Homili 24 November 2018

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XXXIII
Peringatan Wajib St. Andreas Dung Lac
Why. 11:4-12
Mzm. 144:1,2,9-10
Luk. 20:27-40

Aku percaya kepada Allah orang hidup

Saya pernah menemukan sebuah tulisan tangan yang dipakai sebagai pembatas buku seperti ini: “Aku percaya kepada Allah orang hidup”. Pikiran saya langsung tertuju pada sebuah ‘debat’ yang dilakukan oleh kaum Saduki yang tidak mengakui adanya kebangkitan orang mati dengan Tuhan Yesus. Ketika itu mereka mendekati Tuhan Yesus dan bertanya tentang perkawinan levirat. Peraturan Pernikahan Levirat itu berbunyi: “Apabila seorang mati dengan tidak meninggalkan anak laki-laki, maka saudaranya harus mengambil janda menjadi isterinya dan dengan demikian melakukan kewajiban perkawinan ipar (Perkawinan Levirat (levirate marriage, Levir, latin, artinya saudara laki-laki suami) adalah aturan menggantikan kedudukan suami yang meninggal jika tidak memiliki anak. Penggantinya adalah saudara laki-laki itu); maka anak sulung yang nanti dilahirkan perempuan itu haruslah dianggap sebagai anak saudara yang sudah mati itu, supaya nama itu jangan terhapus dari antara orang Israel”. Kita dapat membacanya dalam Kitab Ulangan: “Apabila orang-orang yang bersaudara tinggal bersama-sama dan seorang dari pada mereka mati dengan tidak meninggalkan anak laki-laki, maka janganlah isteri orang yang mati itu kawin dengan orang di luar lingkungan keluarganya; saudara suaminya haruslah menghampiri dia dan mengambil dia menjadi isterinya dan dengan demikian melakukan kewajiban perkawinan ipar.” (Ul 25:5).

Kaum Saduki mempresentasikan sebuah kasus kepada Tuhan Yesus. Ada tujuh orang bersaudara. Sang lelaki pertama menikahi seorang wanita, namun ia meninggal dunia tanpa memberikan keturunan kepada wanita itu. Wanita itu kemudian dinikahi oleh adik dari lelaki itu. Ia juga meninggal dunia tanpa memberikan keturunan kepada wanita itu. Selanjutnya ketujuh bersaudara itu menikahi wanita itu dan meninggal dunia tanpa memberikan keturunan kepadanya. Wanita itu akhirnya meninggal dunia juga. Berdasarkan kasus ini, pada saat hari kebangkitan nanti, siapakah lelaki yang berhak menjadi suami dari wanita itu. Pertanyaan ini diarahkan kepada Yesus, dan Ia sendiri akan menjelaskan kasus tersebut kepada mereka. Ia mengatakan bahwa orang-orang di dunia ini kawin dan dikawinkan namun orang-orang yang dianggap layak di dunia lain, pada hari kebangkian tidak akan kawin dan dikawinkan. Mereka akan sama dengan malaikat-malaikat dan menjadi anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan dari kematiannya. Para malaikat adalah pelayan-pelayan Tuhan siang dan malam. Mereka menjadi anak-anak Allah.

Mengapa Tuhan Yesus memberikan jawaban seperti ini? Orang-orang Saduki pasti mengetahui kisah panggilan Musa di padang gurun. Ketika itu Musa masih bekerja sebagai gembala bagi ternak mertuanya. Ia melihat semak duri yang menyalah tetapi api tidak memakan semak itu. Lalu dari dalam api yang menyala itu ia mendengar suara yang mengatakan bahwa Tuhan adalah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Nenek moyang Musa ini pernah hidup di dunia dan mengimani Tuhan Allah yang satu dan sama. Maka Tuhan Allah bukanlah Allah orang mati melainkan Allah orang hidup. Di hadapan Tuhan Allah, semua orang hidup selama-lamanya. Ada ahli-ahli Taurat yang mendengar penjelasan Yesus ikut mengakui bahwa jawaban Yesus atas pertanyaan kaum Saduki itu sangat tepat.

Banyak di antara kita juga memiliki pikiran yang sempit seperti kaum Saduki. Misalnya, ada pasangan suami dan istri yang meninggal dunia dan anak-anaknya menguburkan mereka di liang lahat yang sama karena mereka mungkin berpikir bahwa di dunia yang baru mereka akan tetap hidup sebagai suami dan istri. Padahal Yesus mengatakan bahwa mereka itu orang kudus, mereka seperti malaikat. Sebab itu mereka tidak kawin dan dikawinkan. Tugas kita bukan untuk memiliki harapan seperti orang-orang yang tidak beriman. Kita seharusnya memiliki harapan bahwa pada saatnya nanti kita akan bersatu dengan Tuhan dan menjadi serupa dengan malaikat.

Hal lain yang penting adalah tentang kesetiaan dalam hidup perkawinan. Pada zaman ini kemungkinan perkawinan levirate memang sangat kecil. Hanya perselingkuhan masih merajalela. Orang sepertinya tidak puas dengan pasangannya maka masih memiliki perilaku pelakor dan pebinor. Pelakor dan pebinor sejati itu tidak memiliki tempat dalam hati Tuhan. Orang harus mulai sadar diri supaya setia degan pasangannya seumur hidup. Orang yang setia dengan pasangannya, tentu setia kepada Tuhan Allah, Allahnya orang hidup.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply