Homili Hari Minggu Biasa XIX/B -2015

Hari Minggu Biasa XIX/B
1Raj. 19:4-8
Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9
Ef. 4:30 – 5:2
Yoh. 6:41-51

Yesus, Engkaulah Roti Hidup!

Fr. JohnSeorang guru agama mempersiapkan para murid untuk menerima komuni pertama. Pada pelajaran terakhir sebelum mereka menerima komuni pertama, ia meminta para siswanya untuk menulis buah doa singkat dan mempersembahkannya kepada Tuhan Yesus. Masing-masing siswa menuliskannya pada sepotong kertas dan memberikannya kepada gurunya. Ada seorang siswa yang menulis: “Tuhan Yesus Kristus, Engkau adalah Roti Hidup yang lezat bagiku”. Guru agama itu merasakan sebuah pengalaman rohani yang luar biasa. Ia sudah lama menerima komunis kudus, berpengalaman dalam hidup doa namun baru kali ini ia merasa disapa oleh Tuhan melalui anak kecil itu. Ia baru bangun dari tidur imannya dan percaya bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir dalam Sakramen Mahakudus.

Pada Hari Minggu Biasa XIX/B ini, kita juga disapa oleh Tuhan melalui bacaan-bacaan Liturgi untuk percaya bahwa Tuhan Yesus sungguh-sungguh menjadi Roti Hidup, santapan Ekaristi yang menghidupkan dan membaharui setiap saat. Tuhan sendiri yang menyediakan santapan bagi setiap orang yang berharap kepada-Nya.

Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah perjalanan nabi Elia ke gunung Tuhan yakni Gunung Horeb. Pada waktu itu Elia mendapat ancaman pembunuhan dari Izebel. Elia berusaha menyelamatkan nyawanya dengan mengungsi ke daerah Bersyeba. Selanjutnya ia melakukan perjalanan menuju ke Horeb. Ia melakukan perjalanan selama satu hari, lalu duduk di bawah pohon arar dan berkeluh kesah. Ia berkata: “Cukuplah itu! Sekarang, ya Tuhan, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” (1Raj 19:4). Karena kelaparan selama seharian di jalan maka ia pun tertidur di bawah pohon arar hingga malaikat membangunkannya dan memberinya makan roti bakar dan meminum air. Oleh kekuatan makanan itu ia bisa berjalan empat puluh hari empat puluh malam lamanya sampai ke gunung Allah, yakni gunung Horeb (1Raj 19:8).

Lihatlah bahwa dalam pergumulan hidupnya, Elia mendapat pertolongan ilahi dari Tuhan. Apakah dalam kesulitan hidup karena kelelahan tubuh, kelaparan jasmani dan rohani masih membuka peluang bagi kita untuk berharap kepada penyelenggaraan ilahi dari Tuhan? Atau kita lebih mengandalkan diri kita sendiri?

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil melakukan hal yang sama sebagaimana Bapa di surga membantu dan menopang hidup nabi Elia. Tuhan Yesus tidak menyediakan roti buatan tangan manusia, tetapi menjadikan diri-Nya sebagai Roti Hidup, santapan rohani yang lezat bagi banyak orang. Dengan terus terang Yesus mengatakan diri-Nya sebagai roti yang turun dari surga, yang tentu saja berbeda dengan roti yang pernah dimakan oleh nenek moyang mereka di padang gurun. Hal ini membuat orang-orang saat itu bersungut-sungut kepada Yesus. Mereka tidak percaya pada semua perkataan yang diucapkan-Nya karena mereka mengenal Yesus dan seluruh keluarganya.

Reaksi Yesus saat itu adalah Ia memilih tenang dan coba untuk membuka pikiran mereka supaya mengenal diri-Nya. Ia berkata, “Jangan kamu bersungut-sungut. Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman.” (Yoh 6:23-24). Sekarang mengertilah kita pada rencana ilahi Tuhan karena sebelum dunia dijadikan, Ia sudah memilih kita untuk menjadi kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Masing-masing kita ditarik oleh Bapa kepada-Nya untuk merasakan kekudusan-Nya dan menjadi kudus. Yesus juga mengatakan bahwa semua orang diajar oleh Allah dan orang yang mendengar dan menerimanya akan datang kepada Yesus sendiri. Dia sendiri juga yang sudah melihat Bapa. Maka barangsiapa percaya kepada Yesus Kristus akan memperoleh hidup kekal.

Tuhan Yesus dengan terbuka dan terus terang mengatakan diri-Nya sebagai Roti hidup. Ia berkata, “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yoh 6:51). Yesus adalah Roti hidup yang memberi hidup kepada semua orang. Roti yang diberikan adalah Tubuh-Nya sendiri sebagai santapan rohani. Setiap orang yang ditarik Bapa kepada-Nya dan percaya kepada-Nya akan hidup selama-lamanya.

Bacaan Injil menuntun kita kepada pertanyaan, “Apakah Ekaristi itu penting bagimu?” Apakah Ekaristi itu sungguh-sungguh menjadi kesempatan untuk menyantap makanan rohani yang memberi hidup kekal kepada kita? Apakah Ekaristi mengubah hidup kita di hadapan Tuhan dan sesama?

Lalu, apa yang harus kita lakukan?

St. Paulus dalam bacaan kedua mengatakan kepada kita supaya jangan mendukakan Roh Kudus yang sudah memeteraikan kita menjelang hari penyelamatan. Sebagai pengikut Kristus, kita semua diajak untuk membuang sikap-sikap yang menjatuhkan kita ke dalam dosa. Misalnya kita diundang untuk membuang segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah. Semua perbuatan dosa ini kita ganti dengan sikap ramah terhadap sesama yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni sama seperti Tuhan sendiri sudah mengampuni kita. Sikap ramah terhadap semua orang hendaklah menjadi bagian dari hidup kita. St. Paulus juga mengajak kita untuk hidup di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.

Bulir-bulir permenungan kita pada hari ini:

Pertama, Allah selalu menaruh perhatian-Nya kepada orang-orang yang berharap kepada-Nya. Pengalaman nabi Elia membantu kita untuk selalu mengandalkan Tuhan dalam hidup ini. Terlampau mengandalkan diri hanya berisi kekecewaan-kekecewaan manusiawi saja.

Kedua, Tuhan menghendaki agar kita membangun semangat pertobatan. Sikap tobat dilakukan dengan mengganti hidup lama dengan gaun-gaun dosanya dengan hidup baru sesuai kehendak Tuhan. Kita mengalami kasih Allah, Dialah yang lebih dahulu mengasihi kita.

Ketiga, Tuhan Yesus adalah makanan rohani yang menghidupkan kita semua. Dialah Roti hidup yang turun dari surga. Kita mengenangnya dalam Ekaristi harian kita. Dialah yang menginsipirasikan kita untuk mengerti tentang makna pengurbanan diri.

Mari kita juga berusaha untuk menjadi Ekaristi yang hidup di dalam Gereja. Jadilah roti yang bisa diambil, dipecah-pecah dan dibagikan kepada sesama. Jadilah seperti anggur, darah Kristus yang tertumpah di atas kayu salib untuk menyelamatkan sesama. Bersama Tuhan Yesus, kita pasti bisa.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply