Emang Kamu Berdoa (EKB)

Emang Kamu berdoa?

Berawal dari pengalaman

Saya sepakat untuk mengakui bahwa kebiasaan untuk berdoa dengan baik itu dimulai di dalam sebuah keluarga. Anak-anak dapat bersahabat dengan Tuhan sejak usia dini kalau mereka mengalami pembentukan yang tepat di dalam keluarga. Misalnya, anak-anak itu tidak hanya mendengar ajakan orang tuanya untuk berdoa dan membaca Kitab Suci tetapi mereka melihat sendiri orang tuanya berdoa dan membaca Kitab Suci. Anak-anak tidak hanya disuruh orang tua untuk pergi mengikuti misa kudus di Gereja, tetapi mereka sendiri melihat orang tuanya pergi ke Gereja dan aktif dalam mengikuti perayaan misa kudus. Orang tua diharapkan menyukai kebiasaan baik dari anak dalam hal-hal rohani tertentu. Maka di sini ada relasi antar pribadi yang bagus, sebuah relasi rohani yang indah di dalam keluarga dengan Tuhan. Keluarga seperti ini akan tetap mengandalkan Tuhan di dalam kebersamaannya.

Saya pernah mendengar percakapan dua anak remaja di sebuah restoran. Mereka sangat serius dalam diskusinya, mungkin tugas sekolah yang harus dikerjakan bersama-sama. Setelah cukup lama berdiskusi, mereka coba untuk menyepakati waktu pertemuan berikutnya. Remaja pertama menentukan waktunya, tetapi remaja kedua menolak karena pada jam itu ada acara doa syukuran di rumahnya. Remaja pertama lantas bertanya kepadanya: “Emang kamu berdoa (ekb)?” Remaja kedua menjawabnya: “Ya iyalah, kami mempunyai kebiasaan berdoa bersama di rumah. Ayah dan ibu memperkenalkan Tuhan kepada kami. Mereka mengajar kami berdoa dan membaca Kitab Suci, juga memperkenalkan para romo dan suster kepada kami.” Remaja pertama berkata, “Ya, hanya ada sedikit perbedaannya dengan saya. Orang tua saya beda agama. Mereka sangat moderat maka saya diberi kebebasan untuk memilih keyakinan yang tepat. Saya memilih Katolik dan merasa bangga karena ada ruang dan waktu bagi saya untuk berdoa dan membaca Kitab Suci.” Mereka meninggalkan restoran dengan wajah penuh sukacita. Saya masih duduk sambil menikmati suguhan minuman dan wifi gratis, juga ikut belajar dari dua remaja dan dua keluarga yang berbeda. Keluarga adalah segala-galanya, termasuk belajar berdoa di dalam keluarga masing-masing.

Pengalaman hidup doa di dalam keluarga merupakan bekal yang sangat berharga bagi seorang anak sejak usia dini sebagaimana pengalaman kedua remaja di atas. Mungkin saja pengalaman doa mereka adalah sama dengan pengalaman anak-anak di dalam keluarga kita masing-masing. Orang tua mengajar anaknya berdoa kapan dan di mana saja dia berada. Saya mengingat seorang ibu yang mengajar anaknya supaya selalu singgah di gereja pada saat pergi dan pulang dari sekolahnya. Pada pagi hari anak itu diajarkan untuk masuk ke dalam Gereja dan berkata dalam hatinya: “Hai Tuhan Yesus, selamat pagi. Saya mau pergi ke sekolah. Lindungi saya ya.” Pada saat kembali dari sekolah ia masuk lagi ke dalam Gereja dan matanya tertuju ke Tabernakel sambil berkata dalam hati: “Hai Tuhan Yesus, saya mau pulang ke rumah. Saya lapar dan lelah. Lindungi perjalanan saya ya”. Setiap hari anak ini memiliki kebiasaan yang baik, pada waktu yang sama. Pak Koster yang sudah bekerja selama 40 tahun mencurigai anak itu. Ia mengira anak itu hendak mencuri uang kolekte di kotak kolekte dekat patung Bunda Maria. Pada suatu hari ia berhasil menangkap anak kecil itu dan bertanya kepada anak itu alasan mengapa ia selalu datang pada waktu yang sama, hanya melihat-lihat saja lalu keluar dari dalam gereja. Anak itu berkata: “Ibu saya mengajar saya untuk berdoa hening.” Koster lalu menanyakan isi doa heningnya. Anak itu menjawab: “Ibu saya mengajar saya supaya setiap hari saya menyalami Yesus, selamat pagi dan selamat siang dan memohon perlindungan-Nya” Kali ini sang koster belajar tentang makna sebuah doa yang sebenarnya.

Doa itu apa?

Sang Koster yang sudah empat puluh tahun dekat dengan Tuhan pasti kaget mendengar penjelasan anak usia dini ini. Ternyata berdoa bagi anak ini berarti menyalami Yesus pada pagi dan siang dan memohon perlindungan-Nya. Pak Koster memikirkan konsep doa yang terlalu ideal dan tinggi padahal sebelum kita membuka mulut, Tuhan sudah tahu apa yang hendak kita ungkapkan kepada-Nya. Mungkin bukan hanya pak Koster, banyak di antara kita juga belum mengerti makna doa yang sebenarnya.

Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengajar kita tentang makna doa. Doa berarti mengarahkan hati dan pikiran kepada Tuhan Allah. Maka ketika kita berdoa, kita masuk dalam hubungan yang hidup dengan Tuhan Allah (KGK, 2558-2565). Doa menjadi semacam pintu dalam berkomunikasi dengan Tuhan Allah. Ketika kita baru berniat untuk berdoa, sebenarnya kita sudah memulai doa kita. St. Theresia Lisieux (1873-1897) mengatakan: “Bagiku, doa adalah ayunan hati, suatu pandangan sederhana ke surga, seruan syukur dan cinta kasih, baik di tengah pencobaan maupun kegembiraan.” Doa bukan sesuatu yang muluk-muluk, sesuatu yang dibuat-buat seperti orang-orang munafik. Doa itu sesuatu yang sederhana dan bermakna. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:6).

Seorang Filsuf Katolik benama Søren Aabye Kierkegaard (1813-1855) pernah berkata: “Berdoa bukan berarti mendengar apa yang engkau ucapkan sendiri; berdoa berarti mengheningkan diri dan menunggu sampai engkau mendengar Tuhan Allah berbicara kepadamu.” Banyak kali kita berpikir bahwa doa terbaik itu berdasar pada banyaknya kata-kata, indahnya kata-kata bernuansa puisi nan indah. Kalau kata-katanya biasa-biasa saja maka doa itu tidak sempurna. Kita selalu keliru karena Tuhan tidak pernah berbicara tentang indahnya kata-kata doa kita. Hal terpenting adalah kita mengangkat, mengarahkan hati dan pikiran hanya kepada Tuhan saja. Tuhan Yesus berkata: “Dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan.” (Mat 6:7). Apakah kita pernah mengalami keheningan dan membiarkan Tuhan berbicara kepada kita? Pengalaman semacam ini hanya dapat kita miliki saat kita rajin membaca dan merenungkan Sabda Tuhan.

Kita perlu sadar diri bahwa doa adalah sebuah kebutuhan. Doa berkat, doa penyembahan, doa permohonan, doa syafaat, doa syukur dan doa pujian adalah kebutuhan yang kita sampaikan kepada Tuhan. Kita mengungkapkan semua ini sebagai tanda kerinduan kepada Allah yang hidup. Dia yang menciptakan kita untuk Diri-Nya. St. Agustinus berkata: “Hati kami gelisah sebelum beristirahat di dalam Engkau”. Sedangkan St. Theresia dari Kalkuta mengatakan: “Bagi saya doa, berarti menjadi satu dengan kehendak Yesus selama dua puluh empat jam dalam sehari, hidup untuk Dia, dan bersama Dia”. Doa lalu membantu kita untuk benar-benar bersatu dengan Tuhan. Tuhan Yesus sendiri mengajar kita untuk berdoa bersama-sama dengan-Nya.

Doa adalah kasih

Belajar dari pengalaman hidup di dalam keluarga masing-masing dan pemahaman kita tentang doa maka kita dibantu untuk mengerti lebih dalam lagi bahwa doa yang benar di hadirat Tuhan adalah kasih.

Para Bapa Gereja dan orang-orang kudus mengajar kita tentang tahapan-tahapan doa kita. Pada tahap yang paling dasar, kita semua masih berdoa ‘kepada’ Tuhan. Berdoa ‘kepada’ Tuhan rasanya Tuhan begitu jauh sehingga kalau berdoa saja masih ‘kepada’-Nya. Para murid Yesus pernah mengalaminya. Mereka melihat Yesus berdoa dan mereka juga merasa masih berdoa ‘kepada’ Tuhan yang mereka kenal. Kita harus berubah dan beralih dari level dasar ini ke level kedua dalam doa kita yakni berdoa ‘bersama’ Tuhan. Para murid melihat Yesus berdoa pada waktu dan tempat tertentu maka mereka berani untuk meminta-Nya untuk mengajar mereka berdoa seperti Yohanes Pembaptis (Luk 11:1). Tuhan Yesus mengajar mereka doa Bapa Kami dan mereka berdoa bersama-sama. Ia berkata: “Kalau kamu berdoa, katakanlah…” (Luk 11:2). Pada saat itu Yesus berdoa bersama para murid-Nya. Kita harus berusaha supaya masuk ke level ini berdoa ‘bersama’ Tuhan. Kita tidak berhenti pada level ini, kita harus maju lagi ke level yang lebih tinggi yakni berdoa adalah kasih. St. Yohanes mengatakan bahwa Allah adalah kasih (1Yoh 4:8.16). Maka ketika kita mengangkat hati dan pikiran kepada Tuhan, kita harus sampai kepada persekutuan yang mendalam dengan Tuhan yang adalah kasih.

Pengalaman doa adalah kasih ini merupakan tanda persekutuan yang mendalam dengan Tuhan. Pengalaman doa semacam ini benar-benar sebuah kekudusan yang radikal. Saya mengulangi apa yang dikatakan St. Theresia dari Kalkuta tentang doa adalah kasih: “Bagi saya doa, berarti menjadi satu dengan kehendak Yesus selama dua puluh empat jam dalam sehari, hidup untuk Dia, dan bersama Dia”. Pengalaman doa semacam ini yang harus menjadi target yang kita capai sepanjang hidup kita. Janganlah berhenti pada pengalaman berdoa ‘kepada’ Tuhan. Janganlah berhenti pada berdoa ‘bersama’ Tuhan. Kita harus maju terus sampai berdoa adalah kasih, sebuah persekutuan yang sangat mendalam, melebur menjadi satu dengan Tuhan. Doa semacam ini adalah kekudusan kita.

Akhirnya

Doa adalah kasih. Doa adalah kekudusan kita bersama Tuhan. Pada saatnya nanti kita menjadi seperti malaikat yang melayani Tuhan siang dan malam. Kita memulai pengalaman doa semacam ini sejak masih berada di dunia ini.

Saya mengakhiri tulisan ini dengan mengutip doa sederhana St. Theresia Lisiex: “Yesus, tentu Engkau senang mempunyai mainan. Biarlah saya menjadi mainanMu! Anggap saja saya ini bolaMu. Bila akan Kauangkat, betapa senang hatiku. Jika hendak Kausepak kian kemari, silakan. Dan jika hendak Kau tinggalkan dipojok kamar karena bosan, boleh saja. Saya akan menunggu dengan sabar dan setia. Tetapi kalau hendak Kautusuk bola-Mu, ah Yesus, tentu saki sekali. Namun, terjadilah kehendakMu.” Doa ini sangat sederhana bukan? Doa sederhana ini adalah kasih, kekudusan. Mulailah belajar untuk berdoa seperti orang kudus.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply