Homili 16 Januari 2015

Hari Jumat Pekan
Ibr. 4:1-5,11
Mzm. 78:3,4bc,6c-7,8
Mrk. 2:1-12.

Jangan lupakan karya Allah!

Fr. John“Banyak orang berlaku seperti kacang lupa kulitnya”. Ini adalah ungkapan yang pernah saya dengar dari seorang tokoh umat di sebuah paroki. Ia menceritakan bagaimana suka dan duka bersama rekan-rekannya mengumpulkan orang-orang katolik di daerah itu untuk berdoa bersama dari rumah ke rumah. Setelah cukup lama, jumlah umat katolik bertambah banyak maka mereka meloby masyarakat setempat untuk membangun sebuah rumah persinggahan, yang nantinya menjadi cikal bakal bangunan gereja parokinya. Setelah bangunan gereja selesai, para “veteran” ini hanya merasa sebagai masa lalu saja dari gereja paroki itu. Baginya, orang cenderung mengukur hidup manusia berdasarkan berapa sumbangan berupa uang untuk membangun gedung gereja itu. Di dalam buku kenangan paroki, nama para veteran pun tidak disebutkan. Tidak ada seorang pengurus gereja yang terbuka mengucapkan terima kasih kepada para veteran yang berjuang dari awal berdirinya gereja. Dia bertanya: “Apakah sulit untuk mengenang masa lalu dan mengenal perjuangan hidup kami? Banyak orang berlaku seperti kacang yang lupa kulitnya”

Ini sebuah kisah pengalaman sederhana dari seorang tokoh umat tempo doeloe di sebuah paroki. Mungkin saja pengalaman anda dan saya mirip. Kita memang melayani bukan untuk mencari popularitas diri, tetapi di lain pihak mengucapkan terima kasih atau rasa syukur juga merupakan sebuah cara yang manusiawi untuk mengenal, menghargai karya dan kebaikan sesama. Kalau kita bisa berterima kasih kepada sesama maka kita bisa melakukannya juga untuk Tuhan. Banyak di antara kita mudah melupakan kebaikan-kebaikan Tuhan dan sesama. Kita mengalami kasih dan kebaikan Tuhan hanya untuk diri kita, tidak memiki kesempatan untuk membagi pengalaman kasih itu kepada sesama.

Mazmur Tanggapan pada hari ini diambil dari Mazmur 78. Refrain Mazmurnya adalah “Semoga karya Allah jangan dilupakan selamanya.” Dengan refrain ini sudah bisa membuka pikiran kita agar sebagai ciptaan yang mulia janganlah melupakan karya-karya Tuhan Allah di dalam hidup kita. Di dalam Kitab Suci kita mengenal banyak kisah tentang bagaimana orang mudah melupakan karya dan kebaikan Tuhan. Kisah tentang manusia pertama di taman Eden menggambarkan bagaimana mereka adalah sepasang manusia yang bahagia, tetapi menyalahgunakan kebaikan Tuhan sehingga mereka jatuh dalam dosa pertama. Mereka juga tidak taat kepada Tuhan. Kisah tentang umat Israel melakukan perjalanan ke tanah terjanji bersama Musa. Mereka bergumul dengan diri, bergumul dengan sesama dan bergumul dengan Tuhan. Berkali-kali mereka jatuh dalam dosa karena mereka melupakan karya-karya Tuhan. Mereka layak disebut sebagai “Nenek moyang pendurhaka, pemberontak, tidak lurus hatinya dan jiwanya juga tidak setia kepada Allah” (Mzm 78:8).

Pemazmur berdoa: “Karya Allah telah kami dengar dan kami ketahui dan diceritakan kepada kami oleh para leluhur. Kami meneruskannya kepada angkatan yang kemudian: puji-pujian kepada Tuhan dan kekuatanNya, serta perbuatan-perbuatan ajaib yang telah dilakukanNya.” (Mzm 78:3-4). Para leluhur merasakan karya-karya Allah yang mulia. Mereka mengisahkan secara turun temurun kepada anak cucu mereka sehingga mereka juga mengenal dan mengasihi Allah. Iman kepada Kristus juga merupakan warisan dari Tuhan Yesus yang diteruskan melalui para rasul. Pada saat ini Gereja memiliki warisan iman Rasuli dan membaginya kepada seluruh umat di dalam Gereja dan setiap umat mengakuinya. Orang tua adalah pendidik iman yang pertama di dalam keluarga sebagai gereja domestik. Iman adalah warisan yang sangat berharga dari para orang tua kepada anak-anaknya.

Iman yang diwariskan secara turun temurun itu dapat membantu setiap orang untuk mengenal dan mengasihi Allah. Allah yang dikenal dan dikasihi melalui segala karya dan ciptaanNya di atas bumi ini. Dengan melihat ciptaan, kita memuliakan Pencipta. Tuhan Allah juga memberi perintah-perintahNya, hukum-hukum dan ketetapanNya kepada manusia. Orang yang beriman adalah mereka yang mengikuti hukum, ketetapan dan perintah-perintah Tuhan sepanjang hidupnya.

Apa yang harus kita lakukan untuk mengaktualisasi mazmur ini?

Pertama, Hasrat untuk bersatu dengan Tuhan. Penulis surat kepada umat Ibrani membantu kita untuk sadar diri supaya bisa mendengar Sabda (Injil) dan melakukannya di dalam hidup setiap hari. Dengan terbuka kepada Injil, kita juga bisa patuh kepada segala perintah dan hukum Tuhan. Kita juga berpasrah kepada Tuhan. Semua ini mengantar kita untuk ikut masuk ke dalam tempat peristirahatanNya.

Kedua, Belajar menjadi sesama bagi yang lain. Kisah sahabat-sahabat si lumpuh yang mengantarnya kepada Yesus dalam Injil, membantu kita supaya menceritakan segala kebaikan Tuhan kepada sesama sehingga mereka juga mengenalNya dan merasakan kerahiman serta pengampunanNya yang berlimpah. Jadi salah satu tugas kita adalah membawa sesama untuk berjumpa dengan Tuhan bukan dengan diri kita sendiri.

Ketiga, Kita belajar dari kerendahan hati si lumpuh. Ia mungkin lumpuh secara jasmani dan rohani. Mengapa ia lumpuh demikian? Karena belum ada orang yang berani menjadi sesama sehingga bisa mengisahkan karya dan kebaikan Tuhan kepadanya. Tuhan Yesus berkarya melalui sesama yang mengantar si lumpuh untuk berjumpa denganNya.

Keempat, kita bisa mengikuti teladan Yesus yang selalu terbuka, menerima dan mengampuni semua orang berdosa. Ini adalah tantangan bagi kita terutama dalam hal mengampuni. Apakah anda dan saya bisa mengampuni?

Kelima, buanglah sikap munafik seperti kaum Farisi dan para ahli Taurat yang hanya bisa berpikir jelek tentang Yesus dalam hati mereka. Mungkin saja kita juga demikian, dalam arti sulit untuk mengapresiasi kebaikan sesama. Kita cenderung berpikir jelek dan berprasangka buruk terhadap sesama.

Hidup kristiani akan bermakna bukan karena hebat dan kuatnya kita, tetapi karena rendah hati dalam melayani Tuhan dan sesama. Marilah kita menceritakan segala karya dan kebaikan Tuhan kepada sesama supaya mereka juga bisa bersatu dalam tempat peristirahatanNya.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply