Homili Hari Minggu Biasa ke-XXIII/C – 2019

Hari Minggu Biasa XXIII/CC
Keb. 9:13-18
Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17
Flm. 9b-10,12-17
Luk. 14:25-33

Mewujudkan Pribadi Berhikmat

Seorang guru Sekolah Dasar membagikan pengalamannya. Ia pernah bertanya kepada para siswa di kelasnya tentang cita-cita mereka di masa depan. Ada siswa yang mengatakan keinginannya untuk menjadi petani, pedagang, guru, dokter, tentara, pilot dan presiden. Hanya ada seorang siswa yang duduk, diam dan tenang. Guru itu kembali bertanya secara khusus kepada siswa itu dan ia menjawab: “Saya ingin menjadi seorang pribadi yang berhikmat”. Sejenak, guru ini kaget dengan jawaban yang begitu tenang dari siswa ini, namun dengan cepat ia menyadari makna sebuah hikmat dalam diri manusia. Selanjutnya, ia menjelaskan kepada para siswanya bahwa entah menjadi petani, pedagang, guru, dokter, tentara, pilot dan presiden, pertama-tama ia haruslah menjadi pribadi yang berhikmat. Hikmat berarti kebijakan atau kearifan manusia sebagai pribadi dan merupakan rahmat dari Tuhan sang Pencipta. Tuhan telah menciptakan manusia seturut citra-Nya maka Ia pun memberikan hikmat kepada manusia sesuai kehendak-Nya sendiri.

Ada sebuah pertanyaan yang membantu refleksi kita yakni apa persepsi umum tentang seorang manusia yang berhikmat? Dalam pengalaman hidup setiap hari, kita selalu mendengar kriteria-kriteria tertentu tentang pribadi yang hidup berhikmat. Ada orang yang beranggapan bahwa pribadi yang berhikmat itu memiliki pendidikan yang tinggi. Anggapan semacam ini tidak selamanya benar karena ternyata banyak orang boleh berpendidikan tinggi namun masih memiliki perilaku yang tidak sepadan dengan pendidikannya. Misalnya, tingkat kematangan berpikir dan menganalisis suatu persoalan masih kekanak-kanakan. Anggapan lain dalam masyarakat bahwa orang berhikmat adalah mereka yang memiliki banyak pengalaman hidup. Anggapan ini tidak selamanya benar, sebab mereka yang sudah lama berkarya masih memiliki perilaku dan tutur kata yang tidak sepadan dengan pengalaman kerja mereka. Misalnya orang itu selalu bersungut-sungut, padahal sudah lama bekerja di tempat itu. Anggapan yang sama berlaku bagi orang yang sudah memasuki usia senja. Ada saja pikiran bahwa pengalaman masa muda dan di dalam dunia kerja menjadikan kaum tua menjadi bijaksana, ternyata bukan demikian. Banyak orang berusia tua menunjukkan dirinya sebagai orang yang tidak berhikmat. Misalnya orang tua yang suka mengeritik dan membandingkan masa lalunya dengan masa kini.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini membuka wawasan kita untuk bertumbuh sebagai pribadi yang berhikmat. Bacaan pertama dari Kitab Kebijaksanaan membantu kita untuk bertumbuh sebagai pribadi yang berhikmat, dewasa serta mampu menyelamatkan sesama manusia, berdasar pada hikmat dari Tuhan sendiri. Ada sebuah pertanyaan awal yang menarik perhatian kita: “Manusia manakah dapat mengenal rencana Allah, atau siapakah dapat memikirkan apa yang dikehendaki Tuhan?” (Keb 9:13). Manusia tidak mampu menyelami rencana dan kehenak Tuhan. Hanya Tuhan sendiri saja yang mampu membuka pikiran manusia untuk memahami-Nya, meski Dia tetaplah sebuah Misteri. Manusia hanya memiliki pikiran manusiawi yang fana, hina dan pertimbangannya yang tidak tetap. Mengapa manusia berlaku demikian? Jawaban pastinya adalah manusia memiliki jiwa yang masih dibebani oleh badan yang fana dan kemah dari tanah memberatkan budi yang banyak berpikir.

Perlu kita ketahui juga bahwa hikmat yang dimiliki manusia berasal dari Tuhan. Sebab itu manusia diharapkan untuk tetap memohonkannya dari Tuhan. Manusia membuka dirinya kepada Tuhan dan membiarkan Tuhan membentuknya menjadi pribadi yang berhikmat. Tuhan menganugerahkan hikmat-Nya melalui Roh Kudus-Nya. Roh Tuhan mengajarkan manusia untuk berkenan kepada Tuhan. Hikmat dalam hal ini Tuhan sendirilah yang menyelamatkan manusia. Semua ekspresi ini sangat indah dari Kitab Kebijaksanaan.

Tuhan menunjukkan hikmat-Nya dengan memberikan pengampunan dan penebusan berlimpah kepada manusia. Seorang pribadi yang berhikmat tentu akan membuka pikirannya untuk menerima dan mengampuni setiap pribadi manusia yang telah bersalah sebagaimana Tuhan sendiri sudah melakukannya di dalam diri manusia berhikmat. Kisah Onesimus sangat indah untuk kita renungkan bersama sebagai pribadi yang berhikmat. Onesimus (artinya berguna) adalah budak Filemon yang tinggal di Kolose. Ia melarikan diri dari rumah Filemon, tuannya namun berhasil ditangkap dan dipenjarakan, satu sel dengan Paulus. Onesimus kemudian meminta perlindungan kepada Paulus. Paulus lalu mengirimkan surat kepada Filemon agar menerima kembali dan memperlakukan Onesimus dengan baik. Memang saat itu ada peraturan bahwa orang yang menyembunyikan para budak akan mendapat hukuman dari kekaisaran Romawi. Paulus menunjukkan hikmatnya dengan mengembalikan Onesimus kepada Filemon, bukan lagi sebagai hamba melainkan sebagai saudara. Ia menyatukan sebuah relasi antar pribadi yang telah patah anatara Onesimus dan Filemon.

Banyak kali kita mengalami masalah dan persoalan hidup. Tugas kita yang mulia adalah menunjukkan kelembutan hati untuk menyatukan hubungan yang telah patah, menghindari kekerasan verbal dan fisik. Ada pribadi-pribadi tertentu yang mengambil jalan pintas dengan melakukan kekerasan dan tidak menghasilkan apa-apa. Relasi antar pribadi menjadi dangkal dan mudah hancur. Orang tidak saling menerima sebagai saudara. Itulah hidup kita yang nyata di hadapan Tuhan. Banyak Onesimus yang menderita karena Filemon-Filemon zaman now. Sosok Paulus kita butuhkan sebagai pribadi berhikmat untuk mendamaikan dan menyatukan.

Dalam bacaan Injil Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk menjadi pribadi berhikmat dalam mengikuti-Nya dari dekat. Bagaimana menjadi pribadi yang berhikmat di hadirat Yesus? Ia meminta kita untuk berani melepaskan segala hal milik kita. Berani memiliki sikap lepas bebas yang membuka jalan untuk bersatu dengan Tuhan. Yesus berkata: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk 14:26-27). Mungkin kita kaget dengan perkataan Tuhan Yesus yakni ‘membenci’. Kata ini bukanlah bernuansa negatif dalam paham semitis. Tuhan Yesus hendak menegaskan tentang sikap manusia yang berpegang teguh hanya kepada Tuhan, selalu berharap kepada penyelenggaraan ilahi dari Tuhan bukan berharap kepada manusia. Tuhan haruslah menjadi prioritas utama baru manusia.

Pribadi yang berhikmat akan berusaha untuk membuat perencanaan yang matang tentang hidupnya. Dicontohkan dengan orang yang hendak membangun Menara harus memiliki perencanaan yang bagus sehingga bisa membanggunya sampai tuntas. Raja yang hendak berperang juga perlu menyiapkan perencanaan pasukannya untuk melawan musuh. Nah di sini hikmat manusia ditunjukkan dengan membentuk sebuah perencanaan yang matang dan berusaha untuk melepaskan diri dari kepemilikannya sehingga ia hanya berfokus kepada Tuhan.

Apakah anda seorang berhikmat? Orang berhikmat akan mengandalkan kasih karunia dan penyelenggaraan ilahi dari Tuhan dalam hidupnya. Orang berhikmat akan memperhatikan nilai-nilai luhur hidup manusia dan menerimanya apa adanya bukan ada apanya. Orang berhikmat akan berusaha melepaskan diri dari kepemilikannya supaya lebih leluasa menerima Tuhan sebagai segalanya dalam hidupnya. Yesus berkata: “Di mana hartamu berada, hatimu juga berada di sana” (Mat 6:21). Sikap lepas bebas adalah sebuah jalan berhikmat untuk berbahagia bersama Tuhan dan sesama kita.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply