Homili Hari Minggu Adventus III/C – 2018

Hari Minggu Adven III/C
Zef. 3:14-18a
MT Yes. 12:2-3,4bcd,5-6
Flp. 4:4-7
Luk. 3:10-18

Mewartakan Sukacita Tuhan

Saya pernah membaca sebuah refleksi indah Santu Maksimus dari Turin tentang Yohanes Pembaptis. Berikut ini adalah sebuah kutipan singkat refleksinya: “Yohanes Pembaptis tidak hanya berseru-seru ketika memberitakan kepada kaum Farisi di padang gurun tentang kedatangan Tuhan dan keselamatan, dengan perkataan ini, “Persiapkanlah jalan bagi Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya” (Mat 3,3). Pada saat ini ia bahkan tetap berseru-seru di tengah-tengah kita dengan suaranya bak guntur yang menggetarkan gurun dosa-dosa kita. Dia juga berkata kepada kita hari ini: “Persiapkanlah jalan bagi Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya”. Dia memerintahkan kita untuk mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Jalan yang dimaksud itu bukan untuk dilewati di atas bumi, melainkan ada pada kemurnian iman kita. Tuhan tidak ingin membuka jalan di atas bumi ini, tetapi di dalam keintiman jiwa kita. Apabila jalan itu berlekak lekuk karena kebiasaan buruk kita, maka akan terasa sangat sulit karena kejahatan kita, bernoda karena perilaku hidup kita. Kita diperintahkan untuk membersihkannya, untuk meratakan hingga mencapai level yang tepat. Jadi, ketika tiba saat kedatangannya, Tuhan tidak akan tersandung, tetapi akan menemukan jalan yang ditandai oleh kesucian, diratakan oleh iman, yang dihiasi oleh sedekah kita. Tuhan biasanya berjalan di jalan tersebut, karena nabi mengatakan: “Buatlah jalan bagi Dia yang berkendaraan melintasi awan-awan! Nama-Nya adalah Tuhan” (Mazmur 68,5).

Selanjutnya beliau menambahkan lagi: “Kita merasa yakin bahwa Yohanes Pembaptis sendiri adalah jalan yang terbuka bagi Tuhan. Dialah yang menyerukan kepada kita untuk mempersiapkan jalan bagi Tuhan! Dia menyiapkan dan mengarahkan seluruh jalannya menuju kepada kedatangan Kristus dalam dirinya dengan: berpuasa panjang, kerendahan hati, kemiskinan dan keperawanan. Yohanes Pembaptis menunjukkan ini dengan mengenakan pakaian dari bulu unta, dan dengan ikat pinggang yang terikat di sekitar pinggulnya, dia memakan belalang dan madu liar (Mat 3,4). Kerendahan hati macam apa yang lebih besar dalam diri seorang nabi, melebihi sikapnya yang menutupi badan dengan bulu domba yang kasar, dan tidak mengenakan pakaian yang lembut? Kesetiaan macam mana yang lebih baik melebihi sebuah sikap yang selalu siap sedia, dengan ikat pinggang yang terikat dan siap untuk melayani? Apakah ada pantangan yang lebih baik dari tidak memperhitungkan kenyamanan hidup dengan tinggal dan memakan belalang dan madu liar?”

Kita berada di pekan ketiga masa Adventus. Pekan atau Minggu ketiga Adventus ini biasa disebut juga sebagai Minggu Sukacita. Di dalam Gereja kita melihat lilin berwarna pink akan dinyalahkan. Lilin ini melambangkan para gembala yang penuh sukacita menantikan kedatangan Tuhan Yesus Kristus. Para romo juga mengenakan kasula berwarna pink untuk menyatakan sukacita Gereja yang siap untuk menyambut kedatangan Tuhan Yesus Kristus. Sebab itu satu pertanyaan yang patut kita renungkan bersama adalah apakah ada sukacita di dalam hati kita menjelang perayaan natal nanti? Apakah kita membawa Injil sebagai khabar sukacita bagi sesama manusia?
Zefanya di dalam bacaan pertama menutup semua nubuatnya dengan madah sukacita yang menopang keselamatan umat Israel. Mereka diharapkan tetap bersuka cita sebab Tuhan menyertai dan menunjukkan kasih-Nya kepada mereka. Ia mengatakan: “Bersorak-sorailah, hai puteri Sion, bertempik-soraklah, hai Israel! Bersukacitalah dan beria-rialah dengan segenap hati, hai puteri Yerusalem!” (Zef 3:14). Nuansa sukacita yang besar patut di miliki oleh mereka sebab Tuhan sungguh mengasihi mereka. Dikatakannya: “Tuhan telah menyingkirkan hukuman yang jatuh atasmu, telah menebas binasa musuhmu.” (Zef 3:15). Sebab itu Israel tidak boleh takut lagi. Tangannya tidak boleh menjadi lemah lunglai sebab Tuhan tetap berada di tengah-tengah mereka. Tuhan akan melakukan ini: Ia membaharui Zion dalam kasih-Nya. Tuhan bersorak-sorak karena Israel dengan sorak-sorai, seperti pada hari pertemuan raya. Segala malapetaka akan dijauhkan Tuhan.

Zefanya membuka wawasan kita untuk semakin percaya kepada Tuhan Allah yang mahapengasih dan penyayang. Ia tidak menghitung-hitung dosa dan salah kita tetapi menyingkirkan hukuman-Nya kepada kita. Kasih-Nya justru membaharui hidup kita. Ini adalah warta sukacita yang patut kita lanjutkan di dalam hidup kita. Apapun hidup kita, siapakah diri kita, Tuhan tetap mengasihi dan menguatkan kita semua. Maka sukacita haruslah menjadi milik kita dan kita berusaha untuk membagikannya kepada sesama.

St. Paulus dalam bacaan kedua mengundang jemaat di Filipi untuk senantiasa bersukacita dalam Tuhan. Sukacita sejati didasari pada kebaikan hati dalam hidup bersama. Sukacita sejati itu haruslah jauh dari kekuatiran tentang apapun juga dalam hidup kita. Hal yang harus kita lakukan sebagai orang yang bersukacita adalah mengucapkan doa permohonan dan bersyukur kepada Tuhan. Pengalaman jemaat di Filipi haruslah menjadi pengalaman kita. Hati penuh syukur adalah jalan terbuka bagi sukacita dalam hidup kita. Orang yang tahu bersyukur pasti memiliki hati yang penuh sukacita.

Penginjil Lukas dalam bacaan Injil menampilkan sosok Yohanes Pembaptis. Ia mewartakan seruan tobat kepada banyak orang. Ada tiga kelompok orang yang datang kepadanya dengan aneka pertanyaan. Kelompok pertama adalah orang banyak, tanpa nama yang siap untuk di baptis. Mereka bertanya tentang apa yang harus mereka lakukan untuk menyambut kedatangan Mesias. Yohanes meminta mereka untuk saling berbagi kepada sesama manusia. Inilah perkataan Yohanes: “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian.” (Luk 3:11). Semangat untuk berbagi dengan sukacita itu perlu dan harus. Sikap egois bukanlah jalan untuk mencapai sukacita.

Kelompok kedua adalah para pemungut cukai yang siap untuk dibaptis. Mereka juga bertanya tentang apa yang harus mereka perbuat supaya layak menanti kedatangan Mesias. Yohanes meminta mereka untuk berlaku jujur dan adil. Inilah perkataan Yohanes: “Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu.” (Luk 3:13). Kelompok ketiga adalah para tentara untuk dibaptis. Mereka bertanya tentang apa yang harus mereka perbuat. Yesus menjawab mereka: “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.” (Luk 3: 14).

Perkataan Yohanes ini memicu pikiran banyak orang yang menganggapnya sebagai Mesias. Ia jujur untuk berkata: “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api. Alat penampi sudah di tangan-Nya untuk membersihkan tempat pengirikan-Nya dan untuk mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung-Nya, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan.” (Luk 3:16-17). Yohanes tidak hanya berbicara, tetapi ia tetap aktif memberitakan Injil kepada orang yang datang. Kabar sukacita semakin tersebar ke mana-mana. Banyak orang bersukacita karena pewartaan Yohanes, dan sungguh mengubah hidup mereka.

Hidup Kristiani bermakna ketika setiap pengikut Tuhan Yesus Kristus merasakan sukacita ilahi dalam Injil. Sukacita ini memampukan kita untuk menjadu rasul-rasul kabar sukacita bagi sesama manusia. Masa adventus menjadi kesempatan untuk merajut sukacita dalam hidup kita. Bersukacitalah senantiasa!

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply