Homili 2 Juni 2017

Hari Jumat, Pekan Paskah ke-VII
Kis. 25:13-21
Mzm. 103:1-2,11-12,19-20ab
Yoh. 21:15-19

Dua Pria Pemberani

Saudari dan saudara terkasih. Kita memasuki hari Jumat Pertama dalam bulan Juni 2017. Bulan Juni ini dikenal sebagai bulan istimewa bagi Gereja untuk berdevosi kepada Hati Yesus yang Mahakudus. Hati Yesus yang ditembusi tombak sang algojo, dari sana keluar darah dan air yang melambangkan sakramen-sakramen di dalam Gereja. Darah dan air dari lambung Yesus menyucikan kita dari dosa dan salah. Darah Yesus yang mulia menyelamatkan kita semua.

Bacaan-bacaan liturgi hari ini menampilkan sosok dua pria yang sebelumnya pernah menjadi penakut tetapi kini berubah menjadi pemberani. Mereka adalah Simon Petrus dan Paulus. Di hadapan Yesus kehidupan mereka di masa lalu berubah menjadi abdi  yang mengasihi Yesus lebih dari yang lain. Mereka bahkan mengikuti Yesus sebagai martir. Kemartiran adalah tanda kasih mereka sampai tuntas kepada Yesus Kristus, Tuhan kita.

Pria pemberani Pertama, Simon Petrus. Penginjil Yohanes mengisahkan bahwa setelah Yesus bangkit , Ia menampakkan diri kepada para murid-Nya. Salah satu penampakan Yesus adalah di pantau Danau Galilea. Setelah semalaman mencariu ikan, Simon Petrus dan teman-temannya tidak mendapatkan ikan. Pada pagi harinya Yesus menyuruh mereka menebarkan jala di sebelah kanan perahu dan berhasil menangkap 153 ekor ikan. Selanjutnya, dikisahkan bahwa sesudah sarapan pagi itu, Yesus dan Simon Petrus saling berdialog di hadapan para murid yang lain. Yesus bertanya: “Simon Anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka ini?” Pertanyaan ini sederhana namun sangat mendalam: “Mengasihi lebih dari yang lain!” Simon Petrus menjawabnya: “Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Simon menunjukkan kepolosannya dan masih merasa malu karena pernah menyangkalnya tiga kali. Namun Tuhan Yesus menuntup perkataannya dengan memberikan sebuah tugas: “Gembalakanlah domba-dombaku”. Domba-domba yang levelnya sama dengan kambing-kambing, simbol orang baru memulai perjalanan rohani mereka bersama Tuhan.

Untuk kedua kalinya, Yesus bertanya kepada Simon: “Simon anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Pertanyaan kalin ini tidak ada tambahan “lebih dari yang lain”. Simon Petrus sadar dan menjawabnya: “Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Ini adalah kekuatan Petrus dalam kelemahannya. Ia tidak mengatakan “Benar Tuhan, saya tahu bahwa saya mengasihi Engkau” tetapi ia sada dan memfokuskan dirinya kepada kasih Tuhan. Sebab itu jawaban Petrus kepada Yesus sangatlah tepat. Tuhan tahu dan Tuhan yang memiliki rencana baginya. Tuhan Yesus memberikan perintah kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku”. Ingatan kita adalah pada domba-domba sebagai milik Tuhan bukan milik manusia. Sebab itu gembala memperhatikan domba-domba milik Tuhan.

Untuk ketiga kalinya Yesus bertanya kepada Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Petrus menyadari sebelumnya ia menyangkal Yesus tiga kali. Kini ia merasa sedih karena Yesus sedang menyadarkannya untuk mengasihi lebih dari yang lain sebanyak tiga kali. Simon Petrus menjawab Yesus dalam kesedihannya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu! Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Sekali lagi Tuhan Yesus mengatakan kepadanya: “Gembalalkanlah domba-domba-Ku.” Sejak saat itu Petrus yang sebelumnya berada dalam alam ketakuan berubah menjadi pemberani. Ia mendapat kekuatan baru, dirinya dipulihkan dan benar-benar menjadi pribadi yang mengasihi Yesus Kristus tanpa batas.

Tuhan Yesus juga mengingatkan Simon tentang kemartirannya di masa depan. Yesus berkata: “Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” (Yoh 21:18). Perkataan Yesus ini akan benar-benar nyata dalam hidup Simon Petrus. Ketika masih muda Simon Petrus adalah pemimpin para rasul. Ia memberikan perintah dan menganimasi kegiatan mereka setiap hari sebagai satu komunitas, namun akan tiba saatnya di mana Simon Petrus akan mengalami hidup sebagai martir dan memuliakan Allah. Tuhan Yesus bahkan mengatakan kepada Simon: “Ikutlah Aku”. Mengikuti Yesus dari dekat berarti mengasihi-Nya lebih dari yang lain. Tuhan Yesus selalu menjadi prioritas nomor satu dalam hidup kita sebab di luar Yesus, kita tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh 15:5). Simon Petrus berubah dari pribadi dengan rasa takut yang besar menjadi seorang yang berani mengasihi Yesus dan menerima kemartirannya.

Pria pemberani kedua adalah Santo Paulus. Setelah melakukan perjalanan Misioner ketiga untuk menguatkan jemaat maka saatnya tiba dimana ia merasa sudah mencapai garis akhir. Ia lalu meninggalkan Efesus menuju ke Yerusalem. Ia sendiri berkata: “Sekarang aku sebagai tawanan Roh pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ, selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota-kota kepadaku bahwa penjara dan sengsara menunggu aku” (Kis 20:22-23). Paulus tiba di Yerusalem dan apa yang dikatakan Roh Kudus itu benar-benar terlaksana. Ia dihadapkan ke pengadilan dan mendapat banyak penderitaan. Namun Tuhan tetap menguatkan Paulus dengan berkata: “Kuatkanlah hatimu, sebab sebagaimana engkau dengan berani telah bersaksi tentang Aku di Yerusalem, demikian jugalah hendaknya engkau pergi dan bersaksi di Roma” (Kis 23:11).

Pada hari ini kita mendengar kisah tentang santu Paulus yang sedang berada dalam tahanan di Kaisarea. Ini menjadi kesempatan bagi Festus untuk memamparkan perkara Paulus kepada raja Herodes Agripa dengan Bernike. Status hukum Paulus disampaikan dengan terus terang. Paulus tidak melakukan kejahatan tetapi bahwa mereka berbeda pendapat tentang soal-soal agama Yahudi dan tentang Yesus Kristus. Pada kenyataannya Yesus Kristus sudah disalibkan dan wafat. Namun Paulus dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa Ia hidup kembali. Ini menjadi sebuah keraguan bagi Festus. Itulah sebabnya Paulus naik banding ke Kaisar dan masih dalam masa penahanan di Kaisarea. Hal yang menakjubkan di sini adalah Paulus berani untuk memberi kesaksian bahwa Yesus hidup. Ia sendiri tidak takut dengan penjara dan penderitaan.

Hari ini kita belajar dari sosok Petrus dan Paulus. Kedua pribadi yang berbeda tetapi saling melengkapi dalam menjalani tugas pelayanan sebagai rasul Yesus Kristus. Kedua-duanya memiliki masa lalu yang gelap. Petrus berjiwa penakut tetapi akhirnya berani untuk bersaksi tentang Yesus karena kasihnya lebih dari segalanya. Kemartiran adalah miliknya dan Gereja tetap hidup sampai saat ini. Paulus adalah seorang yang berencana untuk membunuh semua pengikut Yesus dari Nazaret. Ini bukanlah sebuah keberanian tetapi sebenarnya ketakutannya. Ia berani mengasihi Yesus sampai tuntas. Kemartiran pun menjadi miliknya.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita berani menjadi saksi Kristus? Atau kita takut karena kita hanya minoritas di tengah mayoritas? Ingat dan percayalah bahwa Gereja adalah milik Kristus dan Ia sendiri menyertainya hingga akhir jaman.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply