Homili 9 April 2019

Hari Selasa, Pekan Prapaskah ke-V
Bil. 21:4-9
Mzm. 102:2-3,16-18,19-21
Yoh. 8:21-30

In Cruce Salus

Adalah Thomas A. Kempis. Dalam bukunya ‘De Imitatione Christi’, beliau menulis: “In Cruce Salus” artinya ‘Pada Salib ada keselamatan’ (De Imitatione Christi, II,2,2). Perkataan singkat ini memang sangat inspiratif. Kita semua diajak untuk selalu memandang salib, tanda keselamatan kita. St. Fransiskus dari Asisi mengajarkan sebuah doa yang selalu kita daraskan saat Jalan Salib, “Kami menyembah Engkau, ya Kristus dan memuji-Mu, sebab dengan Salib Suci-Mu Engkau telah menebus dunia…” Pada Salib ada keselamatan karena kita melihat aliran-aliran kasih yang tiada habisnya dari Tuhan Yesus sendiri. Maka simbol kasih yang benar bukanlah hati yang akan hancur ketika kita meninggal dunia. Simbol kasih sejati adalah salib sebab Dia yang ada di atas kayu Salib itu tidak akan berhenti mengasihi kita semua. Santu Paulus tepat sekali mengatakan: “Sebab pemberitaan tentang Salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1Kor 1:18).

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengundang kita untuk memahami Salib sebagai tanda keselamatan. Tuhan Yesus dalam bacaan Injil memberikan warning kepada orang banyak bahwa Ia akan pergi dan mereka akan mencari-Nya. Mereka juga akan mati dalam dosanya kalau mereka tidak bertobat. Tempat di mana Yesus pergi, mereka juga tidak dapat menjangkau tempat itu. Orang banyak yang mendengar perkataan Yesus itu memahami-Nya secara manusiawi maka pikiran mereka adalah Yesus akan membunuh diri. Padahal yang Yesus maksudkan adalah Ia pergi ‘ke atas’ karena Ia berasal dari atas, dalam hal ini Surga sedangkan manusia berasal ‘dari bawah’ yakni bumi di mana manusia berpijak.

Tuhan Yesus mengingatkan banyak orang bahwa mereka harus bertobat. Kalau mereka tidak bertobat maka mereka akan mati dalam dosa. Mereka juga diingatkan untuk percaya kepada Yesus supaya mengalami keselamatan. Kita percaya kepada Yesus sebagai Anak Allah. Dia adalah satu-satunya penyelamat kita tidak ada yang lain. Dia adalah satu-satunya pengantara kita kepada Bapa surgawi. Dialah Alfa dan Omega, yang awal dan akhir. Keselamatan hanya dalam nama Yesus Kristus. Dia akan datang untuk mengadili orang yang hidup dan mati. Ini adalah kepercayaan kita yang kita akui dengan bangga di dalam Gereja. Namun orang-orang zaman dahulu tidak mengenal Yesus, padahal Ia melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa, dalam tanda dan sabda.

Tuhan Yesus juga menjelaskan relasi diri-Nya sebagai Anak dengan Bapa di Surga. Allah Bapa mengutus Yesus sebagai Anak untuk menyelamatkan dunia. Dia mendengar segala perkataan Bapa dan menunjukkan segala perkataan itu kepada manusia namun manusia tidak percaya kepada-Nya. Tentu saja barangsiapa tidak percaya kepada Yesus sebagai Anak Allah maka tidak akan memperoleh keselamatan, sebab keselamatan hanya ada dalam nama Yesus Kristus. Yesus dengan tegas mengatakan: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia, dan bahwa Aku tidak berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri, tetapi Aku berbicara tentang hal-hal, sebagaimana diajarkan Bapa kepada-Ku. Dan Ia, yang telah mengutus Aku, Ia menyertai Aku. Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya.” (Yoh 8:28-29). Meninggikan Yesus berarti menyalibkankan-Nya. Kita mengingat pengakuan serdadu Romawi yang menikam Yesus, dan mengakui-Nya: “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah” (Mrk 15:39). Banyak orang percaya kepada Yesus karena Ia mewahyukan diri sebagai Anak Allah. Orang yang memandang Yesus tersalib akan memperoleh keselamatan.

Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah dalam dunia perjanjian lama tentang pengalaman umat Israel di sekitar Gunung Hor, laut Teberau dan tanah Edom. Mereka bersungut-sungut melawan Allah dan Musa. Mereka bersungut-sungut soal makanan dan minuman yang mereka santap setiap hari. Tidak ada rasa syukur dalam hati mereka. Inilah perkataan mereka kepada Musa: “Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak.” (Bil 21:5). Tuhan menyuruh ular-ular tedung untuk memagut mereka sehingga banyak orang tewas. Ini adalah cara Tuhan menyadarkan mereka. Ini juga menjadi saat yang tepat untuk membuat mereka bertobat dan memohon pengampunan Tuhan melalui Musa.

Bangsa Israel mengungkapkan rasa menyesal karena berdosa seperti ini: “Kami telah berdosa, sebab kami berkata-kata melawan Tuhan dan engkau; berdoalah kepada Tuhan, supaya dijauhkan-Nya ular-ular ini dari pada kami.” (Bil 21:7). Musa mendengar kelu kesah mereka sehingga Ia berdoa dan memohon belas kasih Tuhan kepada mereka. Tuhan mendengar doa-doa Musa dan berkata: “Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup.” (Bil 21:8). Musa melakukan semua perkataan Tuhan daan berhasil menyelamatkan banyak orang yang kembali percaya kepada Tuhan.

Tuhan selalu memiliki cara yang jitu untuk menyelamatkan manusia. Ia mengetahui bahwa manusia berdosa, melawan dan tidak percaya kepada-Nya. Ia tidak membinasakan mereka selama-lamanya, namun Ia mengutus utusan-Nya seperti Musa yang berdoa supaya ada keselamatan bagi bangsa Israel, dan Yesus sebagai Musa baru yang menyerahkan diri untuk keselamatan umat manusia. Ini adalah kasih sejati dari Tuhan. Salib adalah keselamatan kita semua. Salib adalah kasih sejati Tuhan bagi kita.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply