Hari Rabu, Pekan Prapaskah II
Yer. 18:18-20
Mzm. 31:5-6,14,15-16
Mat. 20:17-28
Revolusi Mental ala Yesus Kristus
Revolusi mental! Perubahan mental! Ini adalah sebuah ungkapan yang diperbincangkan banyak orang di negeri ini menjelang pemilihan presiden Republik Indonesia setahun yang lalu. Kalau kita urutkan sesuai waktunya maka kita akan berjumpa dengan figur Frederick Winslow Taylor. Beliau adalah seorang tokoh yang turut berbicara tentang revolusi mental. Dalam Scientific Management, Taylor mengatakan bahwa revolusi mental merupakan sebuah cara mengubah persepsi para pekerja dari metode berkerja berdasarkan tradisi atau kebiasaan bekerja yang telah ada menjadi berkerja secara ilmiah (scientific). Bobot perkerjaannya dihitung berdasarkan waktu dan gerak belajar (motion study). Perubahan budaya kerja dari kebiasaan untuk bekerja kepada bekerja dengan metode ilmiah ini memerlukan revolusi mental dari para pekerja.
Pada masa prapaskah ini kita diajak untuk membuat sebuah revolusi mental ala Yesus Kristus. Dalam perikop Injil yang barusan kita dengar tadi, terdapat dua kisah yang menjadi satu. Kisah pertama, tentang Yesus dan paskahNya. Tuhan Yesus dan para muridNya saat itu hendak berangkat ke Yerusalem. Ia mengatakan dengan terus terang tentang paskahNya: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan, dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.” (Mat 20:18-19).
Kisah kedua, Ibu Yakobus dan Yohanes meminta tempat-tempat yang pertama. Ibu itu mengenal kedua anaknya dan meminta Yesus untuk memperkenankan seorang di sisi kanan dan seorang lagi di sisi kiri. Yesus mengetahui bahwa mereka akan meminum piala yang akan diminum Yesus. Artinya mereka akan menjadi serupa dengan Yesus dalam hidup selanjutnya dengan menderita hingga wafat sebagai martir, tetapi hal duduk di sisi kanan dan kiri sepenuhnya adalah kehendak Allah Bapa.
Permintaan ibu Yakobus dan Yohanes berdampak langsung pada situasi komunitas para rasul yakni kesepuluh murid yang lain sangat marah kepada kedua bersaudara ini. Yesus menggunakan kesempatan ini untuk mengubah mentalitas mereka dengan berkata: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat 20:26-28).
Kisah Injil ini menarik perhatian kita semua yang mendengar dan merenungkannya. Kita semua sadar diri bahwa kita memiliki kecendrungan alamiah untuk mendapatkan posisi atau kedudukan tertentu dalam masyarakat, keinginan untuk memiliki status sosial tertentu dan keinginan untuk menguasai sesama yang lain. Pokoknya kita mau supaya orang lain harus menerima kita apa adanya sesuai dengan status dan posisi kita. Situasi ini dirasakan oleh ibu Yakobus dan Yohanes. Memang, sangatlah lumrah dan manusiawi. Saya kira semua orang memiliki pengalaman pribadi yang mirip dalam mengaktualisasikan dirinya.
Tetapi Yesus mau membuat revolusi mental kita sebagai pengikut-pengikutNya. Apa yang dilakukan Yesus? Dia adalah Tuhan kita tetapi Ia berterus terang bahwa di Yerusalem, Ia akan ditolak, dibunuh dan pada hari ketiga Ia akan bangkit. Dia menjadi Allah yang hadir dan menebus kita. Dia sebagai Tuhan datang untuk melayani bukan untuk dilayani dan lebih tinggi dari itu adalah memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang. Maka revolusi mental yang hendak diterapkan oleh Yesus adalah supaya kita menjadi serupa denganNya. Dalam hal apa kita berevolusi mental? Yesus berkata: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.” Kita harus meninggalkan mentalitas ningrat yang manusiawi menjadi manusia baru yang siap untuk mengabdi. Prinsip kita adalah: “Kami hanyalah hamba-hamba yang tidak berguna yang melakukan apa yang harus kami lakukan.” (Luk 17:10).
Mari kita berevolusi mental, mengubah mentalitas kita untuk menjadi hamba-hamba Tuhan yang siap untuk melayani. Dalam masa prapaskah ini kita berevolusi mental untuk melayani lebih sungguh, berpuasa dan pantang, melakukan karya amal kasih dan tekun dalam doa-doa kita. Bagiku, revolusi mental adalah sebuah jalan pertobatan bagi kita semua.
PJSDB