Homili Hari Minggu Biasa IIIC-2019

Hari Minggu Biasa III/C
Neh. 8:3-5a,6-7,9-11
Mzm. 19:8,9,10,15
1Kor. 12:12-30
Luk. 1:1-4;4:14-21

Merenung Kekuatan Sabda Tuhan

Saya mengawali homili pada hari Minggu Biasa ke-III/C ini dengan mengutip sebuah refleksi tentang ‘Hal membaca Kitab Suci’ di dalam buku ‘De Imitatione Christi’ karya Thomas A. Kempis. Ia menulis: “Manusia itu berlalu, tetapi kebenaran Tuhan tetap tinggal selama-lamanya. Dengan berbagai cara Tuhan bersabda kepada kita tanpa memandang keadaan diri kita. Keinginan kita untuk mengetahui segala-galanya sering kali merupakan rintangan pada waktu kita membaca Kitab Suci, karena kita sengaja mau mengetahui apa yang mestinya lebih baik kita lampaui begitu saja. Apabila kita ingin mengambil faedah dari apa yang kita baca, hendaklah kita membaca dengan rendah hati, bersahaja dan setia, dan janganlah menginginkan agar mendapatkan nama sebagai orang berilmu. Hendaklah suka bertanya dan dengarkanlah dengan takzim kata-kata orang suci. Janganlah kita menyepelekan ucapan-ucapan para bapa-penulis kita; karena mereka menucapkannya tanpa alasan.”

Mari kita mendalami perkataan Thomas A. Kempis ini. Nasihatnya untuk bersahabat dengan Kitab Suci masih tetap aktual bagi kita saat ini. Benar adanya bahwa manusia boleh berlalu tetapi kebenaran Sabda Tuhan tidak akan berlalu. Kebenaran Sabda Tuhan itu kekal. Tuhan bahkan tetap berbicara kepada kita sesuai dengan konteks hidup kita saat ini. Mungkin kita saja yang tidak memiliki kesempatan untuk mendengar Tuhan yang berbicara kepada kita. Maka sikap bathin yang perlu kita miliki untuk akrab dan bersahabat dengan Kitab Suci adalah kita membaca dengan rendah hati, bersahaja dan setia, dan janganlah menginginkan agar mendapatkan nama sebagai orang berilmu. Singkatnya, kita perlu membaca Kitab Suci dengan iman dan kerendahan hati.

Mari kita telusuri bacaan-bacaan Liturgi pada hari Minggu ini. Bacaan pertama diambil dari Kitab Nehemia. Perikop yang kita baca pada hari ini mengisahkan tentang bangsa Israel yang baru saja kembali ke Yerusalem dari Babilonia. Pada hari pertama bulan ketujuh Imam Ezra membawa Kitab Taurat ke depan Jemaat, pria dan wanita yang dapat mendengar dan mengerti Sabda Tuhan. Imam Ezra membacakan beberapa bagian dari Kitab Suci dari pagi sampai siang. Mereka semua mendengar dan mengerti apa yang imam Ezra bacakan di halaman depan Gerbang Air. Bahasa tubuh yang diungkapkan oleh jemaat adalah mata mereka terarah kepada Kitab Suci, mereka semua bangkit berdiri untuk menghormati Kitab Suci yang sedang dibuka oleh imam Ezra, mengatakan amin sambil mengangkat tangan ketika mendengar Ezra memuji Tuhan. Umat yang hadir juga sempat berlutut dan sujud menyembah kepada Tuhan dengan muka sampai ke tanah. Satu hal lain yang menarik adalah sepanjang setengah hari Ezra membaca bagian-bagian dari Kitab Suci dengan suara yang dapat didengar dengan jelas, sambil memberi komentar dan catatan-catatan yang dapat dimengerti oleh jemaat yang hadir.

Pengalaman rohani Ezra bersama bangsa Israel di Yerusalem dapat juga menjadi pengalaman kita dalam membaca dan merenungkan Kitab Suci. Para Pembaca Bacaan (Lector dan Lectris), pembawa Mazmur Tanggapan dan Bait Pengantar Injil bukan hanya membaca untuk dirinya sendiri. Ia harus menyiapkan bacaan dan nyanyian dengan baik sehingga apa yang dibacakannya sekaligus menjadi sebuah pewartaan bagi jemaat yang hadir. Para imam diharapkan membaca, merenungkan dan menjelaskan bacaan-bacaan Liturgi dengan singkat, pada, jelas dan berbobot. Dengan demikian umat yang hadir akan sadar dan percaya kepada Tuhan dengan berkata: “Sabda-Mu adalah kebenaran, hukum-Mu kebebasan”.

Pengalaman Ezra dan bangsa Israel yang barusan kembali ke Yerusalam dibaharui oleh Yesus di kampung halaman-Nya sendiri. Penginjil Lukas mengisahkan bahwa Tuhan Yesus penuh dengan Roh Kudus pergi ke Galilea. Di sana Ia mengajar dengan kuasa dan wibawa tidak seperti orang lain, Ia menyembuhkan segala penyakit dan kelemahan-kelemahan kita. Semua orang terpesona memandang-Nya. Selanjutnya, Ia kembali ke Nazaret tempat Ia dibesarkan. Pada hari Sabat, Ia masuk ke dalam rumah ibadat untuk berdoa. Petugas rumah ibadat memberi-Nya sebuah gulungan Kitab nabi Yesaya dan Ia membacanya dengan suara yang jelas: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Luk 4:18-19). Kutipan Kitab nabi Yesaya ini ternyata tepat mengungkapkan visi dan misi Yesus di dunia ini. Itulah sebabnya Ia berkata: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” (Luk 4:21). Semua mata tertuju kepada-Nya.

Yesus tidak berbicara tentang orang lain. Ia berbicara tentang diri-Nya sendiri. Dia adalah Sabda yang menjadi daging dan tinggal di antara kita. Kini sebagai Sabda yang menjadi daging dan tinggal di antara kita, Ia meyampaikan apa yang akan dilakukan-Nya di dunia ini. Dari nama-Nya kita mengerti bahwa Ia datang untuk menyelamatkan kita semua. Tugas-Nya untuk menyelamatkan dilakukan-Nya dengan menyampaikan Injil kepada orang-orang miskin, membebaskan para tawanan, penglihatan kepada orang buta, membebaskan orang-orang yang tertindas, memberitahukan tahun jubileum. Mata semua orang tertuju kepada-Nya sebab mereka percaya bahwa Dialah yang akan menyelamatkan mereka.

Bacaan pertama dan bacaan Injil membuka wawasan kita tentang kuasa sabda Tuhan. Sabda Tuhan yang didengar dengan baik akan membantu setiap pribadi untuk merasakan dan mengalami kerahiman Allah. Allah mengasihi manusia apa adanya maka ketika mendengar Sabda-Nya, manusia berlutut dan sujud menyembah, mata mereka juga tertuju kepada-Nya. Tentu saja pada kesempatan yang sama kita mendapat koreksi atas perbuatan-perbuatan kita yang tidak layak dan elok di hadapan Tuhan. Pada saat mendengar bacaan-bacaan Kitab Suci di Gereja, banyak umat yang tidak konsentrasi mendengarnya. Ada yang bermain HP pada saat bacaan-bacaan sedang dibacakan, pada saat homili sedang berlangsung. Bayangkan, Ezra membaca dan memberi penjelasan selama setengah hari tetapi umat Israel tetap khusuk. Tuhan Yesus berdiri dan membaca dengan jelas sehingga semua mata tertuju kepada-Nya. Bagaimana dengan kita? Kita justru lebih senang gadget di dalam Gereja, ngobrol dan mengeluh bahwa homili terlalu panjang dan tidak menarik.

Apa yang harus kita lakukan? St. Yakobus dalam suratnya menulis: “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yak 1:22). Sejalan dengan ini, St. Paulus dalam bacaan kedua memberikan sebuah gagasan yang sangat jelas. Setiap orang yang membaca dan mendengar Kitab Suci akan sadar diri untuk menjadi pelaku firman yang tepat sasaran. Mengapa? Karena orang yang mendengar sabda dan melakukannya akan menjadi bagian dari Tubuh Kristus, dan sekaligus menjadi anggota dari tubuh yang satu dan sama. Sebagai anggota Tubuh Kristus, kita perlu berusaha untuk sepadan dengan-Nya dalam segala hal. Kekuatannya adalah pada sabda Tuhan. Yesus adalah Sabda hidup bagi kita semua. Sabda-Nya memiliki kekuatan untuk mengubah hidup kita.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply