Food For Thought: Hidup yang bermakna

Hidup yang bermakna

Pada pertemuan terakhir perkuliahan Komunikasi Bisnis, sang dosen meminta para mahasiswa untuk mendeskripsikan selama dua menit tentang hidup yang bermakna. Setiap mahasiswa tampil dan mengungkapkan hatinya tentang hidup yang bermakna dari hidup pribadinya sendiri. Ada mahasiswa yang mengungkapkan pengalaman masa lalu yang membuat semua mahasiswa tersenyum dan terhibur. Ada juga mahasiswa yang terharu dan membuat suasana kelas mengalami banjir air mata. 

Ada seorang mahasiswa mengaku bahwa hidupnya bermakna karena rasa syukurnya yang mendalam kepada Tuhan. Setelah mengalami kecelakaan lalu lintas, ia harus mengalami operasi besar. Batok kepalanya dibuka, otaknya dikeluarkan dan disimpan di dalam tempat pendingin. Proses operasi berjalan dengan baik. Puji Tuhan karena tidak terjadi pendarahan di otaknya. Setelah sepuluh hari ia mengalami operasi lanjutan, hingga otaknya dari tempat pendingin di masukan kembali di dalam batok kepalanya. Ia sempat mengalami koma selama enam bulan. Pada akhirnya dia sadar dan hidup sampai sekarang sebagai orang normal. Setiap kali mengingat penderitaannya ini, ia hanya menangis dan mengakui bahwa hidupnya bermakna karena Tuhan turut bekerja. Tuhan telah memberinya hidup untuk kedua kalinya. 

Seorang mahasiswi tampil dan mengatakan bahwa hidupnya bermakna ketika ia mampu menerima dirinya sebagai pribadi yang memiliki bagian tubuh yang tidak sempurna. Ia memiliki kaki yang berbentuk X dan bermata juling. Ketika masih kecil semua orang menertawakannya. Ia sempat bertanya kepada orang tuanya mengapa ia memiliki tubuh yang demikian aneh dan menjadi bahan tertawaan. Ibunya hanya mengatakan bahwa ia adalah anak Tuhan yang paling bernilai di dalam keluarga. Kata-kata ini sangat menguatkannya. Hingga saat ini, ia menerima dirinya dan merasa bahwa hidupnya memang sungguh bermakna. Kaki dan mata boleh cacat di mata manusia tetapi beda di mata Tuhan, sebab dia yakin bahwa dia juga merupakan ciptaan yang sempurna. Hidup bermakna ketika mampu menerima diri apa adanya.

Dua pengalaman sederhana ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Seandainya mereka adalah anda dan saya mungkin ceritanya beda. Mungkin kita menolak hidup yang adalah pemberian Tuhan. Hanya orang beriman yang boleh menerima diri apa adanya di hadirat Tuhan. Hidup kita berarti atau bermakna kalau kita sungguh menyadari kasih dan kebaikan Tuhan di dalam hidup ini dan berusaha untuk menebar kasih dan kebaikan Tuhan kepada sesama yang lain. Saya mengingat St. Theresia dari Kalkuta. Ia pernah berkata: “Tebarkanlah cinta kemanapun engkau pergi. Jangan ada seorang pun yang datang menemuimu tanpa menjadi lebih bahagia ketika meninggalkanmu.” Apakah setiap langkah hidup ini kita gunakan untuk menebarkan cinta kasih Tuhan kepada sesama? Apakah semua orang yang kita jumpai dalam saat-saat hidup ini merasa bahagia dan berubah setelah berjumpa dengan kita? Atau justru kekecewaan yang menguasai mereka dan tak ada efek perubahan apa pun.

Saya terpesona dengan St. Yakobus. Hari ini ia mengingatkan kita untuk sadar diri bahwa kita hanya manusia biasa saja maka Tuhanlah yang harus menjadi andalan hidup kita. Ia bertanya kepada anggota komunitasnya: “Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap” (Yak 4:14). Dengan menyadari diri sebagai makhluk yang fana maka kita seharusnya lebih dekat dari saat ke saat dengan Tuhan sebab kita sama seperti uap yang cepat lenyap. Sebab itu kita berprinsip bahwa Tuhan adalah andalan hidup kita. Kita berani berkata: “Jika Tuhan menghendakinya maka kami akan hidup dan berbuat ini dan itu” (Yak 4:15). Hidup kita bermakna ketika Tuhan menjadi andalan hidup kita.

Hidup kita bermakna ketika kita tidak memiliki kebiasaan untuk membanding-bandingkan hidup orang lain dengan hidup pribadi kita. Pada saat membandingkan hidup orang lain dengan hidup kita maka sisi gelap kehidupan akan menguasai diri kita. Sebab itu semua yang serba negatif akan mengalir dengan sendirinya. Selanjutnya, seruan status quo keselamatan berdengung dan orang tertentu merasa bahwa itu hanya miliknya saja. 

Dari Injil kita belajar bagaimana Tuhan Yesus membentuk para murid-Nya. Pada saat Yohanes menegur seorang yang bukan sekomunitas dengannya mengusir setan demi nama Yesus maka Yesus sendiri berkata kepadanya: “Jangan kalian cegah dia! Sebab tak seorangpun yang telah mengadakan mukjisat demi nama-Ku dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barang siapa tidak melawan kita, ia memihak kita.” (Mrk 9:39-40). Tuhan Yesus memang hebat. Ia tidak hanya mengoreksi para rasul-Nya, tetapi mengoreksi kita sebagai rasul zaman now. Ternyata kita tidak jauh berbeda dengan mereka sebab suka memandang orang lain dari faktor perbedaan dan lupa melihat persamaannya. Perbedaan-perbedaan selalu menjadi kesempatan untuk lebih erat dan bersatu sebagai saudara.

Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip Maya Angelou. Sang Penulis Negro Amerika ini pernah berkata: “Aku belajar bahwa orang akan melupakan apa yang Anda katakan, orang akan melupakan apa yang Anda lakukan, tapi orang tidak akan pernah melupakan bagaimana Anda membuat mereka bahagia.” Super dan luar biasa! Ini baru namanya hidup yang bermakna. Apakah hidupmu bermakna?

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply