Homili 17 Mei 2016

Hari Selasa, Pekan Biasa VII
Yak 4:1-10
Mzm 55:7-8.9-10a. 10b-11a.23
Mrk 9:30-37

Berserah kepada Tuhan

imageAda seorang sahabat sedang mengalami kesulitan dalam membangun relasi dengan Tuhan. Ia merasa bahwa ada banyak beban yang sedang dihadapinya, di dalam hidup pribadi, keluarga dan tempat di mana ia bekerja. Ia selalu berdoa memohon bantuan dari Tuhan, tetapi Tuhan belum menjawabnya, sementara sesama juga seakan menutup mata terhadap kehidupannya. Ia merasa sendirian dan tak berdaya sama sekali. Namun demikian ia seakan mendapat kekuatan baru ketika mengikuti misa Jumat Pertama dalam bulan di gereja. Ia mendengar homili dari Romo yang memimpin misa, di mana beberapa kali ia mengutip perkataan St. Petrus: “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1Ptr 5:7). Perkataan St. Petrus ini perlahan mengubah seluruh hidupnya. Ia baru sadar diri bahwa selama itu dia hanya mengandalkan dirinya, mengeluh dan lupa untuk menyerahkan semua rasa kuatirnya kepada Tuhan. Ia juga lupa bahwa Tuhanlah yang memelihara kehidupannya. Sahabat ini tidak sendirian. Banyak di antara kita juga masih memiliki mentalitas yang sama. Kita hanya duduk, mengeluh, mengkritik, menghitung segala kebaikan yang kita lakukan padahal tugas kita adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan di dunia. Semua pekerjaan kita adalah untuk memuliakan nama Tuhan bukan untuk memuliakan nama kita sendiri.

Raja Daud dan umat Israel juga pernah merasakan banyak beban kehidupan. Mereka bergumul dengan diri mereka sendiri hingga merasa seakan tidak berdaya lagi di hadirat Tuhan. Sebab itu mereka ingin mencari tempat yang nyaman dan tenang di padang gurun, namun beban itu seakan terus mengejar mereka. Beban yang dimaksud adalah kekerasan dan perbantahan dalam kehidupan mereka. Dalam situasi yang sulit dan tak menentu ini, mereka mencari Tuhan sebagai tempat berlindung. Raja Daud sebagai pemimpin, mengajar mereka dengan perkataan ini: “Serahkanlah bebanmu kepada Tuhan, maka Ia akan menopang engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkannya orang benar itu goyah.” (Mzm 55:23a). Perkataan-perkataan sederhana ini memiliki kekuatan untuk mengarahkan umat Israel kepada Tuhan. Mereka diharapkan menjadi pribadi yang rendah hati di hadapan Tuhan dan mampu melayani dan mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati.

Pengalaman umat Israel adalah pengalaman kita semua saat ini. Selagi kita masih bernafas maka beban kehidupan serta semua pergumulan hidup tetap ada. St. Yakobus dalam bacaan pertama mengingatkan kita tentang situasi chaos yang dapat dialami dalam kehidupan bersama. Ada sengketa dan pertengkaran antar pribadi. Semua ini dapat terjadi karena ada hawa nafsu yang bergulat di dalam diri setiap orang. Akibatnya, dosa-dosa social dapat bermunculan, misalnya ada keinginan untuk mendapatkan harta benda yang dicapai dengan cara-cara yang tidak wajar misalnya mencuri, adanya rasa iri hati sehingga menimbulkan perilaku seperti bertengkar, berkelahi dan tidak setia.

Satu hal lain yang disinggung oleh Yakobus adalah aspek doa. Berdoa berarti mengangkat hati dan pikiran kepada Tuhan. Namun demikian banyak orang salah berdoa. Mereka berdoa untuk memenuhi ambisi dan nafsu-nafsu yang menguasai hidup mereka. Misalnya ada orang yang berdoa supaya lawan politiknya gagal supaya dia yang berkuasa. Ada juga orang yang sombong di hadapan Tuhan karena dalam doanya, ia menghitung semua kebaikan yang sudah dilakukan bagi sesama. Kita seharusnya berdoa dengan rendah hati karena kita membutuhkan Tuhan.

Yakobus juga menggabarkan Tuhan yang kita Imani sebagai Tuhan Allah Yang Mahabaik. Ia senantiasa memberi kasih karunianya kepada kita semua. Ia menentang orang yang congkak, tetapi mengasihi orang yang rendah hati. Orang yang rendah hati memiliki hati yang transparan, dapat melihat Tuhan. Maka Yakobus mengharapkan supaya kita tunduk kepada Allah. Belajar untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan Dia juga akan mendekatkan diri dengan kita. Iblis dan kekuatannya harus dilawan supaya kita hanya memiliki sebuah hati yang suci.

Kerendahan hati sebagai sebuah kebajikan juga ditunjukkan oleh Tuhan Yesus sepanjang hidup-Nya (Mat 11:28-29). Ketika para murid memperbincangkan siapakah yang terbesar di antara mereka maka Yesus mengambil seorang anak kecil, menempatkannya di tengah para murid dan mengajak para murid untuk belajar dari kehidupan anak kecil ini. Dia tidak berdaya, polos dan menaruh seluruh harapannya hanya kepada orang dewasa. Demikian terjadi juga dengan orang yang berhati polos akan menaruh seluruh harapannya kepada Tuhan. Yesus berkata: “Barangsiapa ingin menjadi yang pertama, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (Mrk 9:35).

Tuhan Yesus juga meminta kita bukan saja memiliki hati yang polos seperti anak kecil tetapi kemampuann kita untuk membuka diri dan menerima Yesus sendiri. Kalau kita menerima Yesus berarti kita menerima Allah Bapa sendiri yang mengutus-Nya ke dunia. Keterbukaan kepada Tuhan Yesus adalah sebuah tanda kepasrahan kepada-Nya. Apakah anda sudah membuka diri kepada Tuhan dan menerimanya di dalam hidup?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply