Hari Sabtu, Pekan Prapaskah II
Mi. 7:14-15,18-20
Mzm. 103:1-2,3-4,9-10,11-12
Luk 15:1-3.11-32
Bapa Yang Murah Hati
Saya selalu ingat percakapan dengan seorang anak remaja yang barusan kehilangan ayahnya. Ketika itu saya merayakan misa requiem. Saya bertanya kepadanya tentang kebajikan tertentu yang akan selalu diingat dari ayahnya. Ia dengan jujur mengatakan: “Ayahku adalah seorang pria yang baik. Ia selalu memanggil saya dengan nama yang diberikannya saat lahir. Ketika saya nakal dan melawan perintahnya, ia tidak pernah mengubah namaku. Ini membuktikan bahwa ia sabar dan murah hati kepadaku.” Semua umat yang hadir merasa terharu dengan kesaksian remaja ini. Rumah bukanlah sebagai tempat untuk menginap saja tetapi sebagai tempat untuk merasakan kasih sayang, pegampunan, kesabaran dan belas kasihan satu sama lain. Seorang anak merasakan kasih di dalam rumahnya sehingga ia juga bisa mampu mengasihi. Ia merasa diampuni maka ia juga akan mengampuni sesama. Ia merasa disapa dan dihargai di dalam rumahnya sehingga ia juga nantinya bisa menyapa dan menghargai sesama. Pengalaman-pengalaman di dalam keluarga bisa menjadi sebuah pengalaman akan Allah yang terus menerus murah hati dan sabar terhadap manusia.
Tuhan Yesus dalam Injil Lukas, membuka wawasan kita untuk mengenal Allah sebagai Bapa yang murah hati. Hal ini ditandai dengan datangnya para pemungut cukai dan orang-orang berdosa kepadaNya untuk mendengarkan Dia. Kedekatan antara para pendosa dengan Yesus menimbulkan rasa bersungut-sungut dari pihak orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Mereka ingin mengatur Yesus supaya sama dengan mereka yakni membenci kaum pendosa. Yesus sebagai tanda kehadiran Bapa yang murah hati membenci dosa dan salah yang dibuat oleh manusia. Ia menghancurkannya melalui paskahNya. Apakah ini berarti Yesus juga tidak mengasihi orang berdosa? Tidak. Ia tetap mengasihi orang berdosa bahkan menyerahkan nyawaNya untuk menebus dosa semua orang. Ia sendiri berkata: “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar melainkan orang berdosa.” (Mat 9:13).
Untuk lebih membuka wawasan kita tentang pengampunan dari Bapa yang murah hati maka Yesus memberi sebuah perumpamaan. Banyak orang menyebutnya perumpamaan tentang anak yang hilang tetapi mungkin lebih tepat perumpamaan tentang Bapa yang murah hati. Ada seorang bapa yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Pada suatu kesempatan anak bungsu meminta warisan yang merupakan haknya. Bapaknya tidak keberatan untuk memberikan apa yang menjadi haknya. Setelah beberapa hari berselang, ia menjual semua hartanya dan pergi ke sebuah negeri baru. Ia memboroskan semua hartanya dengan hidup berfoya-foya. Malapetaka melintasi daerah itu yakni kelaparan besar. Ia kebingungan karena hartanya sudah habis. Ia lalu melamar pekerjaan dan mendapat pekerjaan sebagai penjaga babi. Ia nyaris ikut makan bersama babi-babi peliharannya itu.
Di saat kesusahan merasuki kehidupannya, ia lalu mengingat kembali ayahnya. Ia percaya bahwa ayahnya orang baik dan bisa menerimanya apa adanya. Apa yang dilakukan anak bungsu itu? Ia berencana untuk bangkit dan kembali kepada bapanya dan berkata: “Bapa, aku telah berdosa melawan surga dan terhadap bapa. Aku tidak layak lagi disebut anak bapa, jadikanlah aku sebagai seorang upahan bapa” (Luk 15:18-19). Ia pun melakukan niatnya ini. Dan apa yang terjadi? Ia kembali kepada bapanya. Dari kejauhan bapa melihat anaknya yang tidak berdaya itu. Ia langsung menunjukkan belas kasihnya sebagai ayah terhadap anaknya.
Ayahnya itu berlari mendapatkan anaknya, merangkul dan menciumnya. Ayahnya meminta kepada hamba-hambanya untuk membawa jubah yang terbaik untuk mengganti pakaian anaknya yang lama dan kotor, cincin baru dikenakan pada jarinya, dan juga sepatu baru. Kembalinya si bungsu juga dipestakan dengan penuh sukacita. Seekor lembu tambun disembeli untuk dimakan bersama dalam keluarga sebagai tanda bahwa anak itu lahir dan diterima kembali oleh ayahnya.
Situasi sukacita keluarga sempat dinodai dengan protes keras dari anak sulung. Ketika ia kembali dari kebun ia mendapatkan keluarganya sedang bersukaria. Ia bertanya kepada salah seorang hamba ayahnya tentang pesat sukaria itu. Ia mendapat informasi bahwa adiknya kembali ke rumah. Ia pun melakukan protes keras terhadap ayahnya karena menerima kembali adiknya di dalam rumah, bahkan dipestakan. Bapa itu dengan bijaksana mengatakan kepadanya bahwa ia selama ini tetap menjadi anak di dalam rumah maka apa yang menjadi milik bapa, itu juga menjadi milik anaknya. Adiknya sudah berdosa bahkan dianggap mati, sudah hidup kembali dan patut disyukuri.
Kisah tentang bapa yang murah hati ini mengingatkan saya pada sebuah lukisan Rembrandt. Ketika anak bungsu itu kembali ke rumahnya, ayahnya bereaksi dengan memeluk anaknya. Ayah dalam lukisan itu kelihatan sudah tua dan merangkul anaknya dengan dua tangan yang berbeda. Satu tangan adalah tangan ayahnya yang memeluk dengan keras dan satu tangan lagi adalah tangan ibunya yang memeluk dengan penuh kasih, seakan sedang mengusap punggung anaknya yang kotor dan berpakaian compang camping. Lukisan ini kiranya bukan hanya mengatakan tentang Bapa yang murah hati dalam injil ini tetapi lebih dari itu mau mengatakan bahwa Allah memiliki sifat kebapaan dan keibuan yang tiada hentinya mengasihi manusia berdosa.
Dari ketiga figur dalam kisah Injil ini, kita bisa belajar banyak hal yang mendukung pertobatan kita:
Pertama, figur anak bungsu: Ia mewakili umat manusia yang menjunjung tinggi kebebasannya di hadapan Tuhan dan sesama. Ia suka menuntut haknya, suka berfoya-foya, digambarkan bersifat hedonis, baik harta maupun perempuan. Ini adalah titik gelapnya. Namun kita yakin bahwa manusia itu bisa berubah. Ketika mengalami kesulitan ia tidak mengandalkan dirinya sendiri. Ia mengandalkan ayahnya yang dikenalnya murah hati dan suka mengampuni. Ia kembali kepada bapanya dengan berkata: “Bapa saya sudah berdosa!” Keterbukaannya ini membuka peluang keselamatan baginya. Ia diterima kembali sebagai anak. Kita pun bisa menjadi serupa dengan figure anak bungsu ini. Mungkin saja kita bisa sadar diri dan kembali kepada Allah Bapa, tetapi banyak juga yang lebih suka menikmati dosa dari pada kembali kepada Tuhan Allah Bapa. Bisa jadi figur anak bungsu jauh lebih baik dari pada kita.
Kedua, figur anak sulung. Banyak orang berpikir bahwa anak sulung tetap tinggal di rumah maka dia anak yang penurut dan baik. Ini sebuah kekeliruan besar. Anak sulung itu juga menerima warisan tetapi tetap tinggal di dalam rumah ayahnya. Ia hidup dari harta ayahnya sedangkan hartanya masih dalam “deposito” untuk masa depannya. Ia lupa diri tentang hal ini maka ayahnya berkata kepadanya: “Segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu” ( Luk 15:31). Banyak kali kita juga lupa diri di hadapan Tuhan. Kita menerima banyak berkat tetapi tidak bersyukur malahan marah sama Tuhan. Ketika membandingkan diri kita dengan orang lain, rasanya diri kita selalu penuh kekurangan. Di sinilah muncul rasa marah, iri hati dan benci terhadap saudara dan teman kita.
Ketiga, figur Bapa. Bapa digambarkan sebagai pribadi yang murah hati, panjang sabar dan besar kasih setianya. Ia mendengar apa yang menjadi kebutuhan anak-anaknya. Ia mendidik anak dan membiarkannya bertumbuh menjadi dewasa, apa pun pengalamannya. Kemurahan hati bapa ditunjukkannya ketika melihat anak bungsu kembali kepadanya. Dialah yang menyambut anaknya dengan memeluk dan mencium, mengganti pakaiannya, memberikan cincin, sepatu sebagai alas kaki dan anak lembu tambun untuk pesta bersama. Ini adalah simbol kasih yang besar dari bapa kepada anaknya. Bapa juga menunjukkan kemurahan hati kepada anak sulungnya yang lupa diri. Semua hartanya juga tetap dipakai anak sulungnya meskipun ia sendiri sudah memiliki harta tersendiri. Bapanya tidak membuat perhitungan apa pun dengan anak sulungnya. Figur bapa ini hendaklah menjadi bagian dari hidup kita: mengasihi sungguh-sungguh tanpa perhitungan apa pun, mengampuni tanpa batas apabila ada kesalahan dari sesama bagi kita.
Dalam bacaan pertama, Mikha bernubuat dengan bertanya kepada Tuhan: “Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milikNya sendiri; yang tidak bertahan dalam murkaNya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut.” (Mi 7:18-19).
Tuhan maharahim dan Ia selalu menunjukkan kasih setianya kepada kita semua. Hal penting bagi kita adalah mengimaniNya, percaya bahwa hanya Dialah yang mengampuni dosa-dosa kita. Dialah yang mengapus kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan dosa-dosa kita ke dalam tubir-tubir laut. Hanya Tuhan yang bisa melupakan dosa-dosa kita karena Ia melihat iman kita kepadaNya. Apakah anda sudah menyatakan syukurmu kepada Tuhan atas rahmat pengampunan yang diberikanNya kepadamu?
Sabda Tuhan pada hari ini luar biasa. Mari kita bersyukur kepada Tuhan karena Ia murah hati, panjang sabar dan besar kasih setiaNya kepada kita. Banyak kali kita lupa bahwa Tuhan mengasihi kita sehingga hanya bisa bersungut-sungut kepadaNya. Hari ini kita justru bertemu dengan Bapa yang kekal, dan baik hati. Hanya Dialah yang bisa mengampuni dosa-dosa kita.
PJSDB