Homili 6 November 2018

Hari Selasa Pekan Biasa ke-XXXI
Flp. 2:5-11
Mzm. 22:26b-27,28-30a,31-32
Luk. 14:15-24

Mengikuti Jejak Kristus

Saya sedang membaca dan merenungkan kembali sebuah buku klasik karya Thomas A. Kempis (1380-1471). Buku klasik ini berjudul ‘De Imitatione Christi’ atau ‘Mengikuti Jejak Kristus’. Mengawali buku inspirasi sepanjang zaman bagi mereka yang menghayati hidup bakti ini, beliau menulis: “Tuhan bersabda: “Barang siapa mengikuti Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan” (Yoh 8:12). Inilah sabda Kristus untuk menasihati kita supaya kita meniru hidup ketekunan-Nya, bila kita sungguh-sungguh ingin mendapat terang dan ingin dibebaskan dari segala kebutaan hati. Karena itu, hendaklah kita mengutamakan dan mencurahkan perhatian kita untuk merenungkan kehidupan Yesus Kristus.” (I:1). Mengikuti jejak Kristus berarti merengkan kehidupan Yesus Kristus secara mendalam dan menyerupai-Nya. Dia sendiri adalah terang bagi kita semua.

St. Paulus melanjutkan wejangannya tentang Tuhan Yesus Kristus. Sebelumnya ia menghendaki agar kita hidup di dalam Kristus dan menyerupai-Nya, dan ini membuat sukacitanya menjadi lengkap sebab seluruh jemaat yang hidup dalam Kristus itu sehati dan sepikir. Kali ini Paulus membuat sebuah himne tentang keagungan Kristus Yesus. Dalam himne Kristologisnya ini, ia menghendaki supaya kita mengikuti atau bersikap seperti Kristus sendiri. Apa yang harus kita lakukan untuk untuk menjadi serupa dengan Yesus atau untuk dapat mengikuti jejak-Nya?

St. Paulus mengajak kita untuk memandang Yesus Kristus. Sambil kita memandang Yesus Kristus, Ia mengatakan kepada kita bahwa ‘walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan’ (Flp 2:6). Tuhan Yesus tidak menyombongkan diri-Nya. Dia adalah Anak Allah tetapi Ia tidak tinggal dalam kebanggan-Nya sebagai Anak Allah. Ke-Allahan-Nya bukan sebagai milik yang dipertahankan-Nya. Bagi Paulus, Yesus justru ‘telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.’ (Flp 2:7). Ia berkenosis, membuat diri-Nya menjadi kosong, hampa. Ia juga menjadi serupa dengan hamba. Bayangkan Anak Allah tetapi rela menjadi hamba, atau abdi. Ia berinkarnasi menjadi manusia sama seperti kita. Yesus memang luar biasa. Anak Allah merelakan diri bahkan melampaui hidup manusia yang nyata.

Selanjutnya Paulus mengatakan bahwa ‘dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib’ (Flp 2:8). Yesus adalah Anak Allah yang selalu beda sehingga membuat kita terkagum-kagum. Ia adalah Anak Allah tetapi merendahkan diri-Nya sama seperti seorang hamba, ia adalah pribadi yang taat kepada Bapa di Surga. Ia taat sampai wafat pun di atas kayu salib. Seorang Anak Allah yang luar biasa! Ia memberi diri-Nya secara total dalam pengurbanan diri-Nya sampai tuntas. Semua kualitas ini menunjukkan bahwa Yesus Kristus memang beda. Allah Bapa sendiri meninggikan Dia, memuliakan Dia bahkan menganugerahi-Nya nama yang melebihi segala nama. Dia adalah Yehosua, Allah yang menyelamatkan kita semua. Dalam nama-Nya ada keselamatan kekal. Sebab itu wajar sajalah bahwa bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2:10-11).

Himne Kristologis ini menjadi semakin indah ketika dengan sadar kita juga menghayatinya dalam hidup ini. Artinya, kita tidak hanya memandang kepada Tuhan Yesus. Kita juga meniru teladan-Nya, mengikuti jejak-Nya dan hidup menjadi semakin serupa dengan-Nya. Kita perlu sadar diri untuk berbalik kepada Tuhan. Raja Daud pernah berdoa: “Segala ujung bumi akan mengingatnya dan berbalik kepada Tuhan; dan segala kaum dari bangsa-bangsa akan sujud menyembah di hadapan-Nya.” (Mzm 22: 27). Pertobatan adalah harga mati, sebab kita mau mengikuti Tuhan Yesus lebih dekat lagi.

Dalam bacaan Injil kita mendengar ajakan Yesus untuk mengalami Ekaristi abadi di surga. Dikisahkan bahwa pada saat itu Yesus diundang seorang Farisi untuk makan bersama. Ketika itu ada seorang tamu yang berkata kepada Tuhan Yesus: “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah.” (Luk 14:15). Tamu yang hadir dalam pesta itu, tentu bukan tamu yang biasa-biasa. Mereka semua mengerti dengan baik rencana keselamatan yang datang dari Allah kita. Di dalam perikop kita hari ini, Tuhan Yesus memberikan sebuah perumpamaan tentang seorang yang mengadakan pesta besar dan mengundang semua orang dengan kelebihan dan kekurangannya. Sayang sekali karena para undangan itu memberikan keberatan-keberatan yang tidak masuk akal. Mereka meminta maaf dan tidak menghadiri pesta dengan alasan tertentu seperti ada yang barusan memberi ladang dan hendak melihatnya, ada yang baru membeli lima pasang lembu kebiri dan harus pergi mencobanya, ada yang baru menikah dan berhalangan untuk hadir.

Sang hamba tanpa nama yang disuruh tuannya itu kembali dan menyampaikan semua pengalaman memanggil para tamu dan undangan, namaun mereka semua tidak hadir karena masing-masing sibuk dengan hidup pribadinya. Tuan pesta itu menyuruh sang hamba untuk pergi lagi dan memanggil orang-orang miskin dan cacat, orang-orang buta, dan lumpuh. Ia bahkan meminta supaya memanggil orang-orang di persimpangan jalan untuk ikut terlibat dalam perjamuannya. Mereka semua dipaksa untuk masuk dan menempati ruang pesta sampai penuh.

Kita semua mengikuti Jejak Kristus karena mau menjadi serupa dengan Yesus dalam segala hal. Ini merupakan sebuah undangan bagi kita semua untuk mengikuti perjamuan dengan-Nya, sebuah perjamuan yang abadi di surga. Ia memanggil kita semua kepada keselamatan abadi. Rencana Tuhan Yesus memang indah bagi kita semua. Keselamatan yang datang dari Tuhan bersifat universal.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply