Homili hari Rabu Abu – 2015

Hari Rabu Abu Pantang & Puasa
Yl. 2:12-18
Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17
2Kor. 5:20 – 6:2
Mat. 6:1-6,16-18.

Miserere Mei, Deus!

Fr. JohnPada pagi hari ini saya menyiapkan diri untuk merayakan perayaan Ekaristi sekaligus upacara penerimaan abu di sebuah sekolah katolik. Saya menemukan sebuah pembatas buku di mana terdapat ikon yang bagus yakni kepala Yesus yang berlumuran darah dan di bawahnya terdapat tulisan ini: “Miserere mei, Deus”. Ada dua hal yang sempat saya ingat ketika membaca kalimat ini. Pertama, Saya ingat Mazmur 51, yang dikenal dengan nama Mazmur “Miserere”. Kalimat pertama dari Mazmur ini diucapkan Daud setelah ia menghampiri Batsyeba dan ditegur oleh nabi Nathan. Daud lalu mengatakan penyesalannya dengan berkata: “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setiaMu.” (Mzm 51:1). Daud jatuh dalam dosa perzinahan dan mendapat teguran dari Tuhan. Meskipun sebagai raja yang memiliki kuasa namun ia dengan lapang dada menerima teguran Tuhan. Kedua, Saya mengingat sebuah lagu ciptaan Gregorio Allegri selama masa pelayanan Paus Urbanus VIII (1630) sebagai himne ibadat pagi di Kapel Sistine terutama pada hari Rabu dan Jumat dalam Pekan Suci. Lagu itu masih tetap populer di dalam Gereja hingga saat ini.

Kita memulai Masa Prapaskah dengan menerima abu pada hari ini. Masa prapaskahAsh wednesday merupakan masa pertobatan, masa kita berpantang dan berpuasa sebagai persiapan diri untuk merayakan Kebangkitan Kristus pada Hari Raya Paskah. Ada seorang yang pernah bertanya kepada saya alasan mengapa abu itu menjadi penting dalam memasuki masa Prapaskah. Di dalam Kitab Suci, kita mendapat informasi bahwa manusia pertama itu diciptakan dari debu, selanjutnya Tuhan meniup ruah atau angin melalui lubang hidungnya sehingga ia bisa hidup di hadirat Tuhan. Ketika manusia pertama jatuh dalam dosa, Tuhan mengingatkan mereka: “Ingatlah bahwa engkau debu dan akan kembali menjadi debu.” (Kej 3:19). Akibat dosa, kita semua menyadari kefanaan hidup di hadiratNya. Artinya kita semua akan mati dan kembali menjadi debu. Jadi boleh dikatakan bahwa Rabu Abu pertama itu terjadi di Taman Eden di manusia pertama berasal dari debu dan kembali menjadi debu. Selanjutnya ada episode kehidupan Yunus di mana ia diutus Tuhan untuk menyerukan pertobatan kepada orang-orang Ninive. Dampak pewartaan Yunus adalah, raja memerintahkan seluruh masyarakat Ninive untuk bertobat dengan puasa dan pantang. Raja sendiri duduk di atas abu sebagai tanda pertobatan dan kerendahan hatinya (Yun 3:6). Ester pernah menaburi kepalanya dengan abu setelah menerima khabar dari Mordekhai bahawa ia bisa menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya (Ester 4C:13).

Pada saat ini, abu yang ditaburkan di kepala atau dioles di kening itu berasal dari abu daun palma yang kita terima pada hari Minggu Palma, dibakar dan debunya diambil. Abu haruslah baru dan diberkati oleh Pastor setelah homili sehingga bisa menjadi benda sakramentali. Dengan menerima abu pada hari ini, bisa menjadi tanda bertobat, ketidakabadian dunia, dan bahwa keselamatan dan belaskasihan hanya berasal dari Tuhan. Perjalanan rohani akan kita tempu selama empat puluh hari terhitung mulai hari ini sampai hari Sabtu Pekan Suci. Perlu kita ketahui bahwa selama masa prapaskah doa kemuliaan dan aleluia tidak diucapkan atau dinyanyikan dalam perayaan Ekaristi kecuali Hari Raya tertentu dalam liturgi katolik. Setiap hari Minggu dalam masa prapaskah bukanlah hari puasa dan pantang karena hari Minggu meruapakan paskah kecil.

Mazmur Tanggapan diambil dari Mazmur 51atau Mazmur Miserere. Daud sebagai orang berdosa membuka dirinya bagi Tuhan setelah ditegur Nathan. Ia berdoa: “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, menurut besarnya rahmat-Mu, hapuskanlah pelanggaranku. Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku dan tahirkanlah aku dari dosaku!” Kata-kata yang dipilih Daud menggambarkan jati dirinya di hadapan Tuhan. Ia memohon belas kasih Tuhan supaya Tuhan bisa mengampuni dosa-dosanya. Orang berdosa seperti Daud berani untuk memohon ampun dari Tuhan! Ini yang sangat sulit bagi kita semua saat ini. Orang bahkan lebih suka membenarkan diri di hadirat Tuhan.

Daud melanjutkan doanya: “Sebab aku sadar akan pelanggaranku, dosaku selalu terbayang di hadapanku. Terhadap Engkau sendirilah aku berdosa, yang jahat dalam pandangan-Mu kulakukan.” Orang berdosa harus berani untuk menyadari pelanggaran atas perintah-perintah Tuhan dan dosa-dosaanya. Manusia yang angkuh dan sombong tidak akan membuka dirinya kepada Tuhan. Hatinya tegar di hadirat Tuhan.

Di samping penyesalan mendalam, Daud juga masih tetap memohon belas kasih Tuhan. Ia berdoa: “Ciptakanlah hati yang murni dalam diriku, ya Allah, dan baharuilah semangat yang teguh dalam diriku. Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil Roh-Mu yang kudus dari padaku! Berilah aku sukacita karena keselamatan-Mu, dan teguhkanlah roh yang rela dalam diriku. Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku mewartakan puji-pujian kepada-Mu!”

Daud menginspirasikan kita untuk menjawabi ajakan Tuhan dalam Kitab Yoel. Dalam nubuatnya dikatakan: “Sekarang juga, berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.” (Yl 2:13). Seruan tobat ini akan semakin bermakna ketika kita sadar diri dan memiliki pertobatan bathin. Yoel bernubuat: “Koyakanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.” (Yl 2:14). Daud mengoyakkan hatinya di hadirat Tuhan sehingga merasakan penebusan berlimpah. Kita pun tidak hanya bertobat secara lahiria tetapi bertobat secara rohaniah. Pertobatan semacam ini membantu kita untuk terbuka dan membiarkan diri berdamai dengan Tuhan (2Kor 5:20). Semuanya ini karena Yesus mau rela berkorban untuk keselamatan kita.

Apa yang harus kita lakukan selama masa prapaskah? Ada tiga hal praktis yang diajarkan Yesus di dalam bacaan Injil hari ini: pertama, melakukan karya amal kasih. Dalam beramal kita memberi dengan sepenuh hati dan tidak menghitung atau menceritakan kepada orang lain. Kedua, kita giat berdoa. Dalam doa hendaknya kita memiliki jiwa sebagai anak yang berharap kepada Tuhan. Ketiga, berpuasa dan pantang. Puasa dan pantang yang terbaik adalah tidak berbuat dosa di hadirat Tuhan.

Saya mengakhiri homili hari ini dengan mengutip Thomas Merton yang berkata: “Even the darkest moments of the liturgy are filled with joy. And Ash Wednesday, the beginning of the Lent fast, is a day of happiness, a Christian feast. It cannot be otherwise, as it forms part of the great Easter cycle.” Mari kita bertobat dan percaya kepada Injil. Mari kita selalu ingat bahwa diri kita hanyalah debu dan akan kembali menjadi debu! Selamat memasuki retret agung 2015.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply