Homili 28 Februari 2020

Hari Jumat sesudah Rabu Abu
Yes. 58:1-9a
Mzm. 51:3-4,5-6a,18-19
Mat. 9:14-15

Memaknai masa puasa kita

Kita barusan memulai masa Retreat Agung selama 40 hari sejak Hari Rabu Abu yang lalu. Ada tiga hal penting yang Tuhan Yesus harapkan dari kita supaya mengejawantahkannya di dalam hidup kita setiap hari selama masa Retreat Agung ini yakni melakukan perbuatan amal kasih, meningkatkan kualitas doa dan berpuasa. Selama masa pra paskah ini kita berusaha untuk melakukan karya dan pelayanan amal kasih. Hal ini kita lakukan dengan sadar tanpa memamerkannya kepada siapapun apa yang sudah sedang kita lakukan.Mengapa demikian? Sebab Tuhan sudah lebih dahulu melakukannya bagi kita. Ia menciptakan segala sesuatu dan menyerahkan ke dalam tangan sebagai administrator segala ciptaan untuk kebaikan semua orang. Selama masa prapaskah diharapkan supaya hidup doa kita menjadi semakin baik. Kalau tadinya kita hanya sekedar berdoa karena sebuah rutinitas maka sekarang doa haruslah menjadi sebuah kebutuhan. Artinya kita berdoa lebih baik lagi. Selama masa prapaskah kita juga melakukan puasa dan pantang. Ini adalah sebuah cara kita mengekang hidup kita dari hawa nafsu, makanan dan minuman juga semua kebutuhan yang sangat mengikat hati kita sehingga tidak mampu berbagi dengan sesama dan berdoa kepada Tuhan.

Pada hari ini pikiran kita kembali menjadi dibuka karena perkataan Tuhan melalui nabi Yesaya tentang puasa yang benar. Mula-mula Tuhan mengingatkan Yesaya supaya menunjukkan kuasa Tuhan dalam tugas kenabiannya, dengan berani mengatakan kesalahan dan dosa umat Allah. Jadi Yesaya harus berani menunjukkan dirinya sebagai nabi dengan membuka mulut dan mengatakan apa adanya tentang umat Allah bukan menutupi borok-borok mereka. Kalau mereka berdosa maka dia harus mengatakan bahwa mereka adalah orang berdosa. Tuhan mengingatkan Yesaya bahwa umat-Nya memiliki potensi untuk selalu mencari-Nya. Mereka tidak segan-segan bertanya: “Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?” (Yes 58:3). Bangsa Israel memahami puasa secara harafiah dalam kaitannya dengan usaha mengontrol diri terhadap makanan dan minuman. Pada masa kini orang memahami puasa dalam arti yuridis yakni makan kenyang hanya sekali sehari. Selain puasa ada pantang. Pantang dalam arti yuridis adalah setiap pribadi memilih pantang daging, atau ikan atau garam, atau jajan atau rokok. Bila dikehendaki masih bisa menambah sendiri puasa dan pantang secara pribadi, tanpa dibebani dengan dosa bila melanggarnya. Berpuasa adalah wajib bagi orang katolik berusia 18-60 tahun, sedangkan berpantang mengikat orang katolik berusia 14 tahun ke atas. Ini adalah hal yang legal dan sudah lumrah, hanya masih sulit untuk dilakukan di dalam hidup kita.

Tuhan Allah mengajar umat-Nya untuk memahami makna yang lebih luas dari berpuasa. Ternyata puasa yang sudah sedang dijalankan oleh umat Israel tidaklah sesuai dengan kehendak Tuhan Allah. Mereka masih mengurusi urusan pribadi dan melupakan sesamanya, mereka mendesak-desak kaum buruh untuk bekerja bahkan sampai melewati batas waktu kerjanya, mereka berbantah-bantah, berkelahi, saling memukul dengan tinju secara tidak semena-mena. Dan Tuhan mengatakan bahwa cara puasa seperti ini tidak layak bagi-Nya. Suara mereka pun tidak akan didengar oleh Tuhan. Berpuasa itu bukan melakukan apa yang kita sukai sebagai manusia tetapi melakukan apa yang Tuhan kehendaki supaya kita melakukannya dalam hidup kita.

Tuhan Allah dengan tegas menjelaskan makna puasa yang konkret dan nyata bagi umat-Nya yakni: “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:6-7). Makna puasa yang Tuhan kehendaki ini juga menjadi visi dan misi dari Tuhan Yesus sendiri (Luk 4:19). Maka puasa yang sebenarnya adalah kasih dan sukacita yang kita miliki dan kita bagikan kepada sesama. Hanya dengan demikian kita akan memancarkan terang dan luka kita akan pulih dengan segera. Kebenaran akan berada di depan dan kemuliaan Tuhan barisan belakang kita. Tuhan akan menjawabi doa dan seruan kita bahkan Ia mewahyukan diri-Nya secara nyata di dalam hidup kita.

Nubuat Tuhan dalam Kitab nabi Yesaya menjadi nyata di dalam hidup kita. Tuhan Yesus sendiri menjelaskan secara baru makna puasa kepada para murid dan orang banyak yang mengikuti-Nya dari dekat. Dikisahkan dalam Injil Matius bahwa para murid Yohanes Pembaptis bertanya kepada Yesus bahwa mereka dan kaum Farisi berpuasa sedangkan para murid-Nya tidak berpuasa. Yesus bertanya kepada mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” (Mat 9:15). Berpuasa bagi Yesus adalah supaya kita sebagai para sahabat mempelai selalu bersukacita di dalam hidup, dan berduka cita manakala sang Mempelai memulai penderitaan-Nya.

Apa yang harus kita lakukan?

Tuhan mengharapkan kita untuk berubah dan siap untuk melayani seperti Ia sendiri telah melayani kita. Gereja di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) membuka wawasan umat beriman untuk mewujudkan puasanya dengan benar, dengan membangun keadilan sosial. Semboyan yang kita usung bersama adalah: “Amalkan Pancasila: Kita Adil, Bangsa Sejahtera”. Dalam tahun keadilan ini, umat beriman diharapakan menjadi saksi Kristus. Satu hal sebagai wujud nyata puasa kita adalah gerakan celengan untuk kaum miskin, mereka yang lapar, haus, tak memiliki pakaian dan tuna wisma. Semua ini juga menjadi pekerjaan belas kasih Allah di dalam hidup kita. Celengan merupakan tanda pertobatan kita. Kita berbagi dengan orang-orang yang sangat membutuhkan, dan ini juga menjadi tanda keadilan yang kita perjuangkan bagi semua orang.

Kita juga membawa sukacita bagi semua orang, khususnya bagi saudari-saudara di banyak tempat yang sedang menjadi korban banjir dan bencana alam lainnya. Semua ‘celengan’ dan aneka donasi lain merupakan ungkapan kasih kita dari Tuhan kepada mereka semua. Mari kita belajar untuk berbagi. Bagi saya ini merupakan wujud nyata puasa kita, bukan hanya sekedar soal makan dan minum tetapi keberpihakan kepada sesama manusia dan usaha kita untuk mengoyakan hati dan melakukan pertobatan pribadi. Selamat menjalankan jalan salib pertama di masa prapaskah ini.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply