Homili 13 Agustus 2016

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XIX
Yeh18:1-10.13b.30-32
Mzm 51:12.15.18-19
Mat 19:13-15

Kita masih butuh semangat hidup anak-anak

imageSaya pernah mengikuti perayaan Ekaristi khusus untuk anak-anak di sebuah Gereja. Romo yang memimpin perayaan Ekaristi saat itu kreatif. Ia berusaha menarik perhatian anak-anak untuk mencintai Tuhan Yesus dalam Sakramen Mahakudus, Dia yang hadir secara nyata dalam Ekaristi kudus. Romo itu menggunakan alat praga tertentu untuk menjelaskan bacaan Injil dan pesan-pesannya. Ia juga mengajak anak-anak untuk ikut merasakan keindahan Ekaristi bersama Yesus. Anak-anak kelihatan terbantu untuk mengerti dan mencintai Ekaristi karena penjelasan romo saat itu. Hal yang menarik perhatianku adalah anak-anak kecil di dalam Gereja begitu tenang, penuh perhatian selama ekaristi berlangsung. Saya juga melihat suasana perayaan Ekaristi berlangsung dengan baik karena dukungan dari para orang tua dan guru yang hadir di dalam Gereja. Mereka berada bersama anak-anak dan ikut menenangkan mereka. Saya sendiri merasa bersyukur kepada Tuhan karena boleh menimba sebuah pengalaman indah bersama anak-anak. Suasana ketenangan batin di hadapan Tuhan, kejujuran dan kepolosan hati mereka menginspirasikan banyak orang untuk membuka dirinya kepada Tuhan.

Pada hari ini Tuhan Yesus mengajak kita untuk memiliki semangat hidup seperti seorang anak di hadapan orang tuanya. Tentu saja Tuhan Yesus tidak bermaksud supaya kita bersikap kekanak-kanakan, cengeng saat berdoa kepada Tuhan dan lain sebagainya. Tuhan Yesus justru menghendaki supaya kita memiliki hati seperti anak kecil yang polos, jujur dan tenang di hadapan Tuhan. Anak-anak memberi teladan kepada orang dewasa bukan dengan perkataannya melainkan dengan teladan hidupnya. Mereka memang dianggap lemah tetapi sikap hidup mereka menguatkan orang tua di hadapan Tuhan.

Penginjil Matius mengisahkan bahwa pada suatu hari orang-orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus supaya Ia boleh meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka. Orang-orang yang mendengar Yesus saat itu percaya bahwa Ia pasti memberi sesuatu yang terbaik dengan berkat-berkat dan doa-doa-Nya bagi anak-anak. Mereka percaya bahwa Tuhan Yesus menyayangi anak-anak. Dia menunjukkan kerahiman Bapa kepada orang yang membuka hati kepada-Nya, mereka yang polos dan jujur di hadirat Tuhan. Tuhan juga menyayangi anak-anak karena mereka dianggap lemah dan tidak berdaya dalam masyarakat sosial padahal mereka juga anak-anak Allah yang bermartabat.

Meskipun Tuhan Yesus mengasihi anak-anak, namun para murid-Nya justru menghalangi mereka untuk berjumpa dengan-Nya. Mereka memarahi orang-orang yang membawa anak-anak itu dan juga tidak mengijinkan anak-anak itu untuk bertemu dengan Yesus. Mungkin maksud para murid itu baik secara manusiawi yakni supaya Tuhan Yesus jangan diganggu, Dia masih lelah dalam pelayanan-Nya. Tetapi Tuhan Yesus berbeda sikap-Nya. Dia justru membuka tangan kasih-Nya bagi anak-anak. Sebab itu Ia berkata kepada para murid-Nya: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku. Sebab orang-orang seperti merekalah yang empunya Kerajaan Surga.” (Mat 19:14). Setelah berkata demikian Ia memberkati anak-anak yang datang kepada-Nya.

Banyak kali dalam kehidupan bersama di dalam keluarga, di dalam kehidupan menggereja dan kehidupan sosial secara umum, kita menjadi serupa dengan para murid Yesus. Mungkin kategori pemikiran kita adalah baik secara manusiawi tetapi tidak di mata Tuhan. Sikap dan perbuatan-perbuatan serta tutur kata kita bisa saja menghalangi sesama untuk berjumpa dengan Tuhan dan menerima berkat dan doa-Nya. Kita memberi larangan dan ancaman sehingga mereka menutup diri terhadap kebaikan-kebaikan. Kita seharusnya berlaku seperti Yesus yang membuka diri kepada anak-anak dengan mendoakan dan memberkati mereka.

Mari kita memandang Yesus. Ia menujukkan kerahiman Bapa kepada anak-anak dengan membuka lengan kudus-Nya, memberkati dan mendoakan mereka kepada Bapa di Surga. Pada hari ini, para orang tua, pendidik dan pembina anak-anak remaja dan kaum muda juga dipanggil untuk membuka diri, mendoakan dan memberkati anak-anak. Para orang tua mendapat kesadaran baru untuk menjadi pendidik nomor satu bagi anak-anak. Keluarga-keluarga  disadarkan untuk menyadari tugas mereka yakni mengantar anak-anak kepada Yesus. Janganlah kita menjadi penghalang anak-anak untuk bersatu dengan Tuhan, tetapi hendaknya kita menjadi pontefice atau jembatan yang menghubungkan anak-anak dengan Tuhan.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply