Homili Hari Rabu Setelah Penampakan Tuhan – 2020

Hari Rabu Setelah Penampakan Tuhan
1Yoh. 4:11-18
Mzm. 72:1-2,10-11,12-13
Mrk. 6:45-52

Jangan berhati degil!

Saya pernah mendengar perkataan seorang ayah kepada anaknya yang sudah berusia remaja. Mungkin anak itu ‘susah diatur’ karena keras kepala dan tidak memiliki disiplin hidup di rumah. Sebab itu ayahnya dengan emosi mengatakan: “Selagi ayah dan ibumu masih ada engkau boleh seenaknya hidup begini. Coba pikirkanlah bahwa pada suatu saat ayah dan ibumu sudah tidak ada bersamamu. Apakah hatimu masih degil juga?” Saya merasa bahwa sang ayah adalah salah satu di antara kita yang mengalami kesulitan dalam mendidik anak-anak masa kini. Satu keluhan serta kesulitan yang muncul adalah anak-anak susah diatur, tidak patuh, sulit mencintai orang tua dan lain sebagainya. Banyak di antara kita pasti sudah mengalaminya di dalam hidup dan juga keluarga masing-masing. Banyak anak-anak berhati degil. Apa maksudnya berhati degil? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata degil berarti tidak mau menuruti nasihat orang, keras kepala dan kepala batu.

Kita mendapatkan kata degil dalam bacaan Injil. Dikisahkan oleh Penginjil Markus bahwa setelah Yesus menggandakan roti dan ikan dan memberi makan lima ribu orang lebih, Yesus naik sendirian ke atas bukit untuk bersyukur kepada Bapa dalam doa. Para murid mendahuluinya ke seberang danau yakni ke Betzaida dengan sebuah perahu. Pada malam itu perahu yang mereka tumpangi mengalami angin sakal. Para murid Yesus mengalami kesulitan untuk menyeberangi danau itu, meskipun jaraknya sebenarnya sangat dekat. Yesus mengetahui kesulitan yang sedang mereja alami. Pada jam tiga dini hari Yesus berjalan di atas air dan mencoba melewati perahu mereka. Pada saat yang sama mereka memiliki satu tambahan ketakutan selain angin sakal yakni mereka mengira Yesus adalah hantu sehingga mereka berteriak ketakutan.

Tuhan Yesus menunjukkan diri-Nya dengan berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (Mrk 6:50). Yesus naik ke dalam perahu dan perahu menjadi tenang. Angin berhenti, para murid heran, tercengang dan bingung dengan pengalaman ini. Meskipun sudah ada dua mukjizat besar yaitu penggandaan roti dan Yesus meredahkan angin sakal namun para murid belum juga mengerti, dan hati mereka tetap degil. Para murid yang setiap hari hidup bersama Yesus memiliki hati yang tetap degil. Tuhan Yesus sendirilah yang akan melembutkan hati mereka supaya menjadi hati yang mampu mengasihi.

Kisah para murid Yesus yang berhati degil adalah gambaran hidup kita semua sebagai manusia yang sedang hidup di hadirat Tuhan. Kita semua sudah mendapatkan anugerah-anugerah dari Tuhan namun hati kita tetaplah degil. Kita masih sulit bersyukur kepada Tuhan atas semua anugerah-Nya. Kita masih sulit mengasihi karena kasih Tuhan berlalu begitu saja di dalam hidup kita. Sama seperti para murid yang setiap hari tinggal bersama Yesus dan mereka lupa bahwa mereka sedang tinggal bersama Yesus. Kita juga ketika merasa dekat dengan Tuhan Yesus, akan cepat lupa sehingga hati kita degil. Kita juga berhati degil dalam hidup berkeluarga dan berkomunitas. Anak-anak sangat sulit untuk mendengar dan mentaati orang tuanya. Para suami dan istri tidak saling mendengar satu sama lain. Akibatnya adalah relasi di dalam keluarga hambar, tidak ada cinta yang cukup untuk menyatukan setiap pribadi di dalam keluarga.

Orang yang berhati degil juga dipengaruhi oleh kebiasaan menggunakan gadget. Orang-orang yang sudah kecanduan gadget atau kita kenal dengan phone snubbing (Phubbing) selalu kesulitan untuk mendengar dan mentaati satu sama lain. Orang yang tidak saling mendengar memiliki hati degil sehingga selalu mengalami kesulitan untuk membangun relasi dengan sesama manusia. Mari kita meneliti bathin kita masing-masing, apakah kita memang berhati degil?

Apa yang harus kita lakukan untuk mengikisi hati degil ini?

Penulis surat Yohanes memberikan kiat bagi kita untuk melumpuhkan hati yang degil. Kiat yang dimaksud adalah kasih. Kasih menghancurkan kedegilan hati. Yohanes mengatakan bahwa Allah begitu mengasihi manusia maka kita sebagai manusia harus mampu mengasihi. Kasih itu berasal dari Allah. Manusia sendiri diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Maka konsekuensi logisnya adalah manusia harus mampu mengasihi Tuhan dan sesamanya. Kemampuan untuk mengasihi sesama manusia merupakan tanda bahwa Allah berada di dalam diri kita meskipun Ia tidak kelihatan. Yohanes mengingatkan kita supaya kita sadar diri ada di dalam Allah dan Allah sendiri di dalam diri kita. Yohanes dengan tegas mengatakan: “Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1Yoh 4:16). Allah adalah kasih maka Ia akan membantu untuk mengubah hati kita supaya mampu mengasihi.

Yohanes juga menegaskan: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” (1Yoh 4: 18). Orang berhati degil diliputi banyak ketakutan di dalam hidupnya. Orang yang berubah secara radikal tidak akan mengalami kesulitan dalam mengasihi. Kasih itu universal karena berasal dari Allah sendiri. Lagi pula Allah adalah kasih (1Yoh 4:16). Maka apa untungnya kita berhati degil? Lebih baik kita memiliki hati yang mampu mengasihi. Janganlah berdegil hati tetapi milikilah hati yang mampu mengasihi Tuhan dan sesama.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply