Homili 8 Februari 2020

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-IV
1Raj. 3:4-13
Mzm. 119:9,10,11,12,13,14
Mrk. 6:30-34

Gembala berhati bijak

Ada sebuah krisis besar di dalam Gereja Katolik. Krisis itu namanya krisis melayani dengan tulus hati. Bapa Suci, Paus Fransiskus sangat peka dengan hal ini sehingga beliau memperingatkan para imam di seluruh penjuru dunia untuk menjadi gembala berhati bijak. Seorang gembala yang berhati bijak adalah gembala yang berbau domba. Bapa Suci Fransiskus merasa prihatin karena ada begitu besar ketidakpuasan umat terhadap para imam sebab para imam tidak bersemangat sebagai gembala yang baik, gembala yang berhati bijak, mereka malah banyak memperhatikan dirinya sendiri dan juga memperhatikan golongan tertentu saja di dalam Gereja. Akibatnya adalah para imam kehilangan umat terbaik mereka di dalam Gereja. Ini menjadi alasan mengapa Bapa Suci meminta para imam untuk menjadi gembala yang mengenal “bau” dari para dombanya. Para imam sebagai gembala harus berani untuk kotor dan bau karena berjumpa dengan umatnya. Gembala yang berbau domba berarti gembala yang berani mencium bau, bahkan menjadi bau karena mengalami kesusahan, kepedihan dan penderitaan umatnya.

Sebenarnya krisis melayani tulus juga menimpa umat di dalam Gereja. Umat belum sepenuhnya peka dalam hidup menggereja. Ada yang tidak pernah aktif di KBG, lingkungan dan wilayah. Mereka hanya menunggu untuk dilayani ketika ada kematian atau saat membutuhkan pelayanan sakramen tertentu. Ada umat yang mencari keuntungan di dalam gereja, menjadikan gereja sebagai dapur atau tempat berbisnis. Pokoknya tidak ada pelayanan tanpa uang dan menghasilkan uang. Coba kita perhatikan krisis terselubung di dalam kelompok-kelompok kategorial dan territorial. Ketika bertemu dengan kata ‘uang’ maka semua orang menjadi sungkan untuk berbicara karena ada korupsinya, kredit macet akibat pinjam meminjam atau pinjaman dengan bunga yang tinggi. Itulah wajah suram Gereja kita saat ini. Maka Bapa Suci memiliki semangat untuk membaharui semangat pelayanan di dalam Gereja. Kalau mau melayani harus melayani dengan tulus seperti Yesus sendiri melayani untuk mencari untung atau memperkaya diri di dalam Gereja.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini sangatlah bermakna untuk kita renungkan bersama. Penginjil Markus melaporkan bahwa para murid Yesus baru kembali dengan sukacita setelah mereka diutus pergi berdua-dua untuk mewartakan Injil. Mereka ada bersama Yesus dan membagikan pengalaman pewartaan mereka. Tuhan Yesus mengetahui kebutuhan mereka maka Ia mengajak mereka untuk refreshing sejenak. Ia berkata kepada mereka: “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!” Sebab memang begitu banyaknya orang yang datang dan yang pergi, sehingga makanpun mereka tidak sempat. Maka berangkatlah mereka untuk mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi.” (Mrk 6:31-32). Ini adalah quality time Yesus bersama para murid-Nya. Ia mengapresiasi pelayanan dan kesaksian mereka sebagai pewarta Injil. Banyak setan dan roh jahat yang takluk. Banyak orang sakit disembuhkan dan Injil sebagai khabar sukacita diterima banyak orang. Bahkan mereka tidak mengingat diri sehingga ‘makan pun mereka tidak sempat’. Dengan quality time ini mereka akan lebih bersemangat lagi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Yesus.

Mereka memang memiliki rencana untuk refreshing bersama, merasakan quality time sebagai komunitas. Namun kenyataannya berbeda. Banyak orang melihat dan mengikuti mereka karena mereka tahu kemana Yesus dan para murid-Nya pergi. Mereka malah mendahului Yesus dan para murid-Nya. Mereka adalah orang-orang sakit, mereka yang kerasukan roh jahat dan setan-setan dan sangat menbutuhkan Yesus. Maka Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai gembala yang baik: Hati-Nya tergerak oleh belas kasihan dan Dia siap untuk mengajar dan menyembuhkan mereka. Yesus hadir sebagai gembala yang mengajar, meneguhkan dan menguatkan. Ia berani melupakan rencana-rencana indah-Nya bersama para murid dan menguatamakan pelayanan kepada orang banyak yang datang kepada-Nya.

Bacaan Injil hari ini memang mengatakan tentang realitas Gereja. Apa yang menjadi keprihatinan Bapa Suci Fransiskus sedang terjadi saat ini. Banyak gembala yang sulit untuk memiliki hati yang berbelas kasih. Di pastoran sudah ada tulisan: “Jadwal untuk bertamu” dari jam sekian sampai sekian. Kalau melanggar maka sang gembala akan ‘berteriak’ tanpa belas kasih. Ada gembala yang lebih mengutamakan hobi dari umatnya: memelihara kebun, taman, burung, anjing, kelinci, tikus putih dan lain sebagainya. Boleh-boleh saja memiliki hobi seperti ini tetapi ketika umat membutuhkan untuk pelayanan maka sangat perlu ‘hati yang tergerak oleh belas kasih’. Para gembala yang berhati bijak itu turut menghadirkan wajah Tuhan Yesus yang berbelas kasih kepada banyak orang. Tentu hal yang sama juga terjadi bagi orang-orang di sekitar para gembala. Kadang-kadang kordinator KBG, lingkungan, wilayah, paroki, kategorial dan sekretaris paroki lebih ‘galak’ dari gembalanya. Mereka merasa lebih dari gembala sehingga umat yang datang tidak dilayani dengan baik. Koordinator atau pengurus rasa gembala melebihi Gembala yang baik. Ini memang keliru dan fatal!

Apa yang harus kita lakukan?

Kita butuh gembala berhati bijak. Bacaan pertama menghadirkan sosok Salomo. Ia mengganti posisi Daud ayahnya untuk menjadi raja. Ia menjadi raja dan gembala maka salah satu tugasnya adalah mempersembahkan kurban kepada Tuhan Allah. Tuhan Allah meminta Salomo untuk meminta apa saja yang ia harapkan. Salomo mendengar dan mensyukuri kasih setia Tuhan yang pernah dialami keluarganya melalui Daud ayahnya. Sebab itu Salomo meminta kepada Tuhan untuk memberi: ‘Hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat.” (1Raj 3:9). Tuhan mendengar permohonan Salomo maka Ia berkata kepadanya: “Aku memberikan kepadamu hati yang penuh hikmat dan pengertian, sehingga sebelum engkau tidak ada seorangpun seperti engkau, dan sesudah engkau takkan bangkit seorangpun seperti engkau.” (1Raj 3:12). Salomo dalam perikop ini tidak meminta yang muluk-muluk. Ia meminta supaya Tuhan membantunya memiliki hati yang bijaksana untuk memimpin. Tuhan mendengar dan memberinya sebagai anugerah istimewa. Ia menjadi raja dan gembala berhati bijak.

Pada hari ini kita belajar untuk menjadi gembala berhati bijak. Seorang gembala yang peka dalam melayani bukan untuk dirinya tetapi semuanya untuk kemuliaan nama Tuhan. Seorang gembala yang selalu memiliki hati yang tergerak oleh belas kasih Tuhan. Untuk kita renungkan: “Domba-domba-Ku mendengar suara-Ku, Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku.” (Yoh 10:27). Jadilah pribadi berhati gembala. Jadilah gembala berhati bijak.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply