cinta kasih selalu nomor satu.

Ketiga, jadilah keluarga yang harmonis. Apa pun kesulitannya, yang terpenting harus banyak berdoa dan memohon yang terbaik dari Tuhan.

Mari kita memandang Yesus sang Maestro. Dia mengajar kita untuk saling mengasihi. Ya, di mana ada kasih maka disitulah Allah ada. Mari kita merasakan kasih dan kuasa Tuhan selamanya.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply