Homili Hari Minggu Biasa ke-IV/C – 2019

Hari Minggu Biasa IV
Yer. 1:4-5,17-19
Mzm. 71:1-2,3-4a,5-6ab,15ab,17
1Kor. 12:31-13:13
Luk. 4:21-30

Berani karena kasih

Kita memasuki Hari Minggu Biasa ke-IV tahun C. Tuhan menyapa dan mendorong kita untuk memiliki semangat, keberanian dalam bertindak karena kasih. Kita harus belajar untuk berani melawan arus supaya memperoleh keselamatan. Nah, pikirkanlah, kalau ikan di air itu hanya mengikuti arah arus maka ikan itu tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat dan tidak memperoleh makanan sehingga dapat mati dengan cepat. Kalau ikan itu berani melawan arus maka dengan sendirinya ia memiliki daya tahan tubuh yang kuat dan mudah memperoleh makanan sehingga dapat bertahan hidup. Pada Hari Minggu Biasa ke-IV/C ini, kita berjumpa dengan dua sosok inspirator bagi kita yakni nabi Yeremia dan Tuhan Yesus Kristus. Mereka menunjukkan kepada kita sikap berani melawan arus karena kasih supaya kita selamat.

Nabi Yeremia (Ibrani:יִרְמְיָה , Ibrani Modern:Yirməyāhū). Beliau dilahirkan pada sekitar tahun 645 di Anatot, tidak lama setelah pemerintahan raja Manasye berakhir. Ayahnya adalah imam Hilkia dari Anatot. Ia dipanggil sebagai nabi ketika masih muda dan belum pandai bicara (Yer 1:6). Kemungkinan ini terjadi pada tahun 627, tepatnya pada masa pemerintahan raja Yosia. Selanjutnya, ia melakukan tugasnya sebagai nabi selama pemerintahan lima raja Yehuda, yaitu pada masa raja Yosia, Yoahas, Yoyakim, Yoyakhin dan Zedekia.

Nabi Yeremia dikenang sepanjang masa karena keberaniannya untuk mencari, menemukan dan menunjukkan kebenaran. Pada masa pemerintahan raja Yosia misalnya, daerah Yehuda masih diselimuti oleh dosa. Ada banyak orang yang masih menyembah berhala, bertindak tidak adil dan jujur sebagai sesama manusia. Situasi-situasi negatif ini membuka jalan keberanian kepada Yeremia untuk bernubuat. Tuhan bersabda kepadanya: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.” (Yer 1:5). Menjadi nabi bukan faktor kebetulan tetapi semata-mata karena rencana Tuhan.

Maka apa yang dapat Yeremia lakukan saat itu? Pada prinsipnya ia mengingatkan orang-orang Yehuda tentang karya kasih Tuhan terhadap mereka sepanjang sejarah dan mengritik dengan keras tindakan mereka sebagai bentuk ketidaksetiaan mereka kepada Tuhan. Adalah benar-benar sangat miris sebab Tuhan begitu setia kepada umat-Nya namun umat-Nya sendiri tidak setia kepada-Nya. Suasana yang tidqak jauh berbeda dengan pengalaman pribadi kita dengan Tuhan. Tuhan selalu menyertai Yeremia dan memberanikannya untuk bernubuat, sama seperti ia sedang melawan arus. Tuhan berkata kepadanya: “Janganlah gentar terhadap mereka, supaya jangan Aku menggentarkan engkau di depan mereka!” (Yer 1:17). Sepanjang hidupnya, ia mengalami banyak penderitaan, namun Tuhan tetap menyertainya. Ia menderita namun tetap jaya di hadapan Tuhan yang selalu menyertainya. Ia berani karena kasih kepada Tuhan dan sesama.

Sikap dan keberanian Yeremia sejalan dengan sikap dan keberanian Tuhan Yesus dalam bacaan injil hari ini. Tuhan Yesus berani tampil di Nazaret untuk menyampaikan visi dan misi-Nya yakni: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab itu Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:18-19). Ia bahkan dengan tegas mengatakan “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya”. Semua mata tertuju kepada Yesus, namun tidak semuanya percaya kepada-Nya. Mereka hanya melihat Yesus dengan latar belakang keluarga-Nya yakni Anak Yusuf si tukang kayu dari Nazaret dan Maria adalah ibu-Nya.

Orang-orang Nazaret menolak Yesus sebab mereka hanya mengenal Yesus sebagai manusia bukan sebagai Anak Allah. Di tempat-tempat lain seperti di daerah sekitar pantai Danau Galilea hingga Tirus dan Sidon, orang-orang sangat takjub kepada Yesus karena kata-kata ilahi dan tanda-tanda yang dilakukan-Nya. Di negeri-Nya sendiri Ia malah ditolak hanya karena mereka mengenal keluarga dan masa lalu-Nya. Yesus tidak gentar untuk berkata-kata dengan nada yang tegas kepada mereka. Ia mengambil contoh pengalaman nabi Elias dan Elisa untuk membuka pikiran mereka tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam dunia Perjanjian Lama, namun sia-sia saja karena hati mereka keras. Lukas menulis begini: “Mendengar (perkataan Yesus itu) sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu.” (Luk 4:28-29). Sikap Yesus adalah ‘berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi’. (Luk 4:30).

Sosok Yeremia dan Yesus sangat meneguhkan kita supaya memiliki sikap tegas dalam hidup karena kasih. Yeremia bersikap tegas dan berani karena ia mau mengajarkan umat Allah supaya setia kepada Tuhan dan mengikuti kehendak-Nya. Kehendak Tuhan bagi manusia adaqlah kasih. Tuhan Yesus bersikap tegas kepada orang-orang di kampung halaman-Nya supaya mereka memahami kasih dan kesetiaan Tuhan yang sedang melawat mereka. Ia mewartakan Injil sebagai khabar sukacita dan keselamatan namun mereka tidak memahaminya. Pengalaman Yeremia dan Yesus adalah pengalaman kita dalam melayani Gereja masa kini. Kita boleh berniat untuk melayani tanpa pamrih tetapi selalu saja berjumpa dengan orang-orang yang tidak memihak pelayanan kita. Kita tidak harus putus asa, namun tetap berusaha untuk melayani dan melayani.

Apa yang harus kita lakukan?

St. Paulus membuka wawasan kita untuk sadar diri bahwa kita memiliki iman, harapan dan kasih. Ini adalah kebajikan-kebajikan teologal atau ilahi yang kita miliki. Paulus mengatakan bahwa yang paling besar di antaranya ialah kasih (1Kor 13: 13). Hidup kita bermakna kalau kita mampu mengasihi. Tanpa kasih hidup kita tidak bermakna. Paulus mengatakan: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan” (1Kor 13:4-8).

Nilai-nilai kasih menjadi nyata dalam tujuh karya belas kasih jasmani dan rohani. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa ada 14 karya belas kasih yang dibagi menjadi dua yaitu karya belas kasih jasmani dan rohani (KGK, 2447). Pertama, ada tujuh karya belas kasih jasmani yakni: Memberi makan kepada orang yang lapar, Memberi minuman kepada orang yang haus, Memberi perlindungan kepada orang kepada orang asing, Memberi pakaian kepada orang yang telanjang, Melawat orang sakit, Mengunjungi orang yang dipenjara dan Menguburkan orang mati. Kedua, Ada tujuh karya belas kasih rohani yakni Menasihati orang yang ragu-ragu, Mengajar orang yang belum tahu, Menegur pendosa, Menghibur orang yang menderita, Mengampuni orang yang menyakiti, Menerima dengan sabar orang yang menyusahkan dan Berdoa untuk orang yang hidup dan mati.

Pada hari ini marilah kita berani melayani Tuhan dan sesama karena kasih. Hidup kita sempurna karena kasih.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply