Homili Hari Minggu Biasa ke-V/C – 2019

Hari Minggu Biasa VC
Yes. 6:1-2a,3-8
Mzm. 138:1-2a,2bc-3,4-5,7c-8
1Kor. 15:1-11
Luk. 5:1-11

Berani mewartakan Sabda

Ada seorang Romo yang aslinya adalah seorang pemalu sehingga sulit untuk mengungkapkan dirinya di dalam komunitas atau di dalam hidup bersama. Dia merasa lemah dalam hal public speaking. Ia mengaku mudah gugup, mudah lupa dan berbagai alasan lainnya. Namun demikian para pembinanya selalu mengatakan kepadanya, “Kamu pasti mampu, kamu bisa. Jangan takut!” Banyak kata-kata para pembinanya di seminari yang membuatnya semakin bersemangat untuk berubah. Ia berdiri di depan cermin sambil berbicara, seperti ia sedang memberi homili, ia merekam suaranya dan mendengarnya kembali, ia membuat video tertentu lalu melihatnya kembali. Dari sini dia belajar melihat kelemahan dan kekuatannya. Orang yang rendah hati itu dapat mengenal dirinya dan berubah menjadi lebih baik lagi.

Pada hari ini kita berjumpa dengan sosok-sosok inspiratif melalui bacaan-bacaan liturgi. Dalam bacaan pertama kita berjumpa dengan sosok nabi Yesaya. Ia membagi pengalamannya akan Allah bahwa setelah Uzia wafat ia melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi menjulang dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci. Para malaikat melayani-Nya siang dan malam sambil mengakui-Nya: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” (Yes 6:3). Yesaya sadar diri di hadapan Tuhan bahwa ia memiliki banyak dosa dan salah. Ia najis bibir di tengah bangsa yang najis bibir juga. Kesadaran diri sebagai orang berdosa di hadirat Tuhan mendatangkan belas kasih Tuhan yang luar biasa. Tuhan mengutus malaikat-Nya untuk menguduskan bibir nabi Yesaya. Saat itu juga seorang malaikat menyentuh bara api dimulutnya sambil menguduskannya. Tuhan mengampuni segala dosa dan salahnya. Pengalaman akan pengampunan Tuhan membantunya untuk mengambil keputusan supaya menjadi utusan Tuhan. Ia berkata: “Inilah aku, utuslah aku!”

Nabi Yesaya rendah hati karena banyak kelemahan manusia yang dialaminya. Mulutnya najis, dan perilaku lainnya yang sadar dan kasat mata bahwa ia memiliki banyak dosa. Tetapi kehebatan nabi Yesaya adalah rendah hati dan siap untuk mengalami Allah di dalam hidupnya. Tugas kenabian akan dilakukannya dengan penuh rasa tanggung jawab sebab pilihan dan pelayanannya diberikan Tuhan sendiri. Ia bahkan siap untuk memberi diri kepada Tuhan dan sesama manusia. Dari nabi Yesaya kita belajar bagaimana menerima panggilan Tuhan dan siap untuk membaktikan diri seperti nabi Yesaya sampai tuntas. Apakah kita siap untuk diutus olehTuhan?

Dalam bacaan kedua, kita mendengar Paulus membagikan pengalamannya tentang Kristus yang bangkit. Mula-mula, ia mengingatkan jemaat di Korintus untuk berpegang teguh pada Injil yang sudah dibagikannya kepada mereka. Orang-orang Korintus diharapkan untuk berpegang teguh pada Injil. Injil menyelamatkan mereka kalau mereka berpegang teguh pada ajarannya. Kerygma yang dikatakan Paulus adalah tentang paskah Yesus: “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci.” (1Kor 15:3-4). Setelah Yesus bangkit dengan mulia, Ia menampakkan diri-Nya. Mula-mula kepada Kefas dan kedua belas rasul Yesus, kepada lima ratus saudara, kepada Yakibus, kepada semua rasul. Paulus dengan rendah hati di hadapan Tuhan mengatakan: “Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya. Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah.” (1Kor 8-9). Mengapa Paulus berubah dari Saulus menjadi Paulus? Sebab kasih karunia Allah berlimpah baginya dan tetap menyertainya.

Paulus membagikan pengalaman luhurnya, bagaimana ia berjumpa dengan Tuhan Yesus Kristus. Sebuah perjumpaan yang benar-benar mengubah seluruh hidup Saulus menjadi Paulus. Perubahan yang berdasar pada kasih karunia yang melimpah dan diberikan gratis kepadanya. Paulus memang merasa diri memiliki masa lalu yang suram. Ia membunuh banyak orang yang mengikuti Yesus. Namun kasih karunia Allah telah mengubahnya secara total. Hidup lama sudah disalibkannya supaya menjadi nyata kasihnya kepada Kristus. Itulah sebabnya ia mengakui diri seperti anak yang lahir sebelum waktunya. Ia merasa paling hina dibandingkan dengan semua rasul, padahal memiliki tugas yang sama yakni mewartakan Injil. Paulus adalah kita yang sering dikuasai oleh dosa dan salah. Kita yang sulit sekali merasa bersalah padahal perbuatan dan kata-kata telah menjatuhkan kita dalam dosa. Akibatnya hati kita sering tertutup di hadapan Tuhan. Kerendahan hati Paulus menjadi kuat karena Tuhan juga turut mengasihinya.

Dalam bacaan Injil kita mendengar Tuhan Yesus berada di Pantai Danau Galilea atau Genazaret. Ia naik ke atas perahu milik Petrus, duduk dan mengajar banyak orang. Setelah mengajar, Yesus meminta Petrus untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam (Duc ini Altum). Di tempat yang dalam itu mereka akan menebarkan jala dan menangkap banyak ikan sesuai petunjuk Yesus. Petrus berbicara tentang pengalamannya sebagai nelayan kepada Yesus. Ia tidak menangkap apa-apa semalaman. Yesus tidak melihat pengalaman Petrus sebagai sebuah masalah. Ia tetap memberi komando kepada Petrus. Petrus berubah, meninggalkan pengalamannya dan berhasil menangkap ikan. Ada dua perahu yang penuh dengan ikan-ikan. Jala mereka hampir koyak. Mukjizat ini berhasil menguatkan hati Petrus dan menyadarkannya akan kelemahan manusiawinya. Ia merasa diri sebagai orang berdosa dan memohon supaya Tuhan Yesus menjauh darinya. Namun Tuhan tetap dan terus berkarya dengan mewartakan Injil dan menyerukan pertobatan.

Untuk mewartakan Injil butuh kerendahan hati. Sang pewarta perlu mengenal dirinya dengan baik, mengosongkan dirinya dan membiarkan Tuhan berkarya. Kerendahan hati juga sangatlah dibutuhkan oleh sang pewarta. Pewarta yang sombong dan angkuh tidak berguna. Pewarta yang mengenal dirinya sebagai orang berdosa. Yesaya, Paulus dan Petrus mengajar kita untuk rendah hati supaya benar-benar penjadi pewarta yang handal. Butuh keberanian untuk mewartakan Injil dengan sukacita. Butuh iman yang kuat untuk menjadi pewarta. Bertolak ke tempat yang lebih dalam untuk mewartakan Injil Yesus Kristus sehingga mendapatkan umat yang banyak dengan kualitas iman yang terbaik.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply