Homili 2 Mei 2018 (Injil Untuk Daily Fresh Juice)

Hari Rabu, Pekan Paskah ke-V

Kis. 15:1-6

Mzm. 122:1-2,3-4a,4b-5

Yoh. 15:1-8

Tinggallah di dalam Aku!

Pada pagi hari ini saya menemukan sebuah tulisan berupa kutipan dari perkataan St. Theresia dari Kalkuta, seperti ini: “Hidupmu harus ditenun disekeliling Ekaristi. Arahkanlah matamu pada-Nya. Dialah cahaya. Bawalah hatimu sedekat-dekatnya pada hati ilahi-Nya, mintalah dari-Nya rahmat untuk mengenal-Nya, kasih untuk mencintai-Nya, keberanian untuk melayani-Nya. Carilah Dia dengan kerinduan.” Saya membacanya beberapa kali sambil merenungkan perkataan orang kudus ini. Dan saya menyadari bahwa Ekaristi kudus merupakan sebuah tanda kerinduan yang mendalam dari setiap orang beriman untuk bergerak mendekati Yesus supaya meminta rahmat untuk mengenal-Nya lebih dalam lagi, kasih untuk mencintai-Nya dengan segenap hati dan budi dan keberanian untuk melayani-Nya tanpa membuat suatu perhitungan apapun.

Perkataan St. Theresia dari Kalkuta ini menginspirasikan kita untuk memahami perkataan Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil hari ini. Tuhan Yesus memberikan amanat perpisahan-Nya dengan sebuah pengajaran yang sederhana dan mendalam tentang pokok anggur yang benar. Kalau kita rajin membaca Kitab Suci maka kita akan menemukan bahwa pohon anggur itu selalu dipakai sebagai sebuah model yang sangat bermakna di dalam Kitab Suci. Misalnya pada peristiwa perkawinan di Kana, air anggur melambangkan sukacita yang luar biasa di dalam pesta perkawinan. Yesus sebenarnya menunjukkan diri-Nya sebagai sukacita yang mempersatukan pribadi-pribadi dalam perkawinan. Di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, anggur itu menunjukkan sosok bangsa Israel yang dibebaskan Tuhan dari Tanah Mesir (Mzm 80:9-14). 

Tuhan Yesus dalam amanat perpisahan-Nya ini menunjukkan diri-Nya sebagai pokok anggur yang benar. Dialah yang menjiwai Israel Baru (New Israel) yakni Gereja-Nya sendiri. Dia mengakui diri-Nya sebagai pokok anggur yang benar dan Bapa di surga adalah pengusahanya. Maka Yesus bukan pokok anggur yang palsu atau hanya sekedar menjadi pokok anggur. Dia benar-benar pokok anggur, sumber kehidupan kita. Sabda-Nya mengubah kita untuk bertumbuh sebagai ranting-ranting dari anggur yang tidak lain adalah tanda kasih dan sukacita untuk berbuah banyak. Kita adalah ranting-ranting dari pokok anggur yang satu dan sama. Apabila kita bersatu dengan-Nya maka kita akan berbuah lebih banyak.

Untuk dapat menjadi ranting yang menghasilkan buah yang melimpah maka kuncinya adalah selalu bersatu dengan Tuhan Yesus. Hal ini kiranya sejalan dengan perkataan St. Theresia dari Kalkuta sebelumnya bahwa kita mendekati Yesus untuk meminta rahmat-Nya, kasih dan keberanian untuk melayani-Nya. Maka hal yang terpenting di sini adalah kita tinggal di dalam Yesus dan Yesus tinggal di dalam diri kita. Yesus berkata: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.” Para murid Yesus saat itu menyadari bahwa mereka sendiri sudah dipanggil oleh Tuhan Yesus untuk berjalan bersama-Nya. Ia  akan menderita, sengsara, wafat dan bangkit dengan mulia. Hal yang sama akan dirasakan sendiri oleh para murid-Nya. Sungguh, mereka laksana ranting yang berbuah lebat karena selalu bersatu dengan Yesus sebagai pokok anggur yang benar. Kita yang mendengar Injil saat ini juga laksana ranting yang menyatu dengan pokoknya yakni Yesus untuk menghasilkan buah yang berlimpah. Ia sendiri berkata: “Sebab di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa”. 

Hal yang perlu kita perhatikan adalah selalu berusaha untuk bersatu dengan Yesus. Ia sendiri memberikan jalan kepada kita untuk berpegang teguh pada Sabda-Nya. Sabda Tuhan memiliki daya transformatif bagi hidup pribadi kita. Tanpa Sabda Tuhan sebagai pelita bagi langkah kaki kita maka kita tidak jauh berbeda dengan ranting yang tidak menghasilkan buah apapun. Yesus berkata: “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar.”

Apa yang harus kita lakukan untuk tinggal di dalam Yesus? Tuhan Yesus menghendaki supaya kita bersatu dengan-Nya. Untuk tinggal dan bersatu dengan-Nya sebagai sumber hidup kita maka kita harus mendengar dan melakukan Sabda-Nya dengan sepenuh hati. Mendengar sabda dan melakukan-Nya adalah tanda kasih kita yang sangat mendalam kepada Yesus, sang Sabda Hidup kita. Kita juga berdoa dan berdevosi di dalam hidup kita. Doa adalah sebuah kebutuhan kita bukan sebuah keterpaksaan. 

Saya mengakhiri renungan ini dengan mengutip St. Fransiskus dari Sales, yang mengatakan begini: “Di dalam Ekaristi kudus kita menjadi satu dengan Allah seperti makanan dengan tubuh”. Pada saat ini kita sadar diri untuk tinggal di dalam Kristus dan Kristus tinggal di dalam kita melalui Ekaristi Kudus. Apakah Ekaristi yang kita rayakan bersama mengubah diri kita supaya tetap tinggal di dalam Tuhan? Berusahalah dengan rahmat Tuhan untuk tinggal selamanya dengan Kristus dan biarkan Dia juga tinggal di dalam dirimu. Jadilah ranting yang berbuah dan janganlah menjadi ranting yang tidak berbuah sebab Yesus Kristus adalah Imanuel, Dialah yang tinggal bersama kita.

PJ-SDB 

Leave a Reply

Leave a Reply