Homili 24 Oktober 2016

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXX
Ef 4:32-5:8
Mzm 1:1-2.3.4.6
Luk 13:10-17

Menakar kualitas iman

imageBanyak orang merasa bangga sebagai orang yang beriman katolik. Tentu saja perasaan bangga ini penting dan harus kita miliki. Hanya saja kebanggaan ini harus sejalan dengan kualitas iman. Artinya kita tidak hanya menjadi orang katolik saja tetapi benar-benar menjadi pengikut Kristus atau orang Kristen yang baik. Kristen berarti menjadi Kristus kecil di dunia ini. Sebab itu, kita menunjukkan kualitas iman kepada sesama yang lain. Orang harus bisa memberi jempol kepada kita karena kita menjadi orang katolik yang mengimani Tuhan Yesus Kristus. Mari kita bertanya dalam diri kita: Apakah kita adalah orang katolik yang sungguh-sungguh beriman Kristiani? Atau kita hanya menjadi orang katolik saja tetapi belum beriman Kristiani. Kita hanya dibaptis saja.

St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus memberi nasihat yang amat berharga supaya mereka tetap hidup dalam kasih Yesus yang telah mengasihi mereka. Ia berkata: “Saudara-saudara,hendaklah kalian bersikap ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih sayang dan saling mengampuni, sebagaimana Allah telah mengampuni kalian dalam Kristus.” (Ef 4:32). Kualitas hidup kristiani dapat dilihat dalam kemampuan kita untuk menghayati nilai-nilai hidup Yesus di dalam hidup kita. Misalnya, keramahan dalam berelasi dengan sesama. Sikap penuh kasih sayang dan saling mengampuni karena Tuhan Allah lebih dahulu mengasihi dan mengampuni kita. Kita mengikuti Yesus berarti menyerupai hidup Yesus sendiri. Mengikuti jejak Kristus.

Dengan mengikuti gaya hidup Yesus, kita pun dipanggil untuk menunjukkan gaya hidup-Nya kepada sesama yang lain. Yesus ramah dengan semua orang, penuh kasih sayang dan suka mengampuni orang-orang berdosa. Sikap hidup yang sama haruslah menjadi sikap hidup kita. Dosa-dosa mereka dibuang ke tubir-tubir laut yang dalam. Ia menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya dan memberi kekekalan bagi mereka. Itulah kasih dan kebaikan bagi manusia. Kita dapat menjadi penurut Allah sebagai anak-anak kesayangan dan hidup dalam kasih sebab Tuhan Yesus sendiri lebih dahulu mengasihi kita. Dia membaktikan diri-Nya sebagai kurban tebusan bagi banyak orang. Kini kurban persembahan itu harum mewangi bagi Allah. Persembahan diri Yesus itu sangat luhur.

Masalahnya adalah hidup orang-orang beriman yang belum menunjukkan kualitas tertentu. Iman tak berkualitas ditandai dengan hidup pribadi umat yang masih rapu. Paulus mengoreksi jemaat di Efesus yang masih memiliki kebiasaan untuk hidup dalam dosa. Mereka hidup dalam percabulan, rupa-rupa kecemaran atau keserakahan. Ia mengatakan bahwa dengan hanya menyebutnya pun jangan karena dari awal Tuhan memiliki rencana untuk menguduskan setiap pribadi. Selain itu, jemaat diminta supaya tidak mengucapkan perkataan kotor, perkataan kosong atau sembrono. Hal ini tidak elok kalau didengar. Paulus menambahkan wejangannya dengan mengatakan bahwa orang-orang sundal, orang cabul atau orang serakah, penyembah berhala tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Kristus Allah.

Apa yang harus kita lakukan? Menurut Paulus, kita harus selalu bersyukur dan bertobat. Ia berkata: “Memang dahulu kalian adalah kegelapan, tetapi sekarang kalian adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang.” (Ef 5:8). Bersama Daud kita berdoa: “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan kaum pencemooh; tetapi yang kesukaannya ialah hukum Tuhan, dan siang dan malam merenungkannya” (Mzm 1:1-2).

Dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus mengajar kita untuk menunjukkan kualitas iman kita sebagai pengikut-Nya. Kualitas iman itu ditandai dengan kualitas untuk mengasihi tanpa batas. Sehingga dalam situasi apapun kita tetap menomorsatukan kasih dan nilai kemanusiaan. Dikisahkan bahwa pada hari Sabat Yesus menyembuhkan seorang wanita yang delapan belas tahun dirasuki roh jahat. Sebab itu ia mengalami kelainan fisik yakni terus membungkuk, penuh kesakitan. Yesus melihatnya dan mengatakan bahwa penyakitnya sembuh. Ia juga menumpangkan tangan ke atasnya. Ibu itu sembuh total dan memuliakan Allah.

Perbuatan baik yang dilakukan Yesus tidak dihargai. Orang hanya melekat pada aspek legalitasnya saja dan mempersalahkan Yesus karena melanggar hari Sabat. Bagi orang Yahudi, hari Sabat adalah hari istirahat karena merupakan hari Tuhan. Dalam hidup keseharian mereka, ada pekerjaan dadakan yang mereka lakukan, misalnya melepaskan dan memberi makan ternak mereka. Maka Yesus mengatakan bahwa wanita yang sakit selama delapan belas tahun itu layak untuk dibebaskan dari kuasa roh jahat.

Kualitas iman kita menjadi tarohannya. Maka kita boleh bertanya apakah kita memiliki kepekaan untuk memperhatikan orang yang sakit, yang sangat membutuhkan pertolongan kita? Apakah kita murah hati dan selalu siap untuk membaktikan diri bagi kebaikan sesama? Kita sungguh Kristiani kalau kita mampu mengasihi seperti Tuhan sendiri mengasihi kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply