Jangan takut menjadi kudus

Jadilah orang kudus zaman ini!

Adalah Amy Welborn. Ia pernah menulis sebuah buku berjudul: “Be Saints: An Invitation from Pope Benedict XVI”. Buku ini berisi undangan Paus Emeritus Benediktus ke-VI, kepada anak-anak kecil dan remaja untuk bertumbuh dalam kekudusan, mulai dari dalam keluarga masing-masing. Beliau mengatakan bahwa apabila kita bertumbuh dalam sebuah persahabatan yang akrab dengan Tuhan Allah maka kita akan menemukan kebahagiaan sejati dan menjadi kudus. Paus sebelumnya yakni Paus Yohanes Paulus II selalu mengingatkan orang-orang muda supaya jangan takut untuk menjadi orang muda yang kudus sebab kekudusan itu bagi semua orang. Paus Fransiskus saat ini menyampaikan pesan yang sama kepada kaum muda dan anak-anak remaja bahkan seluruh Gereja Katolik untuk menjadi kudus. Beliau mengungkapkan di dalam Seruan Apostoliknya yang ketiga yakni Gaudete et Exultate (Bersukacita dan Bergembiralah). Kita semua dipanggil menjadi orang kudus zaman ini.

Kekudusan berasal dari Tuhan Allah

Pertama-tama kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan sederhana, “Apa itu kekudusan?” Kekudusan merupakan sebuah tingkat kesempurnaan dalam kasih, dalam hal ini kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Pemahaman umum tentang kekudusan ini kita temukan dalam Konsili Vatikan II, khususnya dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium bahwa semua orang Kristen, dari status atau jajaran apa saja dipanggil kepada kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Ini berarti semua orang dipanggil kepada kekudusan sebagaimana dikatakan Yesus sendiri: ‘Karena itu haruslah kamu sempurna, seperti Bapa-Mu yang di surga adalah sempurna’ (Mat 5:48).”(LG, 40).

Ketika kita mengatakan tentang kekudusan atau kesucian, maka pikiran kita langsung tertuju kepada kodrat ilahi Tuhan Allah. Kekudusan merupakan karakter Tuhan Allah yang adalah kasih, dalam artian bahwa kasih Tuhan Allah itu pasti sempurna adanya. Kekudusan dan kasih tidak dapat dipisahkan satu sama lain sebab keduanya merujuk pada kodrat Allah sendiri yakni Dia adalah Kudus adanya (Im 11:44; 19:2, Luk 1:49, 1Ptr 1:15) dan Kasih sempurna (1Yoh 4:10,16).

Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengajarkan bahwa setiap pribadi dipanggil untuk menjadi kudus. Tuhan Yesus lebih dahulu mengatakan bahwa kita hendaknya menjadi kudus sebagaimana Bapa di surga kudus adanya. Panggilan kepada kekudusan memiliki dasar yang kokoh di dalam Kitab Suci sebab sebagai manusia kita diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah (Kej 1:26). Sejak semula Allah sudah merencanakan kekudusan kita. St. Paulus pernah berkata: “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” (Ef 1:4). Karena kita diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah maka kekudusan adalah tanda persatuan kasih antara kita dengan Tuhan Allah dan sesama manusia. St. Paulus juga mengajak kita supaya kita hidup “sebagaimana layak bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3); dengan demikian “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang Kudus yang tercinta, kita dapat mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran” (Kol 3:12); dan supaya menghasilkan buah-buah Roh yang membawa kepada kesucian (Gal 5:22; Rom 6:22).

Usaha untuk bersekutu dengan Yesus Kristus memungkinkan kita untuk masuk ke dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal Yang Mahakudus. Kekudusan berarti sebuah persekutuan kasih dengan Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Allah Tritunggal Mahakudus telah menanamkan kemampuan pada kita untuk mengasihi dan hidup di dalam persekutuan dan persaudaraan. Dengan mengasihi dapat membuat hidup kita bermakna dan bahagia, sebab sejak semula Allah menciptakan kita agar kita beroleh kebahagiaan. Kekudusan juga merupakan kehendak Allah bagi kita semua tanpa memandang siapa diri kita di hadirat-Nya (1Tes 4:3, Ef 1:4; 1Ptr 1:16). Kita boleh memiliki peran yang berbeda dalam hidup, memiliki jalan dan status hidup yang berbeda-beda, namun kita semua dipanggil untuk hidup kudus dengan mengasihi Tuhan dan sesama (Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31). Kita mencapai kepenuhan hidup Kristiani ketika kita sungguh masuk dalam kekudusan Tuhan.

Kekudusan merupakan sebuah kasih karunia dari Tuhan bagi kita. Kita semua mengalami kekudusan Tuhan pada saat dibaptis. Tuhan Allah sendiri pernah berkata: “Sebab Akulah Tuhan, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang mengeriap dan merayap di atas bumi” (Im 11:44). St. Paulus berkata: “Sekarang kita diperdamaikan-Nya di dalam tubuh jasamani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Kol 1:22). Tuhan kita adalah Allah yang kudus. Pemazmur sendiri mengakuinya: “Tinggikanlah Tuhan, Allah kita dan sujudlah menyembah di hadapan gunung-Nya yang kudus! Sebab kuduslah Tuhan, Allah kita” (Mzm 99:9). Tuhan Allah kudus maka kita dipanggil untuk mengalami sendiri kekudusan-Nya.

Dengan pemahaman umum ini, kiranya seluruh hidup kita berorientasi kepada kekudusan Tuhan. Berkaitan dengan ini St. Petrus menasihati kita: “Hendaklah kalian menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang telah memanggil kalian itu kudus. Sebab ada tertulis: Hendaklah kalian kudus, seperti Aku kudus adanya” (1Ptr 1:15-16). Prinsip yang tepat adalah kita menjadi kudus di dalam seluruh hidup ini bukan hanya setengah hidup karena Tuhan Allah kita itu kudus.

Tuhan menghendaki kita serupa dengan-Nya

Kekudusan di mulai di dalam diri kita sendiri sebagai orang yang dibaptis. Ini adalah saat pertama kita bersatu dengan Tuhan. Kekudusan bertumbuh subur di dalam keluarga masing-masing. Anak-anak dapat bertumbuh menjadi kudus kalau orang tuanya lebih dahulu menjadi kudus. Ada beberapa tanda lahiria orang tua yang kudus dalam keluarga yakni pendoa sejati, hatinya baik, tulus, jujur dan setia dalam hidup berkeluarga, semangat berkorban, bertahan dalam penderitaan dan memiliki perhatian besar dalam keluarga dan lingkungan. Anak-anak belajar berdoa mulai dari rumahnya sendiri. Anak-anak belajar jujur dan menghargai sesama mulai dari rumahnya sendiri. Siapakah gurunya? Gurunya adalah orang tua bukan pembantu yang bekerja di rumah. Maka jangan pernah orang tua mengalihkan tugas mendidik anak kepada pembantunya.

Paus Fransiskus dalam Seruan Apostoliknya yang ketiga yakni Gaudete et Exultate (Bersukacita dan Bergembiralah) memberikan lima jalan bagi kita untuk menggapai kekudusan pribadi kita:

Pertama, kekudusan berarti jadilah dirimu sendiri. Thomas Merton mengatakan bahwa menjadi kudus berarti menjadi diri sendiri. Para kudus terkenal seperti St. Theresia dari Lisieux menemukan kekudusan ketika melakukan tugas-tugasnya yang kecil. St. Ignatius dari Loyola, pendiri Yesuit mencari Tuhan dalam segala hal. St. Philip Neri, pendiri Oratori menjadi kudus karena selera humornya. St. Yohanes Bosco menjadi kudus karena menjadi Bapak, Guru dan Sahabat kaum muda yang miskin.

Kedua, Hidup kita yang nyata membawa kita kepada kekudusan. Mindset kita harus berubah dalam arti untuk menjadi kudus tidaklah harus menjadi Uskup, imam dan biarawan serta biarawati. Kita semua dipanggil untuk menjadi kudus. Sebab itu jadilah orang tua yang terbaik maka anda akan menjadi kudus. Jadilah anak-anak yang terbaik maka kekudusan juga menjadi milikmu. Setiap orang dengan profesinya masing-masing dapat menjadi kudus.

Ketiga, Menghindari kecenderungan Gnostisisme dan Pelagianisme. Sri Paus mengatakan bahwa gnostisisme menggoda orang untuk berpikir bahwa mereka dapat membuat iman “sepenuhnya dapat dipahami” dan menuntun mereka untuk memaksa orang lain mengadopsi cara berpikir mereka. Bagi Sri Paus, ketika seseorang memiliki jawaban untuk setiap pertanyaan, itu adalah tanda bahwa ia tidak berada di jalan yang benar. Seharusnya ia sadar bahwa menjadi orang yang tahu segalanya tidak akan menyelamatkannya di hadapan Tuhan. Pelagianisme memiliki obsesi terhadap hukum, penyerapan dengan keuntungan sosial dan politik, perhatian penuh terhadap liturgi gereja, doktrin, dan prestise. Ini adalah bahaya nyata bagi kekudusan, karena itu merampok kita dari kerendahan hati, menempatkan kita di atas orang lain, dan memberikan sedikit ruang untuk peranan rahmat Allah.

Keempat, Selalu bersikap dan berprilaku baik. Kita perlu berelasi baik dengan sesama maka jangan bergosip, hentikan sikap memberi penilaian dan, yang paling penting, berhenti bersikap kejam. Perilaku baik justru membawa kita kepada kekudusan. Perilaku jahat tidak mendekatkan kita kepada Tuhan.

Kelima, Sabda bahagia adalah penunjuk jalan menuju kekudusan. Kekudusan adalah potret jati diri Tuhan Yesus sendiri. Maka untuk menjadi kudus (bahagia) kita semua dipanggil supaya menjadi miskin dalam roh, mengalami dukacita, menjadi lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran, menjadi murah hati, suci hati, membawa damai, bertahan dalam penganiayaan. Paus Fransiskus berkata: “Berbahagialah orang yang berbelas kasih.” Belas kasihan menjadi nyata dalam membantu dan melayani, berani memaafkan dan memahami sesama manusia. Ingatlah bahwa Tuhan Yesus tidak mengatakan, “berbahagialah orang yang merencanakan pembalasan!”

Kekudusan milik kita

Kekudusan adalah milik kita. Dalam masa prapaskah ini marilah kita berusaha untuk menumbuhkembangkan kekudusan yang menjadi sebuah kasih karunia Tuhan. Hal praktis yang dapat kita lakukan adalah beramal, berdoa dan berpuasa. Ketika kita melakukan ketiga hal ini dengan cinta yang besar maka kekudusan juga menjadi milik kita. Jadilah orang kudus.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply