Homili 3 April 2020

Hari Jumat,Pekan Prapaskah V
Yer. 20:10-13
Mzm. 18:2-3a,3bc-4,5-6,7
Yoh. 10:31-42

Tuhan masih punya telinga!

Seorang rekan imam mengakui bahwa masa prapaskah tahun 2020 ini memang sangat spesial dibandingkan dengan masa-masa prapaskah sebelumnya. Sebagai contoh, para imam selalu mendoakan doa dalam prefasi misa seperti ini: “Sebab bila kami berpuasa dan bermatiraga, Engkau melemahkan cacat cela kami, memantapkan hati dan budi, serta menganugerahi kami kekuatan untuk mengalahkan dosa, dengan perantaraan Kristus Tuhan kami.” (Prefasi Prapaskah IV). Namun pada masa prapaskah tahun ini sepertinya bagian ini perlu ditambahkan: “…serta menganugerahi kami kekuatan untuk mengalahkan virus corona dengan pengantaraan Kristus Tuhan kami…” Saya sendiri mendengar semua perkataannya ini dan merasa bersyukur kepada Tuhan sebab Ia menyadarkan dia, saya dan kita semua tentang masa retreat agung yang syarat makna ini. Misalnya, hari ini adalah hari Jumat Pertama, biasanya orang mengikuti misa Jumat Pertama tetapi kali ini hanya MdR atau Misa di Rumah dengan online dan menerima komuni secara rohani saja. Pekan Suci tahun ini juga sangat berbeda karena banyak dari antara kita akan tinggal di rumah dan mengikutinya secara online tanpa komuni kudus secara langsung. Ada kerinduan yang besar untuk mendengar Sabda dan menerima Tubuh dan Darah Kristus tetapi karena covid-19, kita harus tenang dan mawas diri. Hal ini tentu baik untuk kehidupan kita semua.

Masa Prapaskah merupakan masa di mana kita belajar untuk berpuasa dan bermatiraga. Dalam proses belajar ini, kita justru bertemu dengan situasi yang konkret yaitu mewabahnya covid-19 yang sebelumnya orang merasa biasa-biasa saja tetapi sekarang menakutkan sebab menelan banyak korban jiwa. Ada banyak orang yang tidak menerima wabah ini dan dengan sadar melawan Tuhan sang Pencipta. Mereka beranggapan bahwa Tuhan tidak adil. Dia tidak melindungi bahkan membiarkan wabah covid-19 ini merajalela dan menelan banyak korban jiwa. Ada juga orang yang masih waras sehingga dalam situasi yang sulit ini mereka masih mengandalkan Tuhan. Mereka semakin tekun berdoa, berpuasa, bermatiraga dan mengakui dosa-dosanya. Ada yang semakin tekun dan setia membangun persaudaraan sejati tanpa memandang SARA. Singkatnya, dalam situasi yang sulit ini, orang masih sadar bahwa ada Tuhan dan Dia harus menjadi satu- satunya andalan kita. Tuhan masih punya telinga untuk mendengar kita.

Bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini membuka wawasan kita untuk mengerti bahwa Tuhan itu selalu mengerti dan peduli dengan hidup kita. Nabi Yeremia sendiri mengalami penderitaan dan kemalangan dari orang-orang yang selalu ada bersamanya. Mereka adalah para penguasa dan sahabat kenalannya. Ia sendiri mendengar bisikan-bisikan orang seperti ini: “Kegentaran datang dari segala jurusan! Adukanlah dia! Kita mau mengadukan dia!” (Yer 20:10). Coba pikirkan ketika para sahabat-sahabat kita itu bermuka dua, di depan kita mulutnya manis dan dibelakang kita menikam dengan pedang tajam. Yeremia mengalaminya sendiri. Ia berbuat baik tetapi balasan dari sahabat-sahabatnya malah mengancam nyawanya. Para sahabatnya bahkan mengintainya dan berkata begini: “Barangkali ia membiarkan dirinya dibujuk, sehingga kita dapat mengalahkan dia dan dapat melakukan pembalasan kita terhadap dia!” (Yer 20:10). Pengalaman pribadi nabi Yeremia ini membantu kita untuk sadar diri bahwa di dalam hidup ini tidak pernah ada seorang sahabat sejati. Sebab itu kita perlu waspada kapan dan di mana saja kita berada di antara semua orang.

Dalam situasi yang sulit ini, Yeremia menunjukkan satu hal yang sangat positif yakni tetap mengandalkan Tuhan. Ia merasa yakin bahwa ia tidak akan menghadapi segala sesuatu dengan kekuatan dirinya sendiri. Sebab itu Yeremia mengakui bahwa Tuhan menyertainya. Ia berkata: “Tetapi Tuhan menyertai aku seperti pahlawan yang gagah, sebab itu orang-orang yang mengejar aku akan tersandung jatuh dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka akan menjadi malu sekali, sebab mereka tidak berhasil, suatu noda yang selama-lamanya tidak terlupakan!” (Yer 20:11). Banyak di antara kita pasti tidak bermental seperti Yeremia. Di saat sulit kita malah akan mengeluh dan menjauh dari Tuhan. Tetapi kehidupan pribadi Yeremia ini kiranya membangkitkan semangat baru bagi kita semua untuk menjadi baru dengan mengandalkan kuasa Tuhan. Ketika berhadapan dengan covid-19 ini, sebagai orang beriman kita butuh penyertaan Tuhan. Dengan kuasa-Nya Ia akan menjauhkan kita dari semua marabahaya yang mengancam hidup kita.

Di samping mengandalkan Tuhan, Yeremia juga menyatakan rasa syukur kepada Tuhan atas penyertaan-Nya. Ia mengungkapkan rasa syukur atas penyertaan Tuhan dengan berkata: “Ya Tuhan semesta alam, yang menguji orang benar, yang melihat batin dan hati, biarlah aku melihat pembalasan-Mu terhadap mereka, sebab kepada-Mulah kuserahkan perkaraku. Menyanyilah untuk Tuhan, pujilah Tuhan! Sebab ia telah melepaskan nyawa orang miskin dari tangan orang-orang yang berbuat jahat.” (Yer 20:12-13). Kita perlu membenahi hidup pribadi kita di hadirat Tuhan selama masa prapaskah ini untuk menjadi lebih layak lagi. Dalam situasi hidup kita yang nyata ini, baiklah kita mengandalkan Tuhan, mengharapkan pertolongan-Nya dan menyatakan syukur ketika mendapat pertolongan Tuhan.

Pengalaman nabi Yeremia adalah pengalaman Tuhan Yesus sendiri. Ia mengajar dan melakukan tanda-tanda tetapi orang-orang Yahudi tidak menerima Yesus. Meskipun Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai Anak Allah. Ia dengan terus terang mengatakan kepada orang-orang Yahudi bahwa Ia berada di dalam Bapa dan Bapa di dalam Dia. Dan bahwa tugas perutusan-Nya di dunia adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa yakni untuk menyelamatkan manusia. Namun orang-orang Yahudi saat itu menganggap Yesus menghujat Allah. Sebab itu hukumannya adalah melempari-Nya dengan batu. Mereka berusaha untuk menangkap-Nya namun kali ini Dia masih luput dan menghindar ke seberang Yordan untuk istirahat sejenak. Tuhan Yesus tetap berbuat baik, dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa, namun di pihak orang-orang Yahudi, mereka tetap ada penolakan, bahkan memiliki rencana jahat untuk membunuh sang Anak Allah. Rencana itu nantinya akan terwujud untuk menggenapi pekerjaan-pekerjaan Allah yaitu menyelamatkan manusia. Tuhan Yesus menderita sengsara untuk keselamatan manusia. St. Petrus pernah berkata: “Yesus menanggung dosa-dosa kita dalam tubuh-Nya di Salib, supaya kita mati terhadap dosa dan hidup suci. Karena bilur-bilur-Nya, kita semua disembuhkan.” (1Ptr 2:24).

Tuhan masih punya telinga untuk mendengar rintihan dan tangisan kita. Saya mengakhiri homili hari ini dengan mengutip Mazmur ini: “Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada Tuhan. Kepada Allahku, aku berteriak minta tolong. Aku mendengar suaraku dari bait-Nya, teriaku minta tolong sampai ke telinga-Nya.” (Mzm 18:6). Hal terpenting bagi kita adalah bertobat dan kembali kepada-Nya.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply