Homili Hari Selasa sesudah Penampakan Tuhan – 2020

Hari Selasa setelah Penampakan Tuhan
1Yoh. 4:7-10
Mzm. 72:2,3-4ab,7-8
Mrk. 6:34-44

Sebab Allah adalah kasih

Saya pernah melihat sebuah ikon Hati Kudus Yesus di rumah sebuah keluarga. Ikon itu terbuat dari pecahan-pecahan keramik. Pecahan-pecahan keramik yang berwarna-warni itu dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah ikon Hati Kudus Yesus yang sangat bagus. Pada bagian bawah dari ikon itu terdapat tulisan begini: “Sebab Allah adalah kasih”. Apa yang masuk di dalam pikiran saya setelah melihat ikon itu? Saya mengagumi kreativitas sang pembuat ikon yang tidak mau membuang-buang pecahan keramik di rumah baru itu tetapi merangkainya menjadi sebuah ikon yang bagus. Mungkin ia hanya menikmati karya seninya sebatas apa yang ia pikirkan saja. Saya justru melihat bagaimana ia berusaha mengumpulkan sisa-sisa pecahan keramik, merangkainya menjadi satu kesatuan yang membentuk ikon Hati Kudus Yesus dan membuat tulisan ‘Sebab Allah adalah kasih’. Dalam pikiran saya, kiranya hidup kita juga serupa dengan pecahan keramik yang terbuang karena masa lalu kita yang penuh kegelapan dan dosa. Meskipun demikian, kita semua telah dikumpulkan kembali sebagai saudara dalam kasih oleh Tuhan sebab Dia adalah kasih yang sesungguhnya. Betapa indah dan luhurnya kasih Tuhan Allah bagi kita orang berdosa sebab Dia adalah kasih.

Pada hari ini kita mendengar pengajaran dari St. Yohanes bagi komunitasnya. Ia mengatakan: “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.” (1Yoh 4:7-8). Ajakan Yohanes ini sangatlah luhur bagi komunitasnya. Ia menyapa mereka sebagai saudara dalam kasih dan mengajak mereka semua untuk saling mengasihi. Ia meyakinkan semua anggota komunitasnya bahwa mereka semua hidup dan berasal dari Allah yang adalah kasih. Sebab itu logikanya adalah Allah adalah kasih sehingga semua orang yang berasal dari Allah saling mengasihi satu sama lain.

Selanjutnya, Yohanes menerangkan bahwa kasih Allah menjadi nyata di dalam diri Yesus Kristus Putera-Nya. Allah Bapa yang adalah kasih, mengutus kasih-Nya ke dalam dunia yaitu Yesus Kristus supaya dunia hidup dalam kasih Allah. Pada akhirnya Yohanes berkata: “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (1Yoh 4:10). Sebuah kekeliruan yang selalu kita alami di hadirat Tuhan adalah bahwa kita berpikir dan merasa telah mengasihi-Nya. Sebenarnya, ini hanya pikiran manusiawi yang memuaskan kita sesaat bahwa kita mengasihi Allah. Bagi Yohanes, bukan kita yang mengasihi Allah melainkan Allah sendiri yang mengasihi kita sebab Dia adalah kasih. Kasih menjadi nyata dalam Yesus sebagai damai kita. Dia yang mendamaikan kita dengan Allah Bapa di surga dalam Roh.

Mari kita belajar untuk mengoreksi diri di hadirat Tuhan. Kita berpikir bahwa kita telah mengasihi Allah padahal Allah adalah kasih sehingga Dialah yang pertama mengasihi kita. Dialah asal muasal kasih itu dan Ia memberikan kesempatan kepada kita untuk mengerti bahwa Ia memang mengasihi kita. Pengalaman rohani seperti ini hendaknya menjadi sebuah kultur dalam hidup kita. Kalau Allah membiarkan kita menyadari kasih-Nya maka kita pun harusnya demikian. Di dalam hidup berkeluarga, masing-masing orang harus merasakan kasih. Orang mudah berkata: “I Love You” tetapi kalau kasih itu hanya diucapkan dan tidak dialami maka percuma saja. Tidak ada arti dan pengaruhnya di dalam hidup kita. Saya mengingat santu Don Bosco yang pernah berkata: “Kaum muda tidak hanya boleh mendengar bahwa mereka dikasihi, mereka harus sadar bahwa diri mereka memang dikasihi apa adanya.” Kasih bukanlah tatanan kata-kata melainkan sebuah pengalaman hidup.

Apa wujud nyata sebuah pengalaman kasih Allah di dalam hidup kita?

Penginjil Markus mengisahkan sebuah mukjizat yang dilakukan Yesus di tengah para murid-Nya. Ia berkeliling dan berbuat baik kepada banyak orang. Ia sungguh-sungguh menghadirkan kerahiman Allah bagi banyak orang saat itu. Kerahiman Allah Bapa diekspresikan seperti ini: “Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala.” (Mrk 6:34). Maka wujud kasih Allah ditunjukkan dalam sikap Yesus yang berbelas kasih kepada orang-orang yang datang mencari-Nya. Ia tunjukkan secara nyata dalam menyapa dan mengajar mereka.

Wujud kasih Allah juga menjadi nyata ketika Yesus mengajar para murid untuk berbagi dengan orang lain. Para murid memang berpikiran sangat manusiawi bahwa hanya sedikit yang mereka miliki sehingga sangatlah sulit untuk berbagi. Yesus meyakinkan mereka dengan berkata: “Kamu harus memberi mereka makan”. Mukjizat pun terjadi. Dengan hanya memiliki lima roti dan dua ikan, Yesus mengajar para murid untuk memiliki hati penuh syukur dan berbagi kepada sesama manusia. Kunci mukjizat ini terletak pada kemampuan dan kesediaan untuk berbagi dengan sukacita. Hasilnya adalah semua orang merasa puas bahkan kepuasan mereka berlimpah rua. Kasih Allah melipatgandakan kepuasaan hidup kita, asal kita berani berbagi dengan sesama yang sangat membutuhkan.

Allah adalah kasih maka tidak ada yang mustahil bagi hidup kita. Asal kita terbuka pada kasih Allah maka kita juga akan mampu menunjukkan wajah Allah yang penuh kasih kepada sesama. Kita mungkin seperti pecahan keramik yang sebenarnya dibuang, tidak berguna tetapi Allah mengasihi kita apa adanya sehingga kita pun dapat menunjukkan kasih Allah kepada sesama. Allah adalah kasih. Allah adalah sumber kasih. Mari kita mengasihi dengan kasih Allah sendiri.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply