Homili 11 Februari 2018 – Hari Orang Sakit Sedunia

Hari Senin, Pekan Biasa ke-V
Santa Perawan Maria di Lourdes,
Hari Orang Sakit Sedunia
Kej. 1:1-19
Mzm. 104:1-2a,5-6,10,12,35c
Mrk. 6:53-56

Membangun Budaya Kemurahan Hati

Pada hari ini kita merayakan hari orang sakit sedunia ke-27, bertepatan dengan Peringatan Santa Perawan Maria di Lourdes, 11 Februari 2019. Bapa Paus Fransiskus telah menulis sebuah pesan yang bermakna kepada semua orang sakit dan seluruh Gereja Katolik, dengan mengutip pesan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya untuk mewartakan Injil yakni: “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mat 10:8). Kata-kata Yesus ini dipahami Sri Paus sebagai sebuah penegasan akan panggilan bagi Gereja untuk membangun sebuah budaya kemurahan hati. Paus Fransiskus juga mendesak kaum beriman untuk mempromosikan sebuah budaya baru yakni budaya kemurahan hati dan mencatat bahwa pemberian diri yang dermawan merupakan sebuah barometer kesehatan seorang Kristen.

Mengapa perlu sebuah budaya kemurahan hati di dalam Gereja? Bagi Paus Fransiskus, untuk merawat orang sakit itu bukanlah suatu hal yang mudah. Sebab itu untuk merawat orang-orang sakit, butuh pribadi-pribadi yang benar-benar mau memberi dirinya secara total, dengan murah hati dan cinta kasih yang langsung. Contoh nyatanya adalah St. Theresia dari Kalkuta. Sepanjang hidupnya, Ia membaktikan dirinya secara total kepada orang-orang miskin, khususnya kepada yang sakit di Kalkuta. Santu Damian dan Beato Artemide Zatti. Mereka adalah orang-orang kudus, sahabat orang-orang sakit yang dikenal di dalam Gereja Katolik. Hal lain dari kemurahan hati adalah bahwa setiap orang memang membutuhkan perawatan sepanjang hidupnya. Pikirkanlah masa perkembangan kita sebagai manusia. Sejak berada di dalam kandungan ibu, kita sudah membutuhkan ibu untuk merawat dan menjaga kita. Ketika lahir, bertumbuh dan berkembang, kita membutuhkan ibu dan ayah untuk merawat kita dengan penuh kemurahan hati mereka. Ini adalah sebuah kenyataan di dalam hidup kita. Maka Paus Fransiskus mengharapkan supaya kita perlu bersikap rendah hati dan mengakui bahwa kita membutuhkan orang lain untuk merawat hidup kita dan dengan sendirinya kita juga siap untuk merawat orang lain. Ini benar-benar menandakan kita sebagai pribadi yang murah hati. Kita mendoakan semua orang sakit, para tenaga dokter dan perawat supaya melayani dengan murah hati.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mempertegas sikap murah hati kepada sesama manusia. Dalam bacaan pertama, kita mendengar kisah penciptaan dunia  dan isinya selama empat hari pertama. Apa saja yang Tuhan ciptakan selama empat hari pertama ini? Pada hari pertama Tuhan menciptakan langit dan bumi  dan “Jadilah terang”. Hari kedua, Tuhan menciptakan cakrawala. Hari ketiga, Tuhan menciptakan daratan lalu dipisahkan dengan lautan; tumbuh-tumbuhan juga diciptakan. Hari keempat, Tuhan menciptakan matahari, bulan dan bintang. Ia menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Saya mengingat Santu Agustinus pernah mengatakan, “Dan dengan perkataan, “Tuhan melihat semuanya itu baik” (Kej 1:10), adalah cukup untuk diartikan bahwa Tuhan menciptakan apa yang diciptakan bukan atas keharusan, ataupun demi memenuhi suatu kebutuhan, tetapi murni dari kebaikan-Nya sendiri, yaitu, karena itu adalah baik.” (St. Augustine, The City of God, Bk 11, Ch.24). Tuhan Allah memang baik dan sungguh baik bagi kita semua.

Tuhan memiliki satu rencana yang jelas yakni kebaikan. Kebaikan itu terpancar dari diri-Nya sendiri. Ia mengutus Yesus, Putera-Nya ke dunia untuk mewartakan kasih dan kebaikan dengan menyembuhkan orang-orang sakit, mengusir setan-setan, mewartakan Sabda yang mengubah hidup semua orang. Dikisahkan bahwa ketika Yesus tiba di pantai danau Genazaret, orang-orang segera mengenal-Nya. Mereka mengusung orang-orang sakit dari seluruh daerah itu dan membawanya kepada Yesus. Di mana Yesus berada, di situ orang sakit, miskin dan papa berada. Ia memberkati mereka dan sembuhlah mereka. Ada yang hanya menyentuh ujung jubah-Nya saja dan mereka mengalami kesembuhan seketika.

Tuhan Yesus mengajar kita sebuah budaya yang perlu dan harus kita miliki yakni budaya kemurahan hati. Dia mengajarkan demikian karena Ia sendiri menunjukkan wajah Bapa Yang Murah Hati. Hidup kita semakin bermakna ketika kita bermurah hati kepada semua orang sama seperti Tuhan sendiri lebih dahulu murah hati kepada kita. Pilihan untuk murah hati ditunjukkan pertama-tama kepada orang miskin, papa, sakit dan yang tidak diperhatikan oleh orang lain. Dalam bacaan Injil kita mendengar bahwa Yesus bermurah hati, orang-orang juga bermurah hati dengan membawa saudari dan saudaranya yang sakit kepada Yesus, dan memohon supaya Yesus menyembuhkan mereka. Kita dipanggil untuk melakukan hal yang sama dengan kasih dan kemurahan bagi kaum papa dan miskin.

Apa yang harus kita lakukan? Kita dipanggil untuk senantiasa memuji Tuhan Pencipta. Kita boleh berkata: “Pujilah Tuhan, hai jiwaku! Tuhan, Allahku, Engkau sungguh besar!” (Mzm 104:1). Kita memuji Tuhan karena Ia murah hati. Apapun hidup kita, Ia tetap bermurah hati kepada kita. Ia tetap mencari dan menyelamatkan. Di mata Tuhan, “semuanya baik adanya”. Hanya di mata kita yang kadang-kadang hanya melihat ‘semuanya tidak baik adanya’. Mengapa demikian? Karena kita suka menjauhkan diri dari Tuhan sebagai sumber segala kebaikan.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengulangi perkataan Paus Fransiskus: “Allah sendiri, di dalam Yesus Kristus, telah merendahkan diri-Nya, membungkuk kepada kita semua dan terus melakukannya; dalam kemiskinan kita, Dia datang untuk membantu kita dan memberi kita hadiah di luar bayangan kita.” Mari kita mengikuti Yesus dari dekat, siap merendahkan diri dan bermurah hati kepada semua orang.

Bunda Maria dari Lourdes, doakanlah kami. Amen.

Intensi doa kita hari ini: mendoakan semua orang sakit sebagai tanda kemurahan hati kita.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply