Homili 4 Oktober 2019

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXVI
Peringatan Wajib St. Fransiskus dr Assisi
Bar. 1:15-22
Mzm. 79:1-2,3-5,8-9
Luk. 10:13-16

Tuhan, ajarilah kami bertobat!

Pada hari ini kita mengenang dan merayakan St. Fransiskus dari Asisi. Bagi saya, beliau adalah sosok yang melakukan revolusi mental di dalam Gereja Katolik pada masanya. Ketika itu Gereja mulai lupa diri dan menikmati gaya hidup borjuisme, melekat pada harta duniawi maka Tuhan mengirim beliau sebagai orang yang tepat untuk membaharuinya. Fransiskus adalah orang kaya yang rela menjadi miskin supaya membaharui wajah Gereja sepanjang zaman. Ketika kebencian, penghinaan, dan perselisihan seakan menjadi prioritas utama dalam hati dan pikiran manusia maka Tuhan mengirim beliau sebagai sosok yang tepat untuk mengubah wajah Gereja. Gereja lalu bergerak untuk membangun wajah damai, cinta kasih, mengampuni dan membangun kerukunan dengan siapa saja. Semuanya disapa fratello atau saudara. Terima kasih St. Fransiskus Asisi, sudah menjadi inspirator sepanjang zaman.

Saya mengingat perjuangan pribadi St. Fransiskus untuk membangun sebuah pertobatan yang terus menerus. Kalau kita membaca kembali wasiat-wasiatnya, kita menemukan sebuah transformasi yang radikal dalam dirinya. Dalam wasiatnya yang pertama, Fransiskus mengatakan “ketika aku dalam dosa” dan “ketika Tuhan menganugerahkan kepadaku untuk mulai melakukan pertobatan”. Lihatalah bahwa perkataannya “Ketika aku dalam dosa”, Fransiskus mempertegas masa lalunya di mana hidupnya adalah segala-galanya. Ia masih mencari popularitas, mengejar kemasyhuran dan kekayaan serta tidak segan-segan membunuh demi mengejar kemuliaan serta keagungan pribadi. Proses transformasi terjadi ketika ia mengatakan “Ketika Tuhan menganugerahkan kepadaku untuk mulai melakukan pertobatan” merupakan sebuah karunia dari Tuhan. Ia menyadari kebebasan dan pembebasan dari berhala-berhala yang memusatkan dirinya pada dirinya sendiri. Fransiskus sadar diri bahwa bukan dirinya yang menjadi pusat segalanya melainkan Tuhan Allah sendiri. Hidup pribadi Fransiskus dalam pertobatan diawali dengan memeluk seorang kusta (2 Cel 9), dan disempurnakannya dengan pelukan saudara Maut (bdk. 1 Cel 110-111).

Kisah pertobatan Santu Fransiskus dari Asisi ini menginspirasikan kita untuk memahami dan melakukan Sabda yang kita dengar dan baca pada hari Jumat pertama ini. Dalam bacaan pertama dari Kitab Baruk, kita mendengar pengakuan diri orang-orang Israel di hadapan Tuhan sumber keadilan. Bangsa Israel yang barusan kembali dari Babilonia mengakui dirinya sebagai orang berdosa di hadirat Tuhan. Tuhan bernubuat melalui Baruk kepada bangsa Israel: “Keadilan ada pada Tuhan, Allah kita, sedangkan malu muka pada kami, sebagaimana halnya hari ini, yaitu: pada orang-orang Yehuda dan penduduk Yerusalem, pada sekalian raja kami, para pemimpin, para imam dan nabi serta pada nenek moyang kami.” (Bar 1:15-16). Mengapa orang Israel harus berani mengatakan rasa malunya di hadapan Tuhan? Inilah alasannya: “Memang kami telah berdosa kepada Tuhan. Kami tidak taat kepada-Nya dan tidak mendengarkan suara Tuhan, Allah kami, untuk mengikuti segala ketetapan Tuhan yang telah ditaruh-Nya di hadapan kami.” (Bar 1: 17-18). Di sini, kita menemukan sebuah nilai yang sangat luhur yaitu kesadaran diri sebagai orang berdosa sebab ada kebiasaan tidak taat dan tidak mau mendengarkan suara Tuhan dan juga menyembah berhala (Bar 1: 22).

Saya sangat terkesan dengan suasana hidup bangsa Israel yang barusan kembali dari pergumulan hidup mereka di Babilonia. Sesungguhnya pengalaman adalah guru yang baik, guru yang transformatif dalam hidup mereka. Proses pertobatan itu mereka alami sendiri ketika mereka masih sadar diri sebagai orang berdosa. Titik terang keberdosaan mereka adalah tidak taat, tidak mau mendengar suara Tuhan dan menyembah berhala. Pengalaman bangsa Israel haruslah menjadi terang bagi kita yang membaca dan mendengar sabda pada hari ini. Banyak orang sudah tidak menyadari diri sebagai orang berdosa. Mereka berpikir bahwa soal dosa itu biasa-biasa saja. Padahal mereka benar-benar berdosa karena tidak taat, tidak mendengar suara Tuhan dan menyembah berhala. Dunia kita akan ikut mengalami transformasi dan revolusi mental kalau orang sadar bahwa mereka berdosa dan mau bertobat.

Tuhan Yesus lebih jelas lagi dalam bacaan Injil mengingatkan orang-orang zamannya untuk bertobat. Tuhan Yesus mengecam para penghuni kota Khorazim, Betzaida dan Kapernaum. Kita tahu bahwa kota-kota ini sering dikunjungi Yesus. Mereka menyaksikan karya-karya besar yang Tuhan Yesus lakukan dan mendengar suara Yesus sendiri. Tetapi ternyata mereka tidak lebih baik dari Tirus dan Sidon, dua daerah di luar komunitas Yahudi yang lebih terbuka untuk menerima Yesus dan mendengar sabda-Nya. Maka Yesus dengan tegas mengecam mereka dengan berkata: “Celakalah”. Sikap batin yang dimiliki orang-orang zaman itu adalah tidak mendengar dan menolak kehadiran Yesus. Ini berarti mereka juga menolak kehadiran Allah di tengah-tengah mereka.

Hidup kita saat ini tidak lebih dari orang-orang Khorazim, Betsaida dan Kapernaum. Hati kita keras dan tidak mampu mencintai Tuhan dan sesama kita. Telinga kita memang dua tetapi tidak dapat mendengar suara Tuhan yang berbicara dan menyapa kita dengan penuh kasih. Maka tepatlah kata Tuhan Yesus bagi kita: “Celakalah!” Kata-kata yang membuat kita mawas diri dan berusaha untuk berubah secara radikal, bertobat dan kembali ke jalan Tuhan.

Kita tetap membutuhkan doa-doa santu Fransiskus dari Asisi untuk menopang dan membaharui hidup kita. Pengalaman pertobatannya membantu kita untuk memulai lagi, menata sekali lagi hidup kita yang dikuasai oleh kejahatan dan dosa. Kita tidak mencari dan menikmati “celaka” tetapi berkat yang terus menerus mengalir dari Tuhan. St. Fransiskus dari Asisi, doakanlah kami supaya bertobat dan menjadi saudara bagi semua orang.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply