Homili Hari Minggu Biasa ke-XXIV/B – 2018

Hari Minggu Biasa XXIV/B
Yes. 50:5-9a
Mzm. 116:1-2,3-4,5-6,8-9
Yak. 2:14-18
Mrk. 8:27-35

Nilai rohani sebuah penderitaan

Pada pagi hari ini seorang sahabat menulis pesan singkat kepada saya berupa sebuah kutipan dari Mahatma Gandhi, bunyinya: “Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta, disitu ada kehidupan. Berbeda dengan kebencian yang membawa kepada kemusnahan.” Saya merasa sangat tersentuh dan terinspirasi dengan ajaran universal politikus India ini. Saya sepakat dengan beliau yang mengatakan bahwa cinta itu tidak perlu meminta tetapi senantiasa memberi. Cinta membawa penderitaan karena memang cinta butuh pengurbanan diri. Hanya saja cinta tidak mendendam. Saya merenung kata perkata dan tersenyum. Saya sadari betapa saya masih jauh dari harapan seperti ini. Tetapi saya masih percaya bahwa Tuhan pasti menolongku. Tuhan pasti membaharui hidupku untuk menjadi lebih baik lagi dari yang sekarang ini.

Bacaan-bacaan Liturgi pada hari Minggu Biasa ke-XXIV/B ini membantu kita untuk merenung lebih dalam lagi tentang nilai rohani dari penderitaan dan kemalangan dalam hidup kita. Setiap orang pasti mengalami penderitaan dan kemalangan. Ini adalah cara Tuhan mendidik kita untuk selalu percaya kepada-Nya dan menaruh seluruh harapan kepada-Nya. Hanya pada Tuhan saja kita berharap. Terlepas dari Tuhan kita tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh 15:5). Kita tidak dapat menutup mata terhadap orang-orang tertentu yang mengalami penderitaan dan kemalangan, lalu mengeluh kepada Tuhan. Pertanyaan klasik yang membawa mereka kepada adanya penolakan kepada Allah adalah: “Kalau Allah itu mahabaik, mengapa Ia mengijinkan penderitaan dan kemalangan ada di dunia ini?” Hingga saat ini orang masih kesulitan dalam memberikan jawaban yang pas untuk pertanyaan ini.

Nabi Yesaya dalam bacaan pertama mengisahkan tentang Hamba yang menderita. Sang Hamba yang menderita ini luar biasa. Ia mengakui imannya bahwa Tuhan Allah sendiri telah membuka telinganya dan ia tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang saat mengalami penderitaan dan kemalangan. Hamba yang menderita ini sangat mengandalkan Tuhan meskipun ia menderita karena dipukul, janggutnya dicabut, mukanya dinodai dan diludahi. Ia mengaku bahwa Tuhan adalah harapannya untuk mendapatkan pertolongan. Hati sang hamba tetap teguh di hadapan Tuhan.

Gambaran hamba yang menderita menjadi nyata di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Dialah Mesias yang datang ke dunia, bukan sebagai Mesias yang jaya melainkan Mesias yang menderita. Ia berbicara terus terang kepada para murid-Nya dalam ajaran-Nya ini: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.” (Mrk 8:31). Para murid Yesus memiliki ekspektasi yang jauh berbeda dengan kenyataan. Memang apa yang dipikirkan manusia berbeda dengan apa yang dikehendaki Tuhan sendiri. Mesias menanggung banyak penderitaan, Mesias ditolak di mana-mana oleh para pemangku kekuasaan agama dan politik bahkan Mesias itu dibunuh dengan keji. Harapan yang nyata adalah ada kebangkitan sang Mesias pada hari yang ketiga.

Para murid Yesus masih memiliki kategori yang sangat manusiawi. Mareka kebanyakan berbangga dengan perkataan orang lain tentang Yesus sang Mesias, sementara mereka sendiri kesulitan untuk menunjukkan iman mereka kepada Kristus sang Mesias. Petrus sebagai leader saja mengakui Yesus sebagai Mesias karena pertolongan Tuhan yang membuka pikirannya untuk mengungkapkan imannya. Tanpa pertolongan Tuhan, Petrus juga sama dengan rekan-rekannya yang lain, yang sedang kesulitan untuk menjawab pertanyaan Yesus. Tetapi kelemahan yang lain Nampak dalam cara Petrus untuk tidak menerima Yesus sebagai Mesias yang menderita. Bayangannya adalah Yesus sebagai Mesias yang jaya. Tuhan Yesus menegur Petrus dan teguran itu juga berlaku bagi kita semua: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Mrk 8:33).

Apa yang Tuhan Yesus kehendaki bagi kita? Ia mau supaya kita menjadi serupa dengan-Nya. Kita siap untuk menderita bersama-Nya. Ia berkata: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.” (Mrk 8: 34-35). Kita bangga sebagai orang-orang Kristen. Kristen berarti Kristus kecil di dunia ini. Kita menghadirkan Kristus dalam penderitaan, pengurbanan diri, untuk kebaikan sesama manusia. Itulah yang disebut salib. Salib adalah pengurbanan diri kita yang membuahkan kebahagiaan bagi sesama. Maka ketika ada penderitaan janganlah cepat mengeluh. St. Paulus berkata: “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya yaitu jemaat” (Kol 1:24). Maka setiap penderitaan kita itu untuk melengkapi penderitaan Kristus yang masih kurang di dalam Gereja.

Paus Fransiskus selama beberapa hari terakhir mengajak Gereja untuk banyak berdoa bagi Gereja. Gereja Katolik sedang mengalami badai yang sangat dahsyat dari dalam dan luar. Skandal seks yang terjadi dalam tubuh Gereja, dilakukan oleh para gembala mulai terkuak dan sangat menusuk. Masalah pedofilia, korupsi di dalam Gereja menjadi noda hitam Gereja masa kini. Namun saya sendiri tetap percaya bahwa Gereja tetap kudus karena Tuhan yang mendirikannya. Tuhan membaharuinya melalui Roh Kudus. Badai pasti akan berlalu, dan Gereja kita akan semakin kuat. St. Paulus berkata: “Di mana disa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah” (Rom 5:20).

Apa yang harus kita lakukan sebagai pengikut Kristus untuk memperjuangkan nilai-nilai rohani penderitaan?

St Yakobus dalam bacaan kedua mengajak kita untuk bersyukur atas iman sebagai anugerah Tuhan dan mewujdukan iman itu dalam perbuatan-perbuatan nyata. Ia mempertanyakan orang-orang yang bangga karena memiliki iman tetapi tidak mempunyai perbuatan-perbuatan yang baik yang menunjukkan bahwa orang itu beriman. Kita akan tetap menemukan orang-orang yang miskin, menderita dan malang hidupnya. Di saat-saat seperti ini kita tidak hanya bangga sebagai orang beriman, tetapi menunjukkan iman kita dengan berbuat baik kepada orang lain. Kita perlu berbagi, berempati dengan mereka. Yakobus berkata: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” (Yak 2:17). Banyak kali kita hanya berbangga karena memiliki iman, tetapi tidak memiliki perbuatan baik yang nyata bagi sesama.

Nilai-nilai rohani penderitaan kita terungkap dalam pengurbanan diri kita. Kita melakukan pekerjaan-pekerjaan kita, sekecil apapun pekerjaan itu dengan cinta kasih yang besar. Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip perkataan Paulo Coelho dalam karyanya “Seperti sungai yang mengalir” yakni: “Kau harus belajar menanggung beberapa penderitaan dan kesedihan, sebab penderitaan dan kesedihan akan menjadikanmu orang yang lebih baik.” Ini kiranya nilai rohani penderitaan kita.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply