Homili 29 Februari 2020

Hari Sabtu sesudah Rabu Abu
Yes. 58:9b-14
Mzm. 86:1-2,3-4,5-6
Luk. 5:27-32

Belas kasih Allah begitu kaya

Saya selalu mengingat sharing dari sebuah keluarga dalam rekoleksi bersama. Keluarga ini sangat bersyukur kepada Tuhan karena merasakan belas kasih dan kebaikan-Nya. Keluarga ini konon memiliki masa lalu yang gelap dan orang-orang lain beranggapan bahwa tidak ada lagi masa depan bagi mereka. Ada anggapan bahwa anak-anak di dalam keluarga ini tidak akan memiliki masa depan yang cerah, pokoknya tak ada kebahagiaan di dalam keluarga itu selamanya. Namun anggapan orang-orang lain sangat berbeda dengan pengalaman nyata yang mereka alami. Sebagaimana St. Paulus katakan bahwa di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah (Rm 5:20) demikian keluarga ini mendapat berkat dan rahmat berlimpah dari Tuhan. Ketika keluarga ini sadar diri, menerima diri apa adanya dan bertekad untuk menjadi baru maka Tuhan memberi rahmat dan berkat yang berlimpah. Kini mereka selalu bersyukur kepada Tuhan dengan mengatakan bahwa Tuhan sungguh baik dan belas kasih-Nya begitu kaya bagi mereka.

Pengalaman sebuah keluarga ini merupakan pengalaman semua keluarga kita. Keluarga-keluarga itu umumnya tidak sempurna dan hanya Tuhan saja yang dapat menyempurnakan dan menguduskannya. Tidak ada sebuah keluarga yang dapat mengklaim diri sebagai keluarga kudus selain keluarga kudus dari Nazaret. Keluarga-keluarga kita hanya berusaha untuk menyerupainya meskipun tingkat keserupaan itu tidak mencapai seratus persen. Mengapa demikian? Karena kita semua adalah kumpulan orang-orang berdosa. Kita butuh Tuhan untuk menyelamatkan. Hanya Tuhan yang menganugerahkan penebusan berlimpah kepada orang-orang yang benar-benar membuka dirinya bagi keselamatan yang datang dari pada-Nya.

Kita mendengar kisah Yesus dari Injil Lukas hari ini. Ia melihat seorang pemungut cukai bernama Lewi yang nantinya disapa Matius sedang duduk di rumah cukai. Ia bekerja di lahan yang basah sehingga mereka selalu menjadi musuh sesama anak bangsanya. Alasannya adalah mereka mudah memperkaya diri sendiri dan mereka juga mendukung para penjajah Romawi karena bekerja bagi orang-orang Romawi. Mereka menjadi sasaran kebencian karena dianggap sebagai pengkhianat yang levelnya sama dengan kaum pendosa. Orang-orang seperti ini menjadi sahabat-sahabat Yesus.

Tuhan Yesus mengenal Lewi dengan masa lalunya ini dan Ia tahu bahwa Lewi membutuhkan-Nya. Tuhan Yesus lalu memanggil Lewi dengan namanya sendiri dan mengajak dia untuk mengikuti-Nya dari dekat. Sikap Lewi terhadap panggilan Yesus, “Ikutlah Aku” adalah ia berdiri, meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Yesus. Lewi bahkan bersyukur kepada Tuhan atas perubahan radikal di dalam hidupnya ini sehingga mengadakan perjamuan syukur bagi Yesus di rumahnya. Ia juga mengundang rekan-rekannya untuk makan bersama Yesus.

Reaksi atas perubahan radikal Lewi atau pertobatannya datang dari kaum Farisi. Mereka tidak bersyukur karena perubahan radikal dari kehidupan Lewi ini. Mereka masih melihat Lewi sebagai manusia lama bukan manusia baru. Sikap kaum Farisi ini dikritik oleh Yesus begini: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.” (Luk 5:31-32). Di sini Yesus menunjukkan diri sebagai gembala baik dan menghadirkan wajah kerahiman Allah Bapa kepada orang-orang berdosa seperti Lewi dan kita semua saat ini.

Banyak kali kita belum mampu menunjukkan wajah Allah yang berbelas kasih kepada sesama. Kita masih menghitung-hitung kesalahan orang lain dan lupa diri bahwa kita juga orang berdosa. Sebenarnya kita tidak memiliki hak untuk menilai orang lain dan hidup pribadinya karena kita juga orang yang tidak sempurna. Titik kelemahan kita adalah lupa bahwa kita orang berdosa dan menganggap orang lain sebagai pendosa. Kita butuh sikap positif seperti Lewi. Orang boleh menilainya sebagai pendosa tetapi ia berani mengangkat kepalanya, berdiri tegak dan meninggalkan segala sesuatu, yakni pekerjaan dan masa lalunya untuk mengikuti Yesus dari dekat. Ia membutuhkan Yesus sebagai satu-satunya Penyelamat. Ia membutuhkan Yesus untuk menganugerahkan hidup baru baginya.

Apa yang dapat kita lakukan supaya layak di hadirat Tuhan?

Nabi Yesaya dalam bacaan pertama mengingatkan kita untuk hidup selaras dengan kehendak Tuhan. Misalnya tidak lagi mengenakan kuk kepada sesama manusia, tidak menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah. Sebaliknya kita harus menyerahkan kepada orang lapar apa yang kita inginkan sendiri dan memuaskan hati kaum tertindas sehingga terang hidup kita akan terbit dalam kegelapan dan kegelapan kita seperti rembang tengah hari. Sikap positif ini membuka jalan keselamatan bagi kita semua. Dan Tuhan sendiri berjanji untuk menuntun dan memuaskan hati kita serta membaharui kekuatan kita. Tuhan akan menjadikan kita seperti taman yang diairi dengan mata air yang tidak akan mengecewakan kita. Memang orang-orang yang bertobat dan hidupnya selaras dengan kehendak Tuhan akan memperoleh penebusan berlimpah dari Tuhan. Tuhan Allah tidak berkenan akan kematian orang fasik, melainkan akan pertobatannya supaya hidup (Yeh 33:11). Mari kita bertobat dan mengalami belas kasih Tuhan yang berlimpah ruah.

Doa syukur kita pada hari ini adalah: “Ya Tuhan, Engkau sungguh baik dan suka mengampuni; kasih setia-Mu berlimpah bagi semua orang yang berseru kepada-Mu. Pasanglah telinga kepada doaku, ya Tuhan, dan perhatikanlah permohonanku.” (Mzm 86: 5-6). Amen.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply