Homili 8 Juli 2015 (Dari Bacaan pertama)

Hari Rabu, Pekan Biasa XIV
Kej. 41:55-57; 42:5-7a,17-24a
Mzm. 33:2-3,10-11,18-19
Mat. 10:1-7

Membalas kejahatan dengan kebaikan

Fr. JohnAda seorang tokoh umat yang pernah mengungkapkan isi hatinya sebagai seorang pelayan Tuhan. Ia mengakui bahwa ternyata dalam melayani Tuhan tidak selamanya mulus. Ada saat di mana pelayanan itu menghasilkan perubahan hidup yang membahagiakan orang yang dilayani dan diri sang pelayan, ada juga saat di mana orang merasakan penolakan tertentu. Penerimaan dan penolakan itu adalah dua kutub yang membahagiakan dan menyakitkan tetapi sama-sama memiliki daya untuk menguatkan hidup kita sebagai orang beriman. Tokoh umat itu menyadarinya dan berusaha untuk setia menjadi pelayan Tuhan. Ketika mendengar sharing ini, saya berkomentar bahwa Tuhan Yesus sendiri sudah mengalaminya. Ia berhasil menunjukkan diri-Nya sebagai kasih abadi.

Pada hari ini kita mendengar kisah hidup Yusuf anak Israel. Yusuf dikasihi oleh Israel sebagai anak kesayangannya. Ia mendapat perlakuan khusus karena dilahirkan di saat Israel sudah memasuki usia senja. Perlakuan khusus ini menimbulkan kecemburuan saudara-saudaranya. Yusuf lalu menjadi sasaran kebencian dan dikucilkan. Ia bahkan dijual ke Mesir. Ketika ada rasa benci dan iri hati maka semua kebaikan akan hilang dan digantikan oleh kejahatan. Yusuf mengalami perjuangan hidup di tanah Mesir. Ia mengalami banyak penderitaan dan cobaan namun Tuhan yang mahabaik menyertainya. Di tanah asing ini, Yusuf mendapat kepercayaan sebagai Mangkubumi. Dialah yang akan memperhatikan kesejahteran hidup banyak orang.

Dikisahkan dalam Kitab Kejadian bahwa pada suatu saat terjadi kelaparan yang hebat di seluruh negeri. Banyak orang mengalami kelaparan sehingga seluruh rakyat Mesir meminta roti dari Firaun. Firaun mendengar jeritan rakyatnya dan menyuruh mereka pergi kepada Yusuf untuk meminta bantuannya. Yusuf lalu membuka lumbung-lumbung dan menjual gandum kepada orang-orang yang lapar, termasuk kepada saudara-saudaranya dari tanah Kanaan. Anak-anak Israel diutus ke Mesir untuk membeli bekal supaya mereka bisa bertahan hidup.

Saudara-saudara Yusuf yang jahat itu tidak mengenal lagi dirinya. Yusuf mengenali mereka tetapi ia berlaku seolah-olah sebagai orang asing. Ia menahan mereka dalam tahanan. Namun ia tetap baik hati dengan menjual gandum sehingga mereka bisa bertahan hidup. Ia berkata: “Bawalah gandum untuk meredakan lapar seisi rumahmu.” (Kej 42:19). Yusuf juga meminta supaya Benyamin adik bungsu mereka dibawa serta ke Mesir.

Pengalaman keras di Mesir ini membantu saudara-saudara Yusuf untuk berefleksi bahwa mereka pernah berbuat dosa terhadap Yusuf saudara mereka. Oleh karena itu saudara-saudara Yusuf berkata seorang kepada yang lain: “Betul-betullah kita menanggung akibat dosa kita terhadap adik kita itu: bukankah kita melihat bagaimana sesak hatinya, ketika ia memohon belas kasihan kepada kita, tetapi kita tidak mendengarkan permohonannya. Itulah sebabnya kesesakan ini menimpa kita.” (Kej 42:21). Ini menjadi saat mereka menunjukkan penyesalan mereka. Bahkan Ruben saudara tertua berkata: “Bukankah dahulu kukatakan kepadamu: Janganlah kamu berbuat dosa terhadap anak itu! Tetapi kamu tidak mendengarkan perkataanku. Sekarang darahnya dituntut dari pada kita.” (Kej 42:22).

Reaksi Yusuf adalah mendengar mereka, memahami dan berusaha untuk melupakan masa lalu. Ia membalas kejahatan mereka dengan kebaikan. Ia menyelamatkan hidup mereka. Kisah Yusuf ini merupakan prototipe kisah hidup Yesus. Ia pun nantinya akan dijual seharga tiga puluh perak. Namun di atas kayu salib, ia masih mau berdoa dan mengampuni mereka. Apakah kita berani berbuat baik kepada orang-orang yang berbuat jahat kepada kita? Hanya kasih yang bisa mengatasi segala-galanya. Perbuatan baik itu seperti bumerang!

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply